Pensiun Dini PLTU Batubara Kerap Terhalang Pendanaan
Pemerintah akan menggunakan APBN untuk menyetop operasional PLTU Batubara.
Pemerintah akan menggunakan APBN untuk menyetop operasional PLTU Batubara.
Pensiun Dini PLTU Batubara Kerap Terhalang Pendanaan
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) resmi menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 103 Tahun 2023 Tentang Pemberian Dukungan Fiskal melalui Kerangka Pendanaan dan Pembiayaan Dalam Rangka Percepatan Transisi Energi di Sektor Ketenagalistrikan.
Dalam pasal 1 menjelaskan bahwa kerangka pendanaan dan pembiayaan dalam rangka percepatan transisi energi di sektor ketenagalistikan salah satunya dukungan fiskal pemerintah yang dibentuk oleh Menteri Keuangan.
Hal itu untuk mendukung percepatan pengakhiran waktu operasi pembangkit listrik tenaga uap batubara (PLTU) yang akan disuntik menggunakan dana Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Merespon itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan kehadiran regulasi teknis cukup penting dalam mengakomodir dukungan pendanaan APBN dalam percepatan penutupan PLTU batubara.
"Selama ini komitmen untuk mempercepat penutupan PLTU batubara sering terhalang oleh kecilnya mobilisasi dana domestik terutama dari APBN," kata Bhima dalam keterangannya, Jumat (20/10).
Merdeka.com
Menurutnya, bentuk dukungan dari APBN bisa berbentuk pengalihan subsidi energi berbahan bakar fosil kepada program penutupan PLTU batubara PLN.
Jika asumsinya satu PLTU batubara dengan kapasitas setara PLTU Cirebon-1 membutuhkan dana Rp13,4 triliun untuk pensiun dini, maka penghematan belanja subsidi energi senilai 28 persen dari alokasi subsidi energi APBN 2024 sebesar Rp189 triliun menghasilkan penutupan 4 PLTU batubara.
"Penghematan subsidi energi tentu tidak selalu berbentuk kenaikan harga atau pengurangan kuota bagi konsumen. Salah satunya bisa berbentuk menutup kebocoran BBM solar, dan kebocoran subsidi LPG3kg yang selama ini terjadi," ujarnya.
Merdeka.com
Cara lain adalah dengan segera mengimplementasikan pajak karbon untuk mendapatkan sumber pendapatan transisi energi."Regulasi pajak karbon sudah ada, jadi tinggal di eksekusi secepatnya," terangnya.
Di samping pendanaan secara tunai, Bhima menilai pemerintah bisa mengurangi berbagai insentif perpajakan dari sektor berbasis fosil sehingga tercipta ruang fiskal yang lebih lebar untuk pendanaan transisi energi. Bhima menegaskan bahwa pemerintah perlu memastikan agar proses pendanaan dari dana publik -APBN bersifat transparan dan partisipatif.
Misalnya untuk pendanaan early retirement dari PLTU batubara juga memasukkan dana kompensasi kepada masyarakat sekitar dan pekerja yang terdampak.
Bentuk dana kompensasi bisa berupa dana tunai kepada masyarakat, tambahan dana ke BPJS Ketenagakerjaan, dan reskilling atau peningkatan skill dari pekerja existing, kata dia.
Ia menegaskan seluruh bentuk pendanaan dalam transisi energi perlu dipastikan tidak menciptakan beban utang baru, disaat rasio pembayaran bunga dan pokok utang di 2024 mencapai lebih dari 42 persen dari total pendapatan Negara.
"Jangan ada persepsi transisi energi artinya meminjam utang lebih banyak, karena akan mendapatkan resistensi dari pembayar pajak," tegasnya.
Lebih lanjut, Bhima menyarankan pemerintah bisa menggunakan berbagai instrumen dana penutupan PLTU batubara seperti debt swap for coal retirement, yakni menukar pembayaran utang dengan penutupan PLTU batubara.
"Cara lain dengan debt cancellation yang bisa didorong ke negara maju-G7 sehingga pemerintah memiliki ruang fiskal yang lebih luas untuk melakukan transisi energi secara cepat," imbuhnya.
Ia pun mengingatkan, bahwa pemerintah perlu selektif dan mempertimbangkan secara matang bentuk kerjasama pendanaan agar tidak terjebak pada impor teknologi yang mahal dan belum terbukti seperti CCS/CCUS, hingga bentuk-bentuk solusi yang tetap memperpanjang usia PLTU batubara (co-firing, biomassa dsb).
"Tugas dari platform menyaring mana bentuk pendanaan yang paling terbaik bagi konteks Indonesia," pungkasnya.