Naikkan harga BBM, Jokowi harus siap kemiskinan lebihi 10 persen
Sesuai RAPBN 2015, tanpa kenaikan harga BBM, tingkat kemiskinan 9-10 persen dari populasi.
Presiden Terpilih Joko Widodo diperkirakan bakal menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi tak lama selepas menjabat. Kapanpun dilakukan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengingatkan adanya kebijakan penyehatan anggaran itu berdampak pada rasio kemiskinan yang meningkat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Salsiah Alisjahbana menyatakan, sesuai RAPBN 2015, tanpa kenaikan harga BBM tingkat kemiskinan 9-10 persen dari populasi. Sedangkan pengangguran di rentang 5,5 persen - 5,7 persen.
"Ini kan baseline belun diskenariokan kenaikan BBM. Tapi kalau ada kenaikan BBM hitungannya lain dong," kata Armida di komplek DPR RI, Jakarta, Senin (22/9) malam.
Adapun, asumsi makro tahun depan mencatat pertumbuhan ekonomi bisa sebesar 5,8 persen. Armida berharap hal itu bisa menekan tingkat kemiskinan.
Hal lain harus diperhatikan oleh administrasi Jokowi adalah mulai terjadinya kekeringan akibat El Nino mulai September lalu. Sektor pertanian bisa terdampak, dan menciptakan tambahan pengangguran.
"Tentu ada pengaruh cuma persisnya saya belum dapat info seberapa besar El Ninonya dan di daerah mana saja, bagaimana dampaknya terhadap pertanian, kan harus ada hitungan-hitunganya," kata Armida.
Untuk mengurangi beban pemerintahan baru, RAPBN 2015 rancangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR sudah menyisakan anggaran cadangan Rp 5 triliun. Itu dapat membantu penyediaan kompensasi sosial kepada masyarakat sepanjang 3 bulan.
Pemanfaatannya bisa memakai format APBN Perubahan. "Itukan fleksibel ya artinya untuk perlindungan sosial, itu pos cadangan begitu diperlukan ya bisa digunakan," kata menteri PPN.
Bila ada kenaikan harga BBM, maka defisit anggaran tahun depan sebesar Rp 249,7 triliun, atau 2,21 persen terhadap Produk Domestik Bruto.
Tersedia pula sisa dana bila Presiden Terpilih Joko Widodo hendak menggelar program pendidikan, yakni Kartu Indonesia Pintar, sebesar Rp 3,2 triliun.
Total belanja pemerintah tahun depan dipatok Rp 2.017 triliun. Ini terdiri atas belanja kementerian/lembaga Rp 601 triliun, belanja non-K/L Rp 769,5 triliun, dan dana transfer daerah Rp 647 triliun. Itu masih ditambah Pembiayaan dalam negeri Rp 297,6 triliun, serta pembiayaan luar negeri Rp 23,8 triliun.
Sedangkan dari sisi penerimaan negara, tahun depan kas negara diperkirakan terisi Rp 1.793,6 triliun. Ini dari pajak Rp 1.380 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp 410 triliun, serta hibah Rp 3,3 triliun.
Untuk efisiensi, Kementerian Keuangan sudah melakukan simulasi adanya belanja optimalisasi Rp 15,5 triliun, pengurangan SBN Neto dengan defisit Rp 27,9 triliun, serta pembayaran bunga utang Rp 1,8 triliun.