Pro dan kontra naiknya harga Pertamax hingga Rp 300 per liter
Untuk wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax kini dijual Rp 8.900 per liter atau naik Rp 300 per liter. Harga Pertamax Turbo juga naik Rp 500 per liter dari sebelumnya Rp 9.600 menjadi Rp 10.100.
PT Pertamina (Persero) menaikkan harga jual beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi. BBM yang naik antara lain Pertamax, Pertamax Turbo, Pertamax Racing dan Dexlite. Sedangkan harga Pertalite tidak berubah. Tetap Rp 7.600 per liter.
Untuk wilayah DKI Jakarta, harga Pertamax kini dijual Rp 8.900 per liter atau naik Rp 300 per liter. Harga Pertamax Turbo juga naik Rp 500 per liter dari sebelumnya Rp 9.600 menjadi Rp 10.100.
-
Kenapa harga BBM di Singapura tinggi? Penerapan tarif pajak yang lebih tinggi telah menaikkan harga minyak di negara kecil tersebut.
-
Kapan Pertamina menyesuaikan harga BBM? PT Pertamina (Persero) kembali menyesuaikan harga BBM nonsubsidi per 1 November 2023.
-
Mengapa harga beras di Jakarta naik? Harga beras kualitas premium mengalami kenaikan menjadi Rp16.700 per kilogram dari kemarin Rp16.570.
-
Mengapa Pertamina menyesuaikan harga BBM? Pertamina menyesuaikan harga BBM untuk mengimplementasikan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No. 245.K/MG.01/MEM.M/2022 sebagai perubahan atas Kepmen No. 62 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis Bahan Bakar Minyak Umum Jenis Bensin dan Minyak Solar yang Disalurkan Melalui Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum.
-
Apa saja komponen dalam jual beli BBM? Dalam jual beli BBM, lanjutnya, terdapat tiga komponen, yaitu Pajak PPN, PBBKB, dan Iuran BPH Migas. Ketiga komponen tersebut merupakan kontribusi para pelaku usaha kepada negara atas hasil pengelolaan kekayaan negara.
-
Bagaimana Pertamina menentukan harga jual BBM non subsidi? Adapun harga BBM non subsidi bersifat fluktuatif, sehingga Pertamina melakukan evaluasi secara berkala mengikuti tren dan mekanisme pasar.
Kenaikan juga terjadi di produk Dexlite yang sebelumnya Rp 7.500 per liter menjadi Rp 8.100 per liter. Sedangkan untuk Pertamina Dex dari sebelumnya Rp 9.250 per liter menjadi Rp 10.000 per liter.
"Memang benar, dan daftar harganya resmi sudah kita upload di website Pertamina," kata Vice President Corporate Communication Pertamina Adiatma Sardjito seperti dikutip dari Liputan6.com, Sabtu (24/2).
Tak hanya di Jakarta, di provinsi lain harga BBM nonsubsidi juga mengalami kenaikan. Seperti di DI Yogyakarta, harga Pertamax yang sebelumnya Rp 8.600 per liter menjadi Rp 8.900 per liter. Untuk Pertamax Turbo dari sebelumnya Rp 9.650 per liter menjadi Rp 10.150 per liter.
Sedangkan untuk jenis Solar, Pertamina di DIY menjual Dexlite seharga Rp 8.100 per liter dari sebelumnya Rp 7.500 per liter. Sedangkan untuk Pertamina Dex dibanderol seharga Rp 10.100 per liter dari sebelumnya Rp 9.350 per liter.
Contoh lain, untuk di Jawa Timur, Pertamax sebelumnya di harga Rp 8.600 per liter kini menjadi Rp 8.900 per liter. Untuk Pertamax Turbo kini dijual Rp 10.150 per liter dari sebelumnya Rp 9.650 per liter.
Begitu juga untuk jenis Dexlite, kini dijual dengan harga Rp 8.100 per liter dari sebelumnya Rp 7.500 per liter. Sedangkan untuk jenis Pertamina Dex mengalami kenaikan dari sebelumnya Rp 9.350 per liter menjadi Rp 9.600 per liter.
Kenaikan harga Pertamax wajar
Anggota Komite BPH Migas, Henry Ahmad mengatakan, kenaikan harga BBM non-subsidi tersebut sangat wajar karena dipengaruhi oleh naiknya harga minyak dunia.
"Iya karena kan memang minyak dunia lagi naik ya," ungkapnya usai pertemuan dengan DPD, di Jakarta, Senin (26/2).
Harga minyak dunia yang naik kemudian mengerek naiknya harga minyak yang dibeli. Akibatnya, harga jual BBM non-subsidi ke masyarakat juga ikut naik.
"Mestinya karena keekonomian. Kalau harga belinya naik maka harga jualnya juga naik. Itu kan harga yang ditetapkan pemerintah kan cuma margin. Otomatis kalau dia non subsidi ya kalau harganya naik ya naik," jelas Henry.
Sesuai mekanisme pasar
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Herman Khaeron menilai kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non-subsidi yang diterapkan oleh PT Pertamina (Persero) adalah sesuatu hal yang wajar dan sesuai dengan mekanisme pasar.
Menurutnya, keputusan menaikkan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax harus dilakukan Pertamina karena harga minyak mentah global yang terus naik. Kenaikan tersebut tidak mampu diimbangi dengan menguatnya nilai tukar Rupiah.
"Kalau berhitung pada mekanisme pasar ya formulasinya seperti itu, ketika harga internasionalnya naik, harga pasarnya naik. Nunggu kenaikan rata-rata satu bulan, kalau tidak turun lagi dan dihitung dari harga penetapan sebelumnya ya hitungan liberalnya wajar," kata Herman dalam sebuah acara diskusi bertajuk Menelisik Kemampuan Pertamina dalam Mengelola Blok Migas Habis Kontrak, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Senin (26/2).
Kendati demikian, Herman menekankan bahwa kenaikan harga BBM non-subsidi perlu juga disesuaikan dengan kondisi daya beli masyarakat. Di sinilah peran pemerintah untuk menyeimbangkan kenaikan harga dan daya beli Masyarakat.
"Intervensi pemerintah dari berbagai sisi bisa dilakukan. Apakah menambah subsidi atau mmberikan insentif ke Pertamina sebagai penyalur, dan sebagainya," ujarnya.
Hindari Pertamina dari kerugian
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa keputusan PT Pertamina (Persero) menaikkan harga BBM non-subsidi seperti Pertamax merupakan wewenang perusahaan. Menurutnya, kenaikan harga tersebut merupakan hal yang wajar sebab dalam tiga bulan terakhir ini kondisi harga minyak mentah dunia terus naik.
"Kalau non-subsidi saya kira adalah sesuatu yang wajar yang biasa ini aksi korporasi biasa, karena dalam tiga bulan terakhir tren harga minyak meningkat kemudian nilai tukar tidak ada penguatan yang signifikan, sehingga kalau dua variabel itu mendorong harga BBM untuk meningkat, ya tidak ada pilihan lain bagi temen di hilir gas untuk harga BBM disesuaikan lagi," kata Komaidi dalam sebuah acara disksui di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/2).
Kendati demikian, Komaidi mengaku belum mengetahui persis apakah besaran kenaikan tersebut sudah sesuai dengan ambang batas wajar besaran kenaikan atau tidak. Setidaknya, ada dua variabel yang bisa dijadikan dasar perhitungan ambang batas wajar kenaikan yaitu rata-rata harga minyak acuan dan rata-rata nilai tukar rupiah dalam beberapa bulan terakhir.
"Kalau yang dipakai teman-teman (Pertamina) kemarin ini kita belum tahu pas atau tidaknya karena kita belum tahu dasar asumsinya untuk menentukan kenaikan," ujarnya.
Selain itu, Komaidi menilai kenaikan harga BBM non-subsidi bisa dijadikan strategi Pertamina untuk menghindari kerugian di tengah tingginya harga minyak dunia dan masalah keuangan lainnya.
Seperti diketahui, saat ini Pertamina menanggung potensi kerugian hingga Rp 12 triliun karena adanya program BBM satu harga. Jika harga BBM non subsidi tidak dinaikkan di saat harga minyak mentah global meningkat, maka Pertamina akan terkena masalah baru.
"Jadi intinya ada dua masalah, subsisdi penugasan bermasalah, kalau masalah ini ditambah masalah baru yang non subsidi tidak dinaikkan kan (jadi) ada dua masalah, berarti masalah makin besar."
Namun, Komaidi menegaskan bahwa dua kondisi tersebut merupakan hal yang terpisah. Pertamina tidak rugi-pun harga BBM non subsidi tetap harus dinaikkan.
"Kalau konteksnya ke Pertamina apakah menutup BBM penugasan dan satu harga yang membebani mereka ini dua hal yang terpisah sebenarnya. Jadi tanpa adanya (masalah) itu pun ini (harga BBM non subsidi) harus disesuaikan, saya kira ini dua hal yang terpisah. Bukan untuk menutup premium yang tidak disesuaikan dan solar yang tidak disesuaikan serta satu harga yang dibebankan kepada Pertamina."
Memberatkan masyarakat
Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ecky Awal Mucharram menilai, langkah penyesuaian harga BBM non-subsidi sejak 24 Februari lalu dinilai akan semakin memberatkan rakyat.
"Tentu, daya beli akan kembali terganggu karena langkah ini menyulut inflasi," kata Ecky Awal Mucharam dikutip dari Antara, Selasa (27/2).
Dia menyatakan bahwa inflasi pada akhirnya juga dinilai akan lebih menekan bagi rakyat kecil, meski kebijakan yang diambil tidak terkait dengan kepentingan mereka. "Dengan demikian, agak sulit juga memperbaiki ketimpangan, jika harga barang-barang pokok terus diintervensi," paparnya.
Ecky juga mengemukakan, pertumbuhan ekonomi memiliki tendensi melambat, karena perlambatan konsumsi rumah tangga akibat penurunan daya beli.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Novani Karina Saputri mengatakan, lima bahan pokok yang relatif mengalami kenaikan harga per satuan di bulan Mei hingga Desember 2017 adalah beras, daging sapi, garam, kedelai dan susu.
Kenaikan harga lima bahan pokok makanan ini dipicu oleh beberapa hal, di antaranya adalah kenaikan harga beras yang terbilang cukup signifikan dan dinilai disebabkan oleh tingginya jumlah permintaan akan beras yang tidak dapat dipenuhi oleh jumlah beras yang diproduksi.
Menurut dia, tingginya harga komoditas pangan ini disebabkan karena ketidakmampuan produksi dalam negeri untuk memenuhi jumlah permintaan konsumen di pasar sehingga membuat harga pangan konsumen melambung.
Sulut inflasi
Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo mengatakan, penyesuaian harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis non subsidi akan berdampak pada naiknya angka inflasi.
"Dan ada risiko inflasi dari harga minyak yang cenderung meningkat. Kita melihat harga minyak di dunia sudah meningkat tetapi harga BBM di Indonesia belum disesuaikan, kita dengar yang terakhir sekarang sudah disesuaikan tentu ada dampak pada inflasi," ungkapnya di Fairmont Hotel, Jakarta, Selasa (27/2).
Namun demikian, Agus memahami bahwa penyesuaian harga BBM non-subsidi harus dilakukan harga minyak dunia tengah tinggi.
"Kami dapat memahami kalau harga BBM itu ada penyesuaian sehubungan dengan BBM yang tidak disubsidi dan itu memang harus menyesuaikan kondisi pasar," katanya.
"Berapa rata-rata harga minyak yang BI lihat, sebelumnya kita perkirakan ada di rata-rata USD 52 tetapi sekarang ini kita melihat sepanjang 2018 itu harga rata-rata harga minyak dunia akan ada dikisaran USD 60," lanjut Agus.
Bank Indonesia melihat bahwa inflasi pada tahun 2018 masih tetap terjaga sesuai target yang dicanangkan Pemerintah.
"Jadi yang ingin kami sampaikan adalah inflasi Januari itu year on year 3,25 persen, kami melihat sepanjang 2018 masih ada dikisaran 3,5 persen plus minus 1 persen. Kalau sampai akhir tahun itu 3,61 persen," tandasnya.