Kasus Bullying Bocah Makin Mengerikan, Bisakah Pelaku yang Masih di Bawah Umur Dihukum Penjara?
Kasus bullying atau perundungan makin marak dalam sebulan terakhir.
Warganet mendesak penegak hukum untuk menangkap dan mengukum penjara anak-anak pelaku bullying.
Kasus Bullying Bocah Makin Mengerikan, Bisakah Pelaku yang Masih di Bawah Umur Dihukum Penjara?
Kasus bullying atau perundungan makin marak dalam sebulan terakhir. Potret mengerikan sekumpulan anak di bawah umur memaki, memukul hingga menendang teman sebaya secara brutal berseliweran di media sosial.
Satu kasus bullying yang menguras emosi publik terjadi di Cilacap. Seorang anak SMP membully dan memukuli temannya hanya gara-gara korban pindah geng lain. Kasus bully bocah di Cilacap itu sampai mendapat perhatian UNESCO. Dua anak jadi tersangka dalam kasus tersebut.
Warganet mendesak penegak hukum untuk menangkap dan mengukum penjara anak-anak pelaku bullying. Tujuannya agar menimbulkan efek jera. Meski demikian, publik ada yang pro dan kontra dengan hukuman penjara terhadap anak yang berhadapan dengan hukum (ABH).
Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar menjelaskan, anak-anak pelaku bullying sebenarnya bisa dijerat pidana. Aturan tersebut tertuang dalam UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
"Bisa (dikenakan pidana), karena setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak,"
kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar kepada merdeka.com, Selasa (3/10).
merdeka.com
Pasal Hukuman Anak Pelaku Bullying
Dalam UU 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, larangan tersebut tercantum pada Pasal 76C. Untuk sanksi pidananya diatur dalam Pasal 80 yakni "setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000"
"(2) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 thn dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000; (3) Dalam hal Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 Milyar; (4) Pidana ditambah 1/3 dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orangtuanya".
Kemudian, Pasal 170 KUHP berbunyi "barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun 6 bulan".
Pelaku yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 7 tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka.
Selanjutnya, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat, dan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.
"(3) Pasal 89 tidak diterapkan (pasal tentang membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan). Demikian juga dapat dikenakan ketentuan pidana penganiayaan dalam KUHP," ujarnya.
Secara terpisah, Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amirel menyebut kasus-kasus yang viral beberapa bulan terakhir tidak lagi dibilang sebagai perundungan, melainkan kekerasan fisik atau penganiayaan.
Demi memberikan efek jera, Reza mengusulkan pelaku bullying harus diselesaikan lewat jalan litigasi dan restorative justice.
"Tapi, secara umum, ancaman pidana bagi anak-anak yang melakukan kekerasan fisik, saya khawatirkan tidak cukup menjerakan pelaku. Apalagi ketika kekerasan tersebut dilakukan sebagai respons terhadap anak lain yang notabene sudah melakukan perundungan lebih dulu," ujar Reza.
"Lagi-lagi, di samping litigasi, juga dilakukan restorative justice secara simultan," tambahnya.
merdeka.com
Dia menjelaskan, Restorative Justice (RJ) mempunyai nilai tambah dalam kasus tersebut yakni agar terduga pelaku lebih menyesali dan kapok sehingga tidak akan menjadi residivis."Jika korban berharap mendapat restitusi, peluangnya lebih tinggi, meredam perluasan konflik, antar keluarga misalnya, dan biaya proses penyelenggaraan restorative justice lebih rendah ketimbang litigasi," jelasnya.
"Sisi lain, kalau pelaku pindah-pindah sekolah karena melakukan perundungan, maka boleh jadi dia pada dasarnya sudah bisa disebut sebagai residivis. Perhitungannya berdasarkan re-offence (pengulangan tindak pidana), bukan re-entry (keluar masuk lapas). Re-offence yang tidak menjadi kasus hukum," sambungnya.
Menurutnya, antara hukum pidana dan restorative justice perlu adanya kombinasi dalam penanganan kasus bullying tersebut. Konkretnya, anak yang berkonflik dengan hukum (pelaku) tetap dipidana hingga tuntas, namun restorative justicenya tetap dijalankan.
"Nah, kekeliruan cara pandang itu yang masih ada di otoritas penegakan hukum. Bahwa seolah hukum harus memilih RJ atau litigasi, tak boleh kombinasi," ucapnya.
Beberapa kasus itu seperti melibatkan sejumlah pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah. Satu orang pelajar SMP inisial FF dianiaya kakak kelasnya, MKY dan WP. Mengacu pada rekaman yang viral, peristiwa itu tak lagi sekadar perundungan. Korban justru menjadi bulan-bulanan dua pelaku. Dipukuli dan ditendang hingga tak berdaya.
Peristiwa itu mengakibatkan korban luka-luka dan patah di salah satu rusuk. Dua orang pelaku sudah ditahan dan menyesali perbuatannya. Kasus ini masih terus diselidiki kepolisian. Kesimpulan sementara, penganiayaan itu buntut eksistensi geng sekolah.
"Kepada penyidik ya tentunya pelaku sangat menyesal,"
kata Kasat Reskrim Polresta Cilacap, Kompol Guntar Arif Setyoko kepada merdeka.com, Kamis (28/9) kemarin.
Tak kalah mencengangkan, seorang anak SD dicolok matanya oleh kakak kelas dengan tusukan cilok. Kejadian memilukan itu karena korban tak memberikan sejumlah uang yang dimintakan korban.
Kasus ini sudah terjadi sejak Agustus lalu. Meski penyidikannya baru ramai dua pekan terakhir setelah orang tua korban bukan suara. Korban yang trauma akhirnya bisa mengungkap pelaku. Yakni kakak kelasnya di kelas 4.
Selanjutnya, seorang murid di Demak berani membacok gurunya di sekolah. Peristiwa keji itu dia lakukan karena tak terima dengan penilaian guru tersebut pada tugas yang dia kerjakan.
Akibat perbuatannya itu, pelaku harus berurusan dengan polisi. Pelaku sudah ditangkap. Kasus ini masih terus didalami kepolisian.
"MAR mendekati korban sambil mengeluarkan sabit yang diselipkan di pinggang belakang lalu di bacokkan sebanyak dua kali mengenai leher korban belakang dan lengan kiri korban," ungkap Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Satake Bayu Setianto.
Yang kalah viral di media sosial, sekumpulan ABG wanita menganiaya siswi di sebuah tanah lapangan. Penyebabnya karena cemburu pacarnya direbut.
Pelaku utama berulang kali menggebuki wajah korban. Korban tampak dipiting dan pasrah digebuki. Teman-teman pelaku tak berusaha melerai. Justru mereka membiarkan kekerasan itu terjadi, malah merekamnya. Buntut kejadian tersebut, sekelompok wanita itu akhirnya digiring ke kantor polisi. Lima di antara tujuh pelaku masih di bawah umur.
"Motifnya ada kecemburuan. Pelaku ini cemburu, karena korban ini bersama dengan laki-laki (kekasih pelaku)," kata Kapolrestabes Makassar, Komisaris Besar Mokhamad Ngajib.
Deretan kasus di atas hanya segelintir. Tentu kondisi tersebut sungguh miris. Pelajar seorang tak lagi menunjukkan sikap sebagai seorang anak terpelajar.