Dari Pangeran Diponegoro hingga Presiden Soekarno, Tradisi Perubahan Nama di Masyarakat Jawa
Bagi masyarakat Jawa, perubahan nama bukanlah hal yang asing dan bisa terjadi karena sejumlah hal.
Perubahan nama adalah tradisi yang telah lama melekat dalam kebudayaan Jawa. Bagi sebagian masyarakat Jawa, nama dianggap bukan hanya sebagai identitas belaka, tetapi juga memiliki hubungan erat dengan takdir, kesehatan, dan keberuntungan seseorang. Fenomena perubahan nama di masyawakat Jawa bisa terjadi sebagai bagian dari ritus kedewasaan, perubahan status sosial, atau upaya penyembuhan akibat nama yang dianggap terlalu berat atau "kabotan jeneng".
Nama dalam budaya Jawa diyakini memiliki hubungan erat dengan perjalanan spiritual seseorang. Masyarakat Jawa percaya bahwa nama mencerminkan takdir seseorang dan dapat memengaruhi jalannya kehidupan. Nama yang diberikan kepada seseorang sering kali dipilih dengan sangat hati-hati, mempertimbangkan makna, arti spiritual, dan harapan yang ingin disematkan pada orang tersebut.
-
Kenapa Soekarno berganti nama? Soekarno dahulu terlahir dengan nama Kusno. Kemudian sang ayah merubah namanya menjadi Soekarno lantaran sering sakit pada usia 11 tahun.
-
Siapa yang menjuluki Gus Dur Bapak Keberagaman? Julukan Bapak Keberagaman ini diberikan oleh Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, museum yang mengelola koleksi, gagasan, dan karya para presiden.
-
Kenapa Gus Dur dijuluki Bapak Keberagaman? Julukan Bapak Keberagaman ini diberikan oleh Museum Kepresidenan RI Balai Kirti, museum yang mengelola koleksi, gagasan, dan karya para presiden. Julukan ini diberikan karena Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disapa Gus Dur selama masa pemerintahannya, dia mengeluarkan berbagai kebijakan yang merangkul semua kalangan dan mencerminkan sikap toleransi.
-
Apa nama asli Soekarno? Soekarno dahulu terlahir dengan nama Kusno.
-
Kenapa Gus Dur dijuluki Bapak Pluralisme? Kedekatan Gus Dur dengan masyarakat minoritas dan orang-orang terpinggirkan, membuatnya dikenal sebagai sosok yang plural dan menghargai semua perbedaan. Hal ini yang kemudian Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Pluralisme Indonesia.
-
Siapa yang sering pakai nama Jawa? Nama dalam Jawa bisa Anda beri untuk anak laki-laki maupun perempuan, dengan pertimbangan banyak hal seperti bunyi dan kesinambungan makna apabila nama terdiri lebih dari dua kata.
Namun, dalam beberapa kasus, nama yang diberikan sejak lahir dapat dianggap tidak selaras dengan nasib atau keadaan hidup seseorang. Apabila seseorang menghadapi kesulitan hidup atau merasa terhambat dalam meraih kesuksesan, bisa jadi nama tersebut dianggap terlalu "berat" atau "tidak cocok." Inilah yang disebut sebagai "kabotan jeneng." Dalam situasi seperti ini, mengganti nama menjadi solusi yang dilakukan untuk membebaskan individu dari beban yang diyakini datang dari nama tersebut.
Tidak menutup kemungkinan juga, seseorang yang terlahir dalam kondisi sakit-sakitan kemudian diubah namanya agar menjadi lebih sehat. Hal ini yang terjadi pada Presiden Joko Widodo yang terlahir dengan nama Mulyono.
Ritus Kedewasaan dan Peralihan Status Sosial
Dalam banyak kasus, perubahan nama pada masyarakat Jawa dilakukan sebagai bagian dari ritus kedewasaan atau peralihan status sosial. Misalnya, ketika seseorang mencapai usia tertentu atau memasuki fase hidup yang baru, nama lama yang dianggap kurang cocok bisa diganti dengan nama baru yang diyakini lebih sesuai dengan karakter atau takdir orang tersebut.
Sebagai contoh, sebut saja seseorang yang terlahir dengan nama sederhana seperti Wage bisa mengubah namanya sesuai dengan profesi yang kemudian dimilikinya. Perubahan nama ini bisa membuat dia dianggap menjadi lebih layak dengan status sosial baru yang dimilikinya.
Perubahan Nama Kusno Menjadi Soekarno
Salah satu contoh paling terkenal dari perubahan nama di kalangan orang Jawa adalah kisah Kusno, yang kemudian menjadi Soekarno, Presiden pertama Indonesia. Nama asli Soekarno, Kusno, diberikan oleh orang tuanya saat ia lahir pada tahun 1901. Namun, ketika ia masih kecil, Kusno sering jatuh sakit.
Akibatnya, orang tua Kusno memutuskan untuk mengganti namanya menjadi "Soekarno." Nama ini diambil dari salah satu tokoh dalam wiracarita Mahabharata, Karna, yang terkenal sebagai seorang ksatria dengan keberanian dan keadilan.
Sejak perubahan nama tersebut, Soekarno dikenal sebagai figur yang kuat dan berani, serta menjadi salah satu tokoh utama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam konteks tradisi Jawa, perubahan nama ini dianggap membawa keberuntungan dan membantu Soekarno menjalani hidup yang lebih baik.
Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro, salah satu pahlawan nasional yang memimpin Perang Jawa melawan penjajahan Belanda pada abad ke-19, juga mengalami perubahan nama yang signifikan dalam hidupnya. Nama asli Pangeran Diponegoro adalah Bendara Raden Mas Ontowiryo. Namun, setelah ia memilih untuk menolak kehidupan di istana dan memulai perlawanan terhadap Belanda, ia mengadopsi nama "Diponegoro," yang memiliki arti mendalam sebagai lambang kebangsawanan dan perjuangan.
Nama "Diponegoro" berasal dari kata "dipo" yang berarti pelindung atau penuntun, dan "negoro" yang berarti negara. Nama baru ini mencerminkan peran dan takdirnya sebagai pelindung tanah Jawa dan rakyatnya dari penjajah asing. Tradisi perubahan nama di kalangan priyayi Jawa sering kali mencerminkan transformasi individu menuju tanggung jawab sosial dan moral yang lebih besar, serta menunjukkan status baru mereka di masyarakat.
Abdurrahman Ad-Dakhil Menjadi Abdurrahman Wahid
Contoh lain dari perubahan nama yang menarik adalah perubahan nama Abdurrahman Ad-Dakhil menjadi Abdurrahman Wahid. Abdurrahman Wahid, yang lebih dikenal sebagai Gus Dur, adalah Presiden Indonesia keempat dan seorang ulama yang dihormati. Nama asli beliau, Abdurrahman Ad-Dakhil, diberikan oleh ayahnya, KH. Wahid Hasyim, dengan harapan agar Gus Dur kelak memiliki keberanian seperti Abdurrahman Ad-Dakhil, pemimpin pertama dinasti Umayyah di Andalusia.
Namun, nama Ad-Dakhil kemudian diganti dengan "Wahid," yang diambil dari nama ayahnya. Perubahan ini lebih dari sekadar persoalan nama; ia mencerminkan kedekatan Gus Dur dengan tradisi pesantren dan warisan intelektual keluarganya. Nama "Wahid" menunjukkan keterikatan kuat dengan ayahnya yang juga seorang tokoh besar dalam sejarah pesantren dan politik Islam di Indonesia. Dalam konteks ini, perubahan nama juga dapat dilihat sebagai cara untuk mewarisi semangat dan nilai-nilai keluarga, sekaligus menyederhanakan identitas yang lebih mudah dikenali oleh masyarakat luas.
Tradisi perubahan nama di kalangan masyarakat Jawa memiliki makna yang mendalam, lebih dari sekadar pergantian identitas. Perubahan nama ini mencerminkan keyakinan bahwa nama memiliki kekuatan untuk mempengaruhi nasib dan kehidupan seseorang. Dalam banyak kasus, perubahan nama dilakukan sebagai bentuk penyembuhan dari atau sebagai tanda kedewasaan dan tanggung jawab baru.