Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Sejarah Berdirinya Polri: Terbentuk di Tengah Kegentingan Revolusi

Sejarah Berdirinya Polri: Terbentuk di Tengah Kegentingan Revolusi Perdana Menteri Sutan Sjahrir tengah memeriksa pasukan Polisi RI. IPPHOS©2022 Merdeka.com

Merdeka.com - Saat awal berdirinya, Djawatan Kepolisian Nasional RI sempat ditawari untuk masuk dalam unit Civil Police yang digagas pihak Sekutu. Namun dengan tegas, permintaan itu ditolak oleh Komisaris Jenderal Soekanto.

Penulis: Hendi Jo

Setelah diangkat sebagai Kepala Kepolisian Nasional (KKN) oleh Presiden Sukarno pada 29 September 1945, Komisaris Jenderal Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo coba bergerak cepat.

Namun upayanya membentuk suatu Kepolisian Nasional seperti yang diinginkan Presiden Sukarno, ternyata harus terbentur pada soal koordinasi yang buruk antara pusat dan daerah. Selain itu upaya-upaya sabotase serta penyadapan yang dijalankan oleh Belanda (dan Inggris) serta tindakan main hakim sendiri oleh rakyat menjadikan situasi semakin rumit.

"Pada tiga bulan pertama, Soekanto belum bisa memulai tugasnya secara utuh," ujar sejarawan G.Ambar Wulan.

Menolak Gabung Civil Police

Tidak heran, banyak kasus-kasus yang lewat begitu saja . Alih-alih di seluruh Indonesia, untuk kawasan-kawasan yang jaraknya hanya belasan kilometer dari Jakarta, sering pihak Kepolisian tak bisa berbuat apa-apa. Insiden Kali Bekasi adalah salah satu contoh dari 'ketidakberdayaan' tersebut.

Dalam kondisi penuh kekurangan itu, pada Desember 1945, pihak Sekutu menawarkan kepada Soekanto untuk bergabung dalam Civil Police. Ajakan itu ditolak secara tegas dengan alasan sebagai kepala Kepolisian Negara yang diangkat oleh pemerintah RI, dia tetap memilih ikut pemerintah RI.

Penolakan itu menjadikan pihak Inggris merasa tersinggung. Mereka lantas melepas jaminan keamanan yang selama itu melekat terhadap Soekanto. Sadar jiwanya terancam di Jakarta, Soekanto lantas menyingkir ke Purwokerto. Namun sebelumnya, dia telah memerintahkan sebagian anak buahnya bertahan di Jakarta guna terus mengamati situasi.

Situasi Genting di Jakarta

Memasuki akhir 1945, kondisi keamanan di Jakarta semakin genting menyusul aksi-aksi teror yang dijalankan oleh para serdadu NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda). Bukan hanya ditujukan kepada rakyat biasa dan para pemuda, serdadu-serdadu NICA pun menyasar para pejabat tinggi Republik.

Hal itu terbukti dengan upaya percobaan pembunuhan yang dilakukan oleh mereka terhadap Perdana Menteri Sutan Sjahrir.

Pada 2 Januari 1946 sore, Soekanto secara diam-diam memerintahkan Inspektur Polisi Tingkat II Mardjaman Tjokrodiredjo (Kepala Tim Penyelidik/Intel Kepolisian Kementerian Dalam Negeri) dan wakilnya Pembantu Inspektur Polisi Tingkat II Winarso untuk memimpin misi mengungsikan Presiden dan wakil Presiden beserta keluarganya ke Yogyakarta, kota yang telah dipersiapkan sebagai pengganti ibu kota RI. Setelah berhasil mengecoh dan menembus beberapa lapisan penjagaan pihak Sekutu, misi penting pertama Kepolisian RI itu berjalan sukses.

Begitu ibu kota resmi berpindah ke Yogyakarta, dari Purwokerto, Soekanto mulai menata organisasi Kepolisian Negara agar lebih professional dan modern. Langkah pertama yang dia lakukan adalah mendirikan sejumlah lembaga pendidikan untuk menunjang kualitas personel kepolisian sekaligus menjadi sarana pengubah mental polisi: dari mental kolonial ke mental republik yang merdeka.

Berdirinya Lembaga Pendidikan Polisi

Menurut G. Ambar Wulan, langkah itu tidak serta merta diterima. Banyak kalangan yang justru berpendapat pendirian lembaga pendidikan kepolisian terlalu cepat mengingat suasana revolusi menuntut semua elemen bangsa berfokus terhadap upaya rekolonisasi Belanda.

Namun Soekanto tak ambil pusing. Maka berdirilah sejumlah lembaga pendidikan kepolisian RI di Sukabumi, Magelang dan Bukittinggi.

"Beliau ini berpikir visioner dengan tekadnya membentuk kader-kader kepolisian di masa depan," ujar Ambar.

Soekanto pun tak lupa untuk tetap mengupayakan pembentukan suatu Kepolisian Nasional yang utuh dan terkoordinasi. Pada 1 Juli 1946, pemerintah memutuskan Kepolisian Nasional tidak lagi di bawah Kementerian Dalam Negeri namun langsung di bawah Perdana Menteri (sesuai sistem parlementer yang berlaku saat itu).

Dengan adanya keputusan pemerintah tersebut, Jawatan Kepolisan Negara mendapat kebebasan dan kesempatan yang lebih luas serta dapat bekerja cepat untuk pembaharuan dan penyusunan organisasi. (mdk/noe)

Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP