Skema Cost Recovery Dinilai Bisa Dongkrak Produksi Migas Dalam Negeri
Sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak. Dengan demikian, untuk mengangkat minyak tersebut, membutuhkan usaha dan teknologi.
Sumur-sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak.
Skema Cost Recovery Dinilai Bisa Dongkrak Produksi Migas Dalam Negeri
Skema Cost Recovery Dinilai Bisa Dongkrak Produksi Migas Dalam Negeri
- Lima Negara ASEAN Simpan 'Harta Karun' Stok Minyak Bumi Terbanyak
- Rahasia Pabrik Semen Merah Putih Bisa Pangkas Emisi 5 Persen, Salah Satunya Kurangi Penggunaan Energi Fosil
- Begini Solusi Bisa Dilakukan Jika Sumur Minyak dan Gas Ditemukan di Lahan Persawahan
- Kronologi Pencampuran Pertalite dengan Air Sebelum Dikirim ke SPBU Bekasi
Skema cost recovery pada industri minyak dan gas bumi (migas) dalam negeri dinilai bisa untuk mendongkrak produksi. Apalagi, saat ini pemerintah memiliki target produksi 1 juta barel per hari pada 2030.
"Misalnya kita punya program untuk menggenjot 1 juta barel per hari produksi minyak pada 2030, tapi tidak didukung cost recovery itu tidak mungkin. Itu mustahil," kata ujar Direktur Kholid Syeirazi Direktur Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi dikutip di Jakarta, Kamis (20/6).
Menurut Kholid, saat ini sumur-sumur di dalam negeri sudah tergolong mature, sehingga membutuhkan biaya yang besar untuk tetap mempertahankan produksi. Dalam kondisi demikian, skema cost recovery yang paling memungkinkan.
"Sumur-sumur kita sudah tua, sudah uzur. Butuh biaya besar untuk mempertahankan produksi. Ibarat manusia, semakin tua semakin besar biaya yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan dan kecantikan," kata Kholid.
Kholid juga mengingatkan, kondisi sekarang jauh lebih sulit dibandingkan beberapa waktu lalu.
Saat ini, semakin sulit mencari minyak dan semakin dalam. Selain itu, pencarian semakin ke timur dan semakin offshore.
Dia menjelaskan, sumur-sumur di Indonesia sekarang sudah lebih banyak air dibandingkan minyak. Dengan demikian, untuk mengangkat minyak tersebut, membutuhkan usaha dan teknologi yang mahal.
Oleh karena itu, sangat wajar jika terdapat kontraktor yang ingin kembali berubah dari skema gross split menjadi cost recovery. Sebab tanpa cost recovery, kontraktor migas seperti tidak mendapat insentif untuk merambah ke wilayah green field atau sumur dan cadangan baru. Mereka akan lebih senang bermain di area brown field atau sumur-sumur yang sudah dikembangkan.
“Makanya ketika skema cost recovery berubah menjadi gross split, sangat tidak menarik bagi kontraktor hulu migas. Dan jika itu terjadi terus-menerus, pada saatnya bisa membuat penerimaan negara dari sektor migas menurun,” pungkas Kholid.
Pembahasan antara kedua skema biaya operasional tersebut, belakangan memang mengemuka. Termasuk mekanisme perbaikan fiscal term, ketika skema gross split dalam kontrak diubah kembali menjadi cost recovery.
Pada Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VI dan PT Pertamina (Persero) pekan lalu misalnya, Wakil Direktur Utama Pertamina Wiko Migantoro mengatakan, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menunjukkan tanda-tanda akan mengalami kenaikan produksi.
merdeka.com
Untuk itu, dibutuhkan dukungan untuk memperbaiki fiskal term di sektor hulu migas. Melalui perbaikan fiskal term, diharapkan bisa mendorong optimalisasi produksi migas.
Sebelumnya, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto juga membenarkan bahwa akan ada perubahan pada sejumlah wilayah kerja migas. Dari sebelumnya gross split menjadi cost recovery.
"Karena gross split, terasa betul KKKS tidak bisa bergerak melaksanakan aktivitas. Oleh karena itu, mereka mengajukan perubahan ke cost recovery," kata Dwi.
merdeka.com