Pembangunan sektor energi harus berpihak pada kedaulatan bangsa
Sudirman menyampaikan, ketergantungan pada impor dalam volume yang besar tidak saja memperlemah kedaulatan energi nasional, tetapi juga memicu ketidakstabilan moneter.
Pembangunan sektor energi perlu diluruskan agar Indonesia memiliki kedaulatan energi sendiri, dan tidak bergantung pada pihak lain. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) periode 2014-2016 Sudirman Said menyatakan hal itu saat menjadi pembicara dalam diskusi publik bertajuk Urgensi UU Pengembangan Eneri Baru dan Terbarukan, yang diselenggarakan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Indonesia (Kahmi), Kamis (9/11) di Jakarta.
Selain Sudirman, pembicara lain dalam kesempatan adalah Herman Khaeron, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, dan Parlindungan Purba, Ketua Komite III DPD RI. Sudirman menyebutkan, Indonesia saat ini mengalami ketergantungan ganda dalam sector energy. Pertama, ketergantungan pada energi fosil, yang mudah habis. Dan kedua, tergantung pada impor, karena produksi energi fosil dalam negeri tidak mencukupi untuk konsumsi nasional. Kebutuhan BBM misalnya mencapai 1,6 juta barel per hari, sementara produksi nasional hanya sekitar 850 ribu barel per hari.
"Membiarkan energi kita tergantung pada fosil secara dominan sama artinya membiarkan ketergantungan ganda yang membahayakan: pertama, fosil akan habis pada waktunya; kedua, impor makin besar," tutur Sudirman Said.
Lebih lanjut Sudirman menyampaikan, ketergantungan pada impor dalam volume yang besar tidak saja memperlemah kedaulatan energi nasional, tetapi juga memicu ketidakstabilan moneter. "Setiap hari kita harus membuang devisa puluhan juta dollar belanja energi primer dari negara lain," terang dia.
Untuk itu, imbuh Sudirman, keberpihakan pemerintah pada pembangunan energi baru dan terbarukan (EBT) harus jelas. Karena hanya dengan cara itu kedaulatan energi dapat dicapai.
"Pembangunan energi baru dan energi terbarukan adalah wujud dari kedaulatan energi yang berkelanjutan, karena karakter energi baru mengandalkan sumber daya setempat dan bebas dari ketergantungan fosil," jelas Sudirman lagi.
Di samping itu, membangun EBT dalam skala kecil sangat cocok dengan situasi geografis Indonesia. Ukuran skala kecil juga memungkinkan para pengusaha lokal dalam skala menengah dapat berpartisipasi.
Sudirman mengungkapkan, secara regulasi, sejatinya sangat jelas sekali. Dua undang-undang, yakni UU Energi dan UU Ketenagalistrikan memberi amanat agar mengutamakan pembangunan dan pemanfaatan EBT. Namun sayang, realisasinya jauh panggang dari api.
"Pembangunan EBT jalan di tempat. Kita hanya puas dengan upaya-upaya menutupi kekurangan dengan angka angka yang menyesatkan publik," ujar dia.
Menurut Sudirman, yang membuat pembangunan energi baru terbarukan jalan di tempat adalah persoalan klasik, yakni berpikir myopic (jangka pendek), sikap pragmatis berlebihan, praktik ekonomi pemburu rente, dan lemahnya pemihakkan pada penguatan kemampuan bangsa sendiri.
"Selalu pola pikir pragmatis dan vested interest menjadi penghalang akut bagi tegaknya kedaulatan energi kita,"
Sudirman menyampaikan, untuk mempercepat pembangunan energi baru terbarukan jalan keluarnya adalah melaksanakan UU Energi dan UU Ketenagalistrikan, dan Kebijakan Energi Nasional secara konsekuen. Kemudian, isi sektor energi dengan pemimpin yang memahami jiwa dan semangat pembangunan energi nasional, yang berpihak pada kedaulatan energi bangsa, dan mampu bersikap sebagai profesional.
Dan yang paling penting, yang menjadi kunci adalah kemauan politik. Karena regulasinya jelas, dan pemimpin dan pengelola sektor energi yang andal juga Indonesia punya banyak ahli.
"Dunia usaha, pemain EBT saat ini dalam kondisi menderita. Tidak ada insentif, tarifnya diperkosa amat rendah, tapi digambarkan seolah-olah investasi tetap bergairah. Ini sikap yang sebenarnya membohongi diri sendiri. Suatu saat akan terbuka keadaan yang sesungguhnya," pungkas dia.