Penanganan Kasus Guru Honorer di Konawe Selatan Disarankan dengan Restorative Justice
Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), menangguhkan penahanan Supriyani.
Kasus yang menimpa guru honorer SDN Baito, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara Supriyani berbuntut panjang. Penyebabnya, guru honorer yang sudah 16 tahun mengabdi itu diduga memukul siswa berinisial D (6), anak seorang polisi di Polsek Baito.
Kasus ini pun menyita perhatian para pihak. Mereka mendorong agar kasus ini mengedepankan restorative justice ataupun bisa berdamai.
Wakil Ketua DPR RI Cucun Ahmad Syamsurijal menyoroti kasus guru honorer, Supriyani yang menjadi tersangka usai dituduh menganiaya siswa anak polisi di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Dia mendorong agar kasus guru Supriyani diselesaikan dengan langkah restorative justice atau keadilan restoratif.
"Kita sayangkan adanya perkara hukum yang menimpa salah satu guru honorer, Ibu Supriyani. Seharusnya permasalahan ini sejak awal bisa diselesaikan lewat jalur damai," kata Cucun Ahmad Syamsurijal, Kamis (24/10).
Cucun bersyukur, Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), menangguhkan penahanan Supriyani. Dia mengingatkan perlunya asas kemanusiaan terhadap seseorang di peradilan.
Meski penahanan guru Supriyani ditangguhkan, perkara hukumnya akan tetap dilanjutkan ke persidangan. Sidang perdana kasus Supriyani akan digelar di PN Andoolo hari ini.
"Kita bersyukur dengan keputusan penangguhan penahanan ini. Dalam proses peradilan, asas kemanusiaan juga harus jadi perhatian,” tutur Legislator dari Dapil Jawa Barat II itu.
Elite PKB ini juga mendorong perkara guru Supriyani dapat diselesaikan dengan pendekatan restorative justice (RJ) atau keadilan restoratif. Melalui pendekatan keadilan restoratif, penyelesaian perkara dapat dijadikan instrumen pemulihan keadilan.
"Terdapat berbagai pedoman hukum yang memungkinkan kasus Ibu guru Supriyani bisa diselesaikan dengan pendekatan RJ. Kita harapkan hakim bisa arif untuk mempertimbangkan dilakukannya RJ pada kasus ini," ungkap Cucun.
Salah satu beleid yang mengatur penerapan restorative justice oleh hakim atau pengadilan tertuang dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Cucun menyebut, penerapan keadilan restoratif dapat tercapai jika korban memaafkan pelaku tindak pidana, serta korban dan pelaku berdamai.
“Tidak semua masalah harus diselesaikan lewat pidana. Upayakan terciptanya perdamaian pada kasus hukum ringan. Aparat penegak hukum juga harus memastikan hadirnya keadilan bagi semua pihak,” sebutnya.
“Sebab keadilan hakiki bukan hanya tentang hitam dan putih. Keadilan yang sesungguhnya adalah bagaimana kita menempatkan segala sesuatu pada porsi yang tepat,” imbuh Cucun.
Pimpinan DPR yang membidangi urusan kesejahteraan rakyat (Kesra) itu pun mendorong pengadilan dapat betul-betul mengungkap kebenaran dari kasus ini. Cucun menyoroti bagaimana guru Supriyani yang bersikeras menyatakan tidak melakukan penganiayaan, ditambah dengan adanya sejumlah saksi yang mendukung pengakuan Supriyani.
“Kita harap pengadilan bisa membuka kebenaran dari kasus ini. Kita tidak ingin ada orang yang tidak bersalah jadi dirugikan karena adanya kesalahpahaman,” tegasnya.
Dukung Supriyani Diangkat jadi PPPK
Selain itu, Cucun menekankan pentingnya semua pemangku kepentingan, termasuk pihak kepolisian dan sistem peradilan, untuk menangani kasus ini dengan transparansi dan keadilan.
“Kita semua setuju bahwa penganiayaan terhadap anak adalah tindakan yang tidak bisa ditoleransi. Tapi kita juga harus memastikan bahwa semua pihak diperlakukan adil dan bahwa tuduhan tidak digunakan sebagai alat untuk menyerang,” paparnya.
Menurut Cucun, guru Supriyani berhak atas proses hukum yang adil di mana bukti dan fakta harus menjadi dasar dari setiap keputusan yang diambil. Dengan begitu tidak akan ada kecurigaan bahwa hukum tumpul ke atas tapi tajam ke bawah.
“Dalam hal ini, keadilan bukan hanya tentang menghukum yang bersalah, tetapi juga melindungi yang tidak bersalah dari stigma dan kerugian yang tidak seharusnya mereka alami,” tukas Cucun.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menyebut, kunci penyelesaian kasus tersebut adalah kejujuran. Dia menyayangkan sulitnya kejujuran dari kedua belah pihak sehingga memperbesar masalah dalam kasus ini.
"Kasus ini sebetulnya menguji kejujuran kedua belah pihak. Sangat sederhana. Jika saja para pihak jujur, maka kasus ini tidak perlu membesar dan semua dapat diselesaikan dengan mudah. Tetapi ternyata kejujuran itu mahal harganya. Ini yg menjadi ironis," kata Poengky, Jumat (25/10).
Poengky mengatakan Kompolnas selaku Pengawas Fungsional Polri hingga kini masih berkomunikasi dengan Polda Sultra dan Kapolres Konawe Selatan mengenai kronologi kasus dan penanganannya. Dia menyebut berdasarkan penelusuran, dijelaskan bahwa isu dimintainya uang damai Rp50 juta oleh orang tua korban terhadap guru honorer Supriyani tidaklah benar.
"Kompolnas juga menanyakan apakah benar ada permintaan uang dari orang tua korban kepada Ibu Supriyani, dan dijawab tidak benar ada permintaan uang," ujarnya.
Selain itu, Poengky juga mengatakan isu penahanan oleh penyidik terhadap guru honorer, Supriyani tidaklah benar. Supriyani tidak ditahan oleh penyidik, melainkan ditahan oleh jaksa.
"Kami juga menanyakan terkait informasi yang beredar di media sosial, apakah benar Penyidik melakukan penahanan terhadap Ibu Supriyani? Ternyata dijawab tidak benar jika penyidik telah melakukan penahanan. Yang melakukan penahanan adalah Jaksa," ujar Poengky.
Dia menyebut pihak penyidik sudah mengupayakan adanya penyelesaian dalam bentuk Restorative Justice sebanyak tiga kali namun masih belum ada titik temu.
Meski begitu, Poengky mengaku upaya penyelesaian melalui Restorative Justice masih terus diupayakan meski perkara sudah dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.
Sementara itu, persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Baito ramai-ramai menolak siswa D dan saksi kembali bersekolah di wilayah Kecamatan Baito.
Aksi tersebut disayangkan Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi. Dia menilai penanganan kasus penganiayaan atau pemukulan terhadap murid SDN 4 Baito berinisial D (6), anak seorang polisi oleh guru honorer Supriyani dapat menurunkan reputasi polisi.
Sebelumnya Fahmi mengatakan berbagai survei menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam tingkat kepercayaan masyarakat terhadap institusi polri, yang dipicu oleh serangkaian kasus yang mencuat ke publik, termasuk penyalahgunaan kewenangan, tindakan represif yang berlebihan, hingga dugaan korupsi di dalam tubuh kepolisian sendiri.
"Penanganan kasus Supriyani seorang guru honorer yang dipolisikan menjadi salah satu pemicu tambahan yang memperburuk persepsi tersebut. Ketika seorang warga sipil yang dianggap tidak berdaya menghadapi proses hukum formal tanpa ada kesempatan penyelesaian secara kekeluargaan, hal ini memberikan kesan bahwa polisi kurang sensitif terhadap konteks sosial dan kurang memprioritaskan pendekatan yang lebih humanis," kata Fahmi saat dihubungi Merdeka.com, Jumat (25/10).
Fahmi mengatakan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap polri dapat berdampak serius, tidak hanya pada citra polisi namun juga pada efektivitas penegakan hukum itu sendiri.
"Ketika masyarakat merasa tidak percaya atau takut terhadap aparat, partisipasi dalam melaporkan tindak kejahatan atau bekerja sama untuk menjaga ketertiban umum bisa menurun. Akibatnya, tujuan utama dari penegakan hukum yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bisa menjadi semakin sulit dicapai," jelasnya.
Supriyani Buka Suara
Seperti diketahui, Supriyani ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penganiayaan terhadap siswa oleh Polres Konawe Selatan pada Rabu (3/7) lalu. Supriyani kemudian sempat ditahan usai dilakukan tahap II penyerahan berkas perkara dan tersangka dari polisi ke Kejaksaan.
Namun akhirnya, hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan (Konsel), menangguhkan penahanan Supriyani dengan pertimbangan kondisi tersangka memiliki anak kecil dan statusnya sebagai guru di SD Negeri 4 Baito yang harus menjalankan tugasnya.
Beredar informasi, orang tua korban yang merupakan anggota polisi yang bertugas di Polsek Baito Konawe Selatan diduga meminta sejumlah uang Rp50 juta terkait kasus ini. Permintaan uang ini, disampaikan melalui kepala desa setempat.
Usai bebas, Supriyani mendatangi Kantor LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sultra. Saat wartawan mewawancarai ibu dua anak ini, dia tetap keukeuh mengatakan tidak pernah mengani bocah SD hingga mengalami luka dan kasusnya menjadi viral.
"Saya tidak pernah lakukan pemukulan, tidak pernah," ujar Supriani.