Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Kisah Kehidupan Seks Tentara Belanda di Indonesia

Kisah Kehidupan Seks Tentara Belanda di Indonesia Dua serdadu Belanda tengah bercengkrama dengan dua perempuan lokal di Sumedang. Arsip Nasional Belanda©2022 Merdeka.com

Merdeka.com - Segala cara dilakukan oleh anak-anak muda Belanda guna memenuhi hasrat purba mereka selama bertugas di koloni terbesar mereka.

Penulis: Hendi Jo

Antara tahun 1946-1947, Jenderal Mayor Moestopo pernah membentuk 'pasukan khusus' bernama BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Mereka yang sudah dilatih dasar-dasar kemiliteran itu lantas disebar di sektor Bandung Utara. Taktik perang biologis itu memang awalnya bisa menjadikan moril para serdadu Belanda menurun.

"Namun lambat laun itu juga terjadi pada para gerilyawan TNI sendiri yang ternyata diam-diam 'berlangganan' juga dengan anggota BWP," ungkap Himawan Soetanto, eks anak buah Moestopo.

Pembentukan BWP memang diilhami oleh situasi 'kesepian' para serdadu Belanda selama bertugas di Indonesia. Soal itu memang diakui oleh J.C. Princen, eks serdadu Belanda yang membelot ke kubu Republik. Menurut Poncke (panggilan akrab J.C. Princen), kebutuhan biologis di kalangan prajurit-prajurit muda Belanda selama bertugas di negeri tropis itu begitu tinggi.

Salep Hitam usai Bercinta

Demi memenuhi hasrat purba itu, sering ketika sedang bebas tugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka.

"Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur," ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1924 itu.

Hubungan suka sama suka kebanyakan dilakukan dengan para babu asrama. Mereka yang tiap hari melayani kebutuhan sehari-hari para serdadu (membersihkan tempat tidur, masak dan menyiapkan pakaian) kerap juga bisa berlaku sebagai seorang kekasih. Menurut sejarawan Belanda Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma, pada 1946-1948 banyak babu bahkan sudah dianggap sebagai 'istri tropis' para serdadu.

"Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi," tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang).

Poncke membenarkan jika hampir sebagian kawannya memiliki hubungan istimewa dengan para perempuan pribumi. Otomatis dalam hubungan tersebut, kontak seks merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam relasi tersebut.

"Peraturan memang melarang itu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya berkompromi dengan berlaku secepatnya mengoleskan salep hitam ke alat vital kami begitu selesai bercinta. Salep itu memang bau tapi sangat berguna," ujar Poncke.

Praktik Pelacuran Tumbuh Subuh

Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi.

"Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme," ungkapnya.

Penelusuran Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para babu yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu.

"Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini," ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie.

Kendati terdapat propaganda untuk tidak melakukan praktik seks dengan perempuan pribumi, namun pimpinan militer Belanda menyadari bahwa hal tersebut tidak realistis. Sebuah brosur KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memuat pesan bahwa melakukan kunjungan ke tempat pelacuran memang tidak diperbolehkan.

Namun dalam kenyataannya tidak ada pengawasan terhadap larangan tersebut, sehingga kepada para serdadu ditegaskan agar mereka paling tidak 'membersihkan diri dengan seksama secara profikasis'.

Situasi perang yang serba susah di tanah Hindia juga berpengaruh terhadap 'mudahnya' para serdadu mencari pasangan untuk bercinta. Dengan latar belakang kemiskinan kaum pribumi, praktik pelacuran pun tumbuh subuh bak cendawan di musim hujan.

"Di sini (Indonesia) banyak laki-laki yang sudah kehilangan akal (terutama dalam hal seks). Di sini kami mendapatkan begitu banyak tawaran untuk bermain seks, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar, tanpa perlu mencari-cari sendiri," demikian pengakuan seoran veteran bernama Jan Fokkens. (mdk/noe)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP