Perundungan Kian Mengerikan, Ini Deratan Kekerasan Libatkan Pelajar yang Bikin Geger
Deretan kasus di atas hanya segelintir. Tentu kondisi tersebut sungguh miris. Pelajar seorang tak lagi menunjukkan sikap sebagai seorang anak terpelajar.
Beberapa dari kasus kekerasan yang melibatkan pelajar viral di media sosial.
Perundungan Kian Mengerikan, Ini Deratan Kekerasan Libatkan Pelajar yang Bikin Geger
Kekerasan di kalangan pelajar kian mengerikan. Tak ada lagi rasa sungkan mempertontonkan kemarahan merek.
Sepekan ini ramai kasus kekerasan melibatkan pelajar viral. Seorang pelajar yang seharusnya menampilkan sikap hormat dan patuh berubah menjadi pelaku kekerasan. Mengerikan lagi, beberapa aksi kekerasan secara sadar mereka viralkan di media sosial.
Salah satunya peristiwa kekerasan yang melibatkan sejumlah pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah. Satu orang pelajar SMP inisial FF dianiaya kakak kelasnya, MKY dan WP. Mengacu pada rekaman yang viral, peristiwa itu tak lagi sekadar perundungan. Korban justru menjadi bulan-bulanan dua pelaku. Dipukuli dan ditendang hingga tak berdaya.
Peristiwa itu mengakibatkan korban luka-luka dan patah di salah satu rusuk. Dua orang pelaku sudah ditahan dan menyesali perbuatannya. Kasus ini masih terus diselidiki kepolisian. Kesimpulan sementara, penganiayaan itu buntut eksistensi geng sekolah.
"Kepada penyidik ya tentunya pelaku sangat menyesal," kata Kasat Reskrim Polresta Cilacap, Kompol Guntar Arif Setyoko kepada merdeka.com, Kamis (28/9) kemarin.
Beberapa saat sebelum kasus viral tersebut. Tak kalah mencengangkan. Seorang anak SD dicolok matanya oleh kakak kelas dengan tusukan cilok. Kejadian memilukan itu karena korban tak memberikan sejumlah uang yang dimintakan korban.
Kasus ini sudah terjadi sejak Agustus lalu. Meski penyidikannya baru ramai dua pekan terakhir setelah orang tua korban bukan suara. Korban yang trauma akhirnya bisa mengungkap pelaku. Yakni kakak kelasnya di kelas 4.
Tak kalah mencengangkan. Seorang murid di Demak berani membacok gurunya di sekolah. Peristiwa keji itu dia lakukan karena tak terima dengan penilaian guru tersebut pada tugas yang dia kerjakan.
Akibat perbuatannya itu, pelaku harus berurusan dengan polisi. Pelaku sudah ditangkap. Kasus ini masih terus didalami kepolisian.
"MAR mendekati korban sambil mengeluarkan sabit yang diselipkan di pinggang belakang lalu di bacokkan sebanyak dua kali mengenai leher korban belakang dan lengan kiri korban," ungkap Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Satake Bayu Setianto.
Hari ini, tak kalah viral di media sosial. Sekumpulan ABG wanita menganiaya siswi di sebuah tanah lapangan. Penyebabnya karena cemburu pacarnya direbut.
Pelaku utama berulang kali menggebuki wajah korban. Korban tampak dipiting dan pasrah digebuki. Teman-teman pelaku tak berusaha melerai. Justru mereka membiarkan kekerasan itu terjadi, malah merekamnya. Buntut kejadian tersebut, sekelompok wanita itu akhirnya digiring ke kantor polisi. Lima di antara tujuh pelaku masih di bawah umur.
"Motifnya ada kecemburuan. Pelaku ini cemburu, karena korban ini bersama dengan laki-laki (kekasih pelaku)," kata Kapolrestabes Makassar, Komisaris Besar Mokhamad Ngajib.
Deretan kasus di atas hanya segelintir. Tentu kondisi tersebut sungguh miris. Pelajar seorang tak lagi menunjukkan sikap sebagai seorang anak terpelajar.
Lalu pantaskah kasus-kasus kekerasan di atas hanya sekadar dianggap perundungan biasa di kalangan anak ABG?
Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menilai kata 'perundungan' sepertinya tidak lagi mewakili keseriusan peristiwa. Sebab apa yang terjadi adalah bentuk kekerasan yang serius.
"Kekerasan fisik atau penganiayaan lebih representatif," katanya saat berbincang dengan merdeka.com lewat surel, Jumat (29/9).
Namun demikian, dalam konteks anak melakukan kejahatan, katanya, persoalan tak lantas selesai ketika memutuskan pelaku di penjara. Apalagi, jika dalam rekam jejak anak tersebut. Ternyata pernah menjadi korban perundungan sebelumnya.
"Tapi, secara umum, ancaman pidana bagi anak-anak yang melakukan kekerasan fisik, saya khawatirkan tidak cukup menjerakan pelaku. Apalagi ketika kekerasan tersebut dilakukan sebagai respon terhadap anak lain yang notabenenya sudah melakukan perundungan lebih dulu."
Kata Reza.
@merdeka.com
Oleh karena itu, Reza sangat berharap kasus-kasus seperti ini jika pun pada akhirnya berujung restorative justice. Sangat perlu dilakukan secara simultan.
Lagi-lagi, disamping litigasi, juga dilakukan restorative justice secara simultan. Tidak sekadar meringankan atau menyelesaikan kasus dengan jalan damai, tanpa ada upaya-upaya yang bisa mengubah perilaku baik si pelaku mapun korban.
Seperti memastikan pelaku lebih kapok, sehingga tidak menjadi residivis. Dari sisi korban, jika berharap mendapat restitusi, peluangnya lebih tinggi. Kemudian, memastikan perluasan konflik yang mungkin melibatkan keluarga bisa diredam. Serta memastikan biaya proses penyelenggaraan restorative justice lebih rendah ketimbang litigasi.
Karena, katanya, bila melihat kasus pelaku perundungan di Cilacap yang pernah pindah sekolah karena sebelumnya melakukan kasus serupa, maka boleh jadi dia sudah bisa disebut sebagai residivis.
"Perhitungannya berdasarkan re-offence (pengulangan tindak pidana), bukan re-entry (keluar masuk lapas). Re-offence yang tidak menjadi kasus hukum," kata Reza.