Pungutan dana kelapa sawit USD 50 per ton bakal digugat ke MA
"Penghasilan menurun drastis dan menyulitkan petani sawit mandiri untuk membayar kredit bank," ujar dia.
Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia (APPKSI) akan mengajukan permohonan uji materiil (Judicial Review) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke Mahkamah Agung (MA). Sebagaimana diketahui, perpres tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Ketua Umum APPKSI MA Muhamaddiyah mengatakan, aturan pungutan USD 50 per ton untuk minyak sawit mentah (CPO) sangat memberatkan petani. Padahal, dalam UU Nomor 39 Tahun 2014 seharusnya pemerintah menjamin kehidupan dan melindungi petani rakyat.
-
Mengapa kelapa sawit penting untuk perekonomian Indonesia? Kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang penting untuk perekonomian Indonesia dan juga memiliki banyak kegunaan praktis dan kesehatan.
-
Mengapa perusahaan kelapa sawit PT Astra Agro Lestari Tbk mengekspor produknya? Selain untuk kebutuhan dalam negeri, hasil produk minyak olahan sawit diekspor ke Tiongkok, Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan.
-
Mengapa kelapa sawit cocok dibudidayakan di Indonesia? Kelapa sawit hanya hidup di daerah tropis, seperti Indonesia, Malaysia, sebagian kecil wilayah Afrika, dan Amerika Latin.
-
Kenapa ekspor telur ke Singapura bisa menjadi bukti keberhasilan Indonesia di pasar dunia? Singapura menjadi salah satu negara dengan standar mutu dan keamanan pangan yang tinggi, sehingga ekspor ini menjadi salah satu keberhasilan Indonesia di pasar dunia.
-
Di mana penanaman kelapa sawit pertama kali dilakukan secara komersial di Indonesia? Sejak 1910, kelapa sawit banyak dibudidayakan secara komersial dan meluas di Sumatera.
-
Kapan perusahaan kelapa sawit PT Salim Ivomas Pratama Tbk didirikan? Perusahaan ini didirikan tahun 1992, dan saat ini memiliki luas lahan kelola sawit seluas 253.061 hektare.
"Penghasilan kami menurun drastis dan bahkan menyulitkan petani plasma sawit atau petani sawit mandiri untuk membayar kredit bank," ujar dia dalam keterangan pers di Jakarta, Minggu (14/2).
Dia menambahkan, sejak diberlakukannya pungutan tersebut pengusaha menurunkan harga beli tandan buah sawit (TBS) yang dihasilkan sebagian dari kebun milik petani. Sebelumnya harga TBS Rp 1,2 juta per ton. Kini turun menjadi Rp 500.000 per ton.
Sebagai gambaran, dengan pungutan eksport CPO sebesar USD 50 per ton dibebankan pada TBS petani yang memiliki kebun sawit berumur 5 tahun ke atas, maka pendapatan petani plasma sawit sebesar 16 ton TBS atau 5 ton (untuk memprodukasi 1 ton CPO) menghasilkan 3,2 ton CPO oleh Pabrik Kelapa Sawit.
Pungutan yang dibebankan ke petani sebesar 3,2 ton dikalikan USD 50, yaitu sekitar USD 160. Nilai USD 160 atau Rp 2.240.000 ini mengakibatkan pendapatan petani plasma sawit hanya sekitar Rp 22.400.000 dikurang Rp 2.240.000 adalah Rp 20.160.000 per tahun atau rata-rata per bulannya sebesar Rp 1.680.000.
Beban tersebut mengakibatkan pendapatan kotor petani sawit sebesar Rp 1.680.000 per 2 hektar kebun akan dipotong 30 persen guna membayar kredit bank untuk membiayai pembangunan kebun petani, lalu dipotong biaya upah untuk pengurus kebun yang berlaku saat ini dimulai sekitar Rp 500.000 per bulan dan perawatan sebesar Rp 300.000 per 2 hektar kebun.
"Jadi, penghasilan petani sawit hanya Rp 1.680.000 dikurang Rp 504.000 lalu dikurang Rp 500.000 dan dikurang lagi Rp 300.000 hasilnya Rp 376.000. Dari hitungan tersebut, maka pendapatan bersih petani plasma hanya mendapatkan sebesar Rp 376.000 setiap bulannya," jelas Muhammaddiyah.
"Tentu saja pendapatan sebesar ini sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga petani plasma. Kami memandang, pungutan ini sebagai modus baru perampokan uang rakyat kecil atas nama ketahanan energi," tambah dia.
Sementara itu, Ketua Komisi IV DPR RI Edi Prabowo menegaskan akan mendukung langkah yang dilakukan APPKSI. Alasannya, pungutan tersebut tidak hanya akan dibebankan kepada pengusaha, sebab petani dan karyawan akan mendapatkan tekanan yang sama.
"Dalam pandangan saya pungutan itu malah akan membebani petani sawit juga. Pada akhirnya biaya itu akan dibebankan ke petani juga. Seharusnya pemerintah berpikir lebih matang dulu kalo mau membuat aturan," kata Edi.
Dia menyarankan pemerintah melakukan uji publik terlebih dahulu sebelum memberlakukan sebuah aturan. Apabila tidak dilakukan akan terjadi ketimpangan, salah satunya adalah Perpres Nomor 61 Tahun 2015. Bukannya mensejahterakan petani, malah mencekik penghidupan mereka.
"Kalau mau membantu petani sawit, bantulah dengan membuat harga TBS( tandan buah segar) stabil. Sehingga ada kepastian harga buat petani. Karena ini menjadi tugas utama pemerintah untuk menjamin harga sawit, tapi kami lihat alih-alih untuk menjaga harga malah menggunakan pungutan, itu malah akan menghambat. Dan akan menyulitkan rakyat," pungkas dia.
Baca juga:
Pemerintah Jokowi izinkan perusahaan diduga bakar hutan beroperasi
Mendag sebut Prancis langgar WTO jika pajak CPO diberlakukan
Pemerintah diminta negosiasi dengan Prancis untuk batal pajak CPO
Rizal Ramli kecewa Prancis bakal terapkan pajak progresif CPO 2017
Kesulitan bayar pungutan ekspor, petani sawit surati Jokowi