Deretan Anggota BPK Terima 'Duit Panas' dari Koruptor, Teranyar Achsanul Qosasi
Achsanul Qosasi diduga telah menerima uang kurang lebih Rp 40 miliar dari Irwan Hermawan.
Achsanul Qosasi diduga menerima duit Rp40 M dari tersangka korupsi BTS
Deretan Anggota BPK Terima 'Duit Panas' dari Koruptor, Teranyar Achsanul Qosasi
Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi melakukan penahanan terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi.
Penahanan terhadap Achsanul ini usai ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi penyediaan infrastruktur Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2020 sampai dengan 2022.
Dalam kasus ini, Achsanul diduga telah menerima uang kurang lebih Rp40 miliar dari Irwan Hermawan melalui Windi Purnama dan Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyat, Jakpus pada 19 Juli 2022.
"Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif dan dikaitkan dengan alat bukti yang telah kami temukan sebelumya, sepakati kesimpulan telah ada cukup alat bukti untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,"
kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Kuntadi dalam keteranganya, Jumat (3/11).
Namun, kasus yang menimpa anggota BPK terkait perkara korupsi ini bukan kali pertama.
Pada April 2020, Rizal Djalil yang merupakan mantan anggota IV BPK juga lebih dulu berperkara.
Dalam perkaranya itu, Rizal dinilai terbukti menerima 100.000 dollar Singapura atau sekitar Rp1 miliar dari Komisaris Utama PT Minarta Dutahutama Leonardo Jusminarta Prasetyo.
Atas perbuatannya itu, ia pun divonis 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Selain Rizal Djalil, anggota BPK lainnya yang terjerat kasus korupsi yakni dua auditor BPK yaitu Rochmadi Saptogiri dan Ali Sadli.
Rochmadi selaku auditor utama BPK dalam pemeriksaan laporan keuangan Kemendes PDTT didakwa menerima uang suap sejumlah Rp 240 juta.
Uang tersebut disinyalir guna mempengaruhi pemberian opini WTP terhadap Kemendes PDTT atas laporan keuangan tahun 2015 dan semester I tahun anggaran 2016.
Sementara terdakwa lainnya, Ali Sadli didakwa menerima suap sebesar Rp40 juta dari Kemendes PDTT melalui mantan Irjen Kemendes PDTT; Sugito dan kepala bagian TU; Jarot Budi Prabowo.
Penerimaan suap diduga sebagai pengaruh opini WTP yang diberikan BPK terhadap Kemendes PDTT
Dalam perkaranya itu, Ali Sadli divonis 6 tahun penjara dan Rohmadi dihukum 7 tahun penjara pada Maret 2018.
Kasus Achsanul Qosasi
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo.
Setelah menjadi tersangka, Achsanul langsung dilakukan penahanan.
Hal itu terlihat ketika Achsanul memakai rompi khas tersangka Kejaksaan Agung berwarna pink. Pantauan merdeka.com, Jumat (3/11) pukul 11.00 WIB, Achsanul digelandang ke mobil tahanan Kejaksaan Agung.
Achsanul memakai rompi khas tersangka setelah Jampidsus Kejagung RI melakukan pemeriksaan sejak pukul 08.00 WIB.
Penetapan tersangka dan penahanan dilakukan setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) memanggil Achsanul Qosasi untuk dimintai keterangan pada hari ini, Jumat (3/11/2023).
"Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensif dan dikaitkan dengan alat bukti yang telah kami temukan sebelumya, sepakati kesimpulan telah ada cukup alat bukti untuk menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Kuntadi dalam keteranganya.
Kutandi menyebut, Achsanul Qosasi diduga telah menerima uang kurang lebih Rp 40 miliar dari Irwan Hermawan melalui Windi Purnama dan Sadikin Rusli di Hotel Grand Hyat, Jakpus pada 19 Juli 2022.
Guna kepentinganya penyidikan, Achsanul Qosasi ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam kasus ini, Achsanul Qosasi dijerat Pasal 12 huruf B dan huruf E atau Pasal 5 ayat 1 junto Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau Pasal 5 ayat 1 UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).