Pemerintah Turunkan Target Bauran Energi Baru Terbarukan, Apa Dampaknya?
Pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini.
Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45 persen pada 2030.
Pemerintah Turunkan Target Bauran Energi Baru Terbarukan, Apa Dampaknya?
Pemerintah Turunkan Target Bauran Energi Baru Terbarukan, Apa Dampaknya?
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) bakal merevisi target bauran energi primer Energi Baru Terbarukan (EBT) menjadi 17-19 persen di 2025.
Angka itu turun dari target yang seharusnya 23 persen.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi Bersih mempertanyakan komitmen pemerintah Indonesia bertransisi ke energi terbarukan.
Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo menuturkan, alih-alih menurunkan target energi terbarukan, pemerintah seharusnya mengevaluasi faktor penyebab kegagalan pencapaian target investasi energi terbarukan selama ini.
“Karena, walau masih dalam draf RPP KEN, indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia,” kata Deon.
Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro mengatakan, revisi target bertentangan dengan netral karbon 2060 dan komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca 29-31 persen.
Pasalnya, untuk mencapai kedua target ini, Indonesia seharusnya meningkatkan target bauran energi terbarukan menjadi 45 persen pada 2030.
“Penurunan target bauran energi terbarukan menghambat upaya mendorong pengembangan energi terbarukan. Hal ini dapat berdampak negatif pada upaya transisi energi di Indonesia, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil dan mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Arif.
Selain menurunkan target ET, draf revisi KEN juga tetap ngotot memasukkan sejumlah solusi palsu dan semu dalam strategi transisi energi. Rincinya, pemanfaatan biodiesel berbasis sawit hingga menyentuh campuran 60 persen (B60), pemasangan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di seluruh pembangkit listrik berbasis fosil, hingga pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW).
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, Grita Anindarini menuturkan bahwa revisi PP tentang KEN ini seharusnya dijadikan peluang untuk memastikan target bauran energi nasional sejalan dengan target iklim yang aman.
Karenanya, revisi yang disusun seharusnya justru menetapkan target ketat pengakhiran ketergantungan pada energi fosil dan mengutamakan pengembangan energi terbarukan.
“Memasukkan PLTN membawa risiko besar terhadap perlindungan hak asasi manusia berupa risiko toksik serius dan sangat sulit dipulihkan. Hal ini membawa risiko terhadap perlindungan hak hidup maupun hak atas kesehatan,” ujar Grita.
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN), Djoko Siswanto mengatakan, bauran EBT hingga 2023 baru sekitar 13,09 persen.
Proyek-proyek energi terbarukan saat ini pun terus bertambah, tapi di sisi lain pemanfaatan energi fosil juga tetap naik.
"Kalau berdasarkan angka tadi sudah mencapai 13,09 persen. Nah, di 2025 target 23 persen. Tapi masalahnya ini ditekan pemakaian energi fosil yang nambah juga. Kalau revisi KEN itu kita optimisnya 17 persen, terus pesimisnya 19 persen di 2025," terang Djoko di Kantor Dewan Energi Nasional, Jakarta, Rabu (17/1).
Menurut dia, target bauran EBT sebesar 17-19 persen bisa tercapai jika negara konsisten menyuntik mati PLTU batu bara dan menggantikannya dengan bahan biomassa pada rasio tertentu, atau co-firing.
"Memang kalau dilihat grafiknya enggak pernah tercapai (target bauran EBT per tahun), di bawah target terus. Target 23 persen pesimisnya 17 persen kita yakin sih di 2025," imbuh Djoko.