Profil dan Prestasi Yati Pesek, Seniman Senior 'Diolok-olok' Gus Miftah
Potongan video pelawak senior Suyati alias Yati Pesek diolok-olok pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah viral di media sosial.
Potongan video pelawak senior Suyati alias Yati Pesek diolok-olok pendakwah Miftah Maulana Habiburrahman atau Gus Miftah viral di media sosial. Video itu menambah kontroversi Gus Miftah, yang sebelumnya disorot usai dianggap menghina penjual es teh bernama Sunhaji sedang berjualan di tengah ceramah agama pendiri Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta tersebut.
Dalam video yang beredar, Gus Miftah dan Yati Pesek tampil dalam acara Limbukan Wayang Kulit di Pondok Pesantren Ora Aji, Sleman, Yogyakarta. Gus Miftah melemparkan candaan pada Yati yang dianggap menghina fisik.
Dia mengatakan, bersyukur Yati memiliki wajah jelek. Jika Yati terlahir cantik, kata Gus Miftah, maka akan menjadi wanita penghibur.
"Kulo niku bersyukur Bude Yati elek, nek ayu dadi lont* to niki, (Aku bersyukur Bude Yati jelek, kalau cantik jadi lont*)," seloroh Gus Miftah disambut tawa para hadirin.
Respons Yati
Namun Yati Pesek justru menunjukkan kearifan dan kedewasaan dalam merespons ejekan Gus Miftah. Yati Pesek yang dikenal dengan gaya lawakan khasnya, memberikan tanggapan elegan dengan mengingatkan pentingnya etika dan kesantunan dalam bertutur kata.
"Saiki kok dadi suarane kongono. Untung Gus sampean kui saiki neng kene ora ustad kok ya, ora dadi kiai, dudu, (Kok sekarang omongannya jadi begitu. Untung Gus kamu sekarang di sini bukan jadi ustaz, bukan sedang jadi kiai)," ucap Yati.
Respons Yati Pesek itu semakin menyoroti eksistensinya sebagai seniman senior yang telah berkiprah lebih dari lima dekade di dunia seni pertunjukan Indonesia.
Meski mendapat 'candaan' yang dinilai tidak pantas, Yati Pesek tetap menunjukkan sikap bijaksana dengan mengatakan 'Sampeyan saiki arepa enom ning dadi guruku lo' (kamu ini meskipun muda jadi guruku, lo).
Respons elegan ini menegaskan kembali kematangan Yati Pesek sebagai seniman yang tidak hanya piawai dalam menghibur, tetapi juga memahami nilai-nilai kesopanan dalam budaya Jawa. Sosok yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama ini telah membuktikan diri sebagai seniman multitalenta yang konsisten menjaga etika dan profesionalisme.
Untuk lebih mengenal siapa Yati Pesek, simak profil lengkapnya berikut ini, yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber, pada Jumat (6/12).
Perjalanan Karir Yati Pesek
Perjalanan Yati Pesek dalam dunia seni pertunjukan adalah sebuah kisah yang menggugah semangat, menggambarkan bagaimana bakat, ketekunan, dan ketahanan dapat mengubah keterbatasan menjadi kekuatan. Dia lahir dengan nama asli Suyati pada 8 Agustus 1952 di Yogyakarta, dalam sebuah keluarga yang kaya akan tradisi seni.
Darah seni mengalir dalam dirinya, berkat pengaruh kedua orangtuanya. Ayahnya, Sujito, adalah seorang pengrawit yang memiliki pemahaman mendalam tentang karawitan Jawa, sementara ibunya, Sujilah, merupakan penari wayang orang yang mahir membawakan berbagai karakter.
Bakat seni Yati semakin diperkuat oleh warisan genetik dari kakeknya, Raki Martadarma, seorang pelawak tobong ketoprak yang dikenal dengan lawakan-lawakan spontan yang menghibur. Lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan seni pertunjukan ini secara alami membentuk kepribadian dan kemampuan Yati sejak kecil.
Sejak usia dini, ia sering menemani orangtuanya dalam pentas, mengamati, dan belajar langsung dari pengalaman di panggung. Pengalaman tersebut memberinya pemahaman yang mendalam tentang berbagai aspek seni pertunjukan, termasuk tari, musik, dan teater tradisional.
Meskipun tidak memiliki kesempatan untuk menempuh pendidikan formal yang tinggi, Yati justru mendapatkan pendidikan terbaik melalui praktik langsung di lapangan. Namun, hidupnya tidak selalu mulus.
Di usia sembilan tahun, Yati Pesek harus menghadapi kehilangan yang mendalam ketika ayahnya meninggal dunia. Tiga tahun kemudian, ibunya menyusul pergi. Menjadi yatim piatu di usia yang begitu muda tidak membuatnya patah semangat; sebaliknya, hal ini justru memotivasi Yati untuk mandiri dan lebih mendalami dunia seni sebagai jalan hidupnya.
Kesulitan dan keterbatasan yang ia alami di masa kecilnya justru menjadi pondasi yang kuat dalam membangun karier. Pengalaman hidup yang penuh tantangan membentuknya menjadi seorang seniman yang tangguh, adaptif, dan peka terhadap berbagai situasi.
Kemampuan Yati untuk membaca situasi dan mengubah kesedihan menjadi hiburan menjadi salah satu kunci kesuksesannya sebagai pelawak dan seniman serba bisa yang dicintai masyarakat. Dengan segala perjuangan dan dedikasinya, Yati Pesek telah membuktikan bahwa dari keterbatasan dapat lahir kekuatan yang luar biasa dalam dunia seni.
Masa Kecil dan Pendidikan Yati Pesek
1. Keterbatasan Pendidikan Formal
Kisah masa kecil Yati Pesek mencerminkan kenyataan yang dihadapi banyak seniman tradisional pada zamannya, di mana mereka sering kali harus mengorbankan pendidikan formal demi mengejar passion dan memenuhi kebutuhan hidup. Seperti kebanyakan anak dari seniman tobong, Yati Pesek hanya mengenyam pendidikan hingga tingkat Sekolah Dasar.
Ketidakmampuan untuk melanjutkan pendidikan bukan disebabkan oleh kurangnya kecerdasan, melainkan karena tuntutan untuk tampil dalam pertunjukan yang sering kali bersamaan dengan jadwal sekolah. Setiap kali ada pertunjukan wayang orang, Yati kecil sering kali diberi kesempatan untuk menari sebagai pembuka acara. Kegiatan ini menyebabkan Yati bolos sekolah secara rutin, hingga akhirnya ia memutuskan untuk fokus pada karier di dunia seni pertunjukan.
2. Pendidikan Non-Formal yang Kaya
Meskipun terbatas dalam pendidikan formal, Yati Pesek justru mendapatkan pengalaman pendidikan non-formal yang sangat berharga. Ia belajar tari dari ibunya dan juga dari R.M. Joko Daulat, seorang guru tari dari Konservatori Karawitan Surakarta.
Selain itu, Yati juga mengikuti kelas tari kelompok di bawah bimbingan Basuki Koeswaraga, guru tari terkenal asal Yogyakarta. Kombinasi dari berbagai sumber pengajaran ini memberikan fondasi yang kuat bagi kemampuan menarinya dan memperkaya keterampilannya dalam seni pertunjukan.
3. Sekolah Kehidupan di Panggung
Menghadapi kehilangan orang tua di usia muda, Yati Pesek terpaksa belajar banyak dari kehidupan itu sendiri. Panggung tobong berfungsi sebagai "sekolah" dan "rumah" baginya, di mana ia mempelajari berbagai aspek seni pertunjukan secara langsung. Dari teknik menari, akting, hingga memahami selera penonton, semua ini ia pelajari selama tampil. Pengalaman tersebut juga mengajarkannya tentang disiplin, kerja keras, serta pentingnya membangun jaringan di dunia seni pertunjukan.
4. Pendidikan Karakter Melalui Kesenian
Walaupun tidak memiliki ijazah pendidikan formal yang tinggi, Yati Pesek memperoleh pendidikan karakter yang sangat berharga dari dunia seni pertunjukan. Ia belajar kesabaran, keuletan, dan profesionalisme dari para seniman senior yang menginspirasinya. Nilai-nilai budaya Jawa seperti unggah-ungguh (tatakrama), tepa slira (tenggang rasa), dan filosofi hidup lainnya ia serap melalui berbagai lakon yang dipentaskan.
Perjalanan pendidikan Yati Pesek membuktikan bahwa kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Kombinasi antara bakat alami, ketekunan dalam belajar, dan pengalaman langsung di lapangan telah membentuknya menjadi seniman multitalenta yang mampu bertahan dan berkembang hingga saat ini. Pengalamannya menjadi bukti bahwa pendidikan sejati dapat diperoleh dari berbagai sumber, tidak terbatas pada bangku sekolah formal saja.
Karir profesional Yati Pesek merupakan sebuah kisah inspiratif yang menggambarkan bagaimana seorang seniman dapat bertahan dan berkembang di berbagai era. Dari panggung tobong hingga layar kaca, serta dari era analog ke digital, Yati Pesek telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi tanpa mengubah karakteristik unik yang menjadi daya tariknya di mata penonton dari berbagai generasi.
1. Era Tobong (1964-1980)
Karir Yati Pesek dimulai pada tahun 1964 saat ia bergabung dengan Wayang Orang Jati Mulya yang berasal dari Kebumen. Masa ini menjadi periode penting baginya untuk mempelajari seluk-beluk dunia seni pertunjukan. Ia aktif berpindah dari satu kelompok seni ke kelompok lainnya, termasuk bergabung dengan Panca Murti yang dipimpin oleh Timbul Srimulat pada tahun 1966, dan Darma Mudha Yogyakarta pada tahun 1967. Puncak dari perjalanan ini terjadi ketika ia bergabung dengan Wayang Orang Ajudan Jendral Komando Resort Militer Madiun pada tahun 1968. Perpindahan dari satu grup ke grup lain tidak hanya untuk mencari penghasilan, tetapi juga sebagai proses untuk mengasah kemampuan dan membangun jaringan di dunia seni pertunjukan.
2. Era Televisi (1980-1990)
Puncak perubahan dalam karir Yati Pesek terjadi pada tahun 1980 ketika Handhung Kussudiharja merekrutnya untuk bergabung dalam Sandiwara Jenaka KR yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta. Program yang ditayangkan setiap minggu selama sepuluh tahun ini membuat namanya semakin dikenal di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kesuksesan ini berlanjut ketika ia tampil bersama Sumarwoto dan Daryadi dalam acara Trio Jenaka KR, yang semakin memperkuat posisinya sebagai pelawak perempuan yang diperhitungkan dalam industri hiburan.
3. Era Film dan Sinetron (1982-1990)
Popularitas Yati Pesek di televisi menarik perhatian banyak sutradara film nasional. Salah satunya, sutradara Arifin C. Noer, memberinya kesempatan untuk berakting dalam film "Serangan Fajar" pada tahun 1982. Kesempatan ini diikuti dengan peran-peran lainnya dalam sinetron "Kiprah" dan "Anak Dalang" yang ditayangkan di TVRI Jakarta pada tahun 1984, serta film "Langitku Rumahku" yang disutradarai oleh Slamet Raharjo pada tahun yang sama. Periode ini menunjukkan kemampuan Yati Pesek untuk beradaptasi dengan berbagai medium sambil tetap mempertahankan karakteristik uniknya.
4. Era Wayang dan Ketoprak (1986-2000)
Tahun 1986 menandai awal baru dalam perjalanan karir Yati Pesek ketika ia mulai tampil sebagai bintang tamu dalam pertunjukan wayang kulit Ki Manteb Soedarsono di Taman Ismail Marzuki. Kehadirannya yang spontan dalam pertunjukan tersebut menciptakan chemistry yang luar biasa dengan sang dalang, yang mengubah tradisi pertunjukan wayang kulit dengan kehadiran bintang tamu pelawak. Era ini juga ditandai dengan keterlibatannya dalam Ketoprak Plesetan Sapta Mandala pada tahun 1991, yang semakin memperkaya karirnya.
5. Era Milenium (2000-sekarang)
Di era milenium, Yati Pesek menunjukkan relevansinya dengan menciptakan program Limbuk Cangik yang tayang di Indosiar hingga 67 episode pada tahun 2003. Ia juga aktif dalam mengembangkan seni pertunjukan melalui Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum pada tahun 2005, Ketoprak Kartini Mataram pada tahun 2007, dan Wayang Orang Tresno Budaya pada tahun 2009. Sejak tahun 2008 hingga sekarang, ia dipercaya untuk mengasuh acara reguler Padhepokan Karang Tumaritis di TVRI Yogyakarta. Perjalanan karirnya menunjukkan bahwa untuk mencapai kesuksesan berkelanjutan dalam dunia seni pertunjukan, dibutuhkan lebih dari sekadar bakat. Kemampuan untuk beradaptasi, membangun jaringan yang kuat, dan konsistensi dalam pengembangan diri sangat penting. Yang lebih berarti, perjalanan Yati Pesek membuktikan bahwa seniman tradisional dapat tetap relevan di era modern tanpa kehilangan akar budaya mereka. Kini, di usia senjanya, Yati Pesek tidak hanya menjadi ikon pelawak perempuan Indonesia, tetapi juga teladan bagi generasi muda tentang bagaimana cara bertahan dan berkembang dalam industri hiburan yang terus berubah.
Prestasi
Dedikasi dan konsistensi Yati Pesek dalam dunia seni pertunjukan selama lebih dari lima dekade telah diakui oleh berbagai pihak. Penghargaan yang diterimanya mencerminkan tidak hanya kemampuannya sebagai seniman, tetapi juga perannya dalam pelestarian dan pengembangan seni budaya tradisional.
1. Penghargaan Adinugraha TATV (2008)
Pada 10 Oktober 2008, Yati Pesek menerima penghargaan Adinugraha dari TATV dalam kategori Supporting Program Budaya. Penghargaan ini mengakui kontribusinya dalam mengembangkan program-program budaya di televisi yang tidak hanya menghibur tetapi juga bersifat edukatif. Melalui berbagai program yang dibawakannya, Yati Pesek berhasil menyajikan nilai-nilai budaya Jawa dengan cara yang ringan dan mudah dipahami oleh berbagai kalangan.
2. Women Actualization dari ASMI Santa Maria Yogyakarta (2009)
Penghargaan yang diberikan oleh ASMI Santa Maria Yogyakarta pada 30 Mei 2009 mengakui peran Yati Pesek sebagai perempuan yang berhasil mengaktualisasikan dirinya dalam dunia seni pertunjukan. Penghargaan ini memiliki makna yang mendalam karena mengakui kiprahnya sebagai seniman perempuan yang mampu bertahan dan berkembang di industri hiburan yang saat itu didominasi oleh laki-laki.
3. Gelar Kehormatan dari Kraton Surakarta (2009)
Pencapaian tertinggi dalam karir Yati Pesek terjadi pada 8 Juli 2009 ketika Kraton Surakarta menganugerahkan gelar Kangjeng Mas Ayu Tumenggung Walitodiningrum. Penganugerahan gelar ini bukan sekadar formalitas, tetapi merupakan pengakuan atas jasanya dalam melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional Jawa. Gelar ini juga menegaskan posisinya sebagai seniman yang dihormati dalam lingkup budaya Jawa.
4. Anugerah Budaya dari Gubernur DIY (2013)
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta memberikan Penghargaan Anugerah Budaya kepada Yati Pesek pada 17 Desember 2013 sebagai Seniman Ketoprak. Penghargaan ini mengakui dedikasinya dalam mengembangkan dan melestarikan seni ketoprak, sebuah bentuk teater tradisional Jawa yang kaya akan nilai-nilai budaya dan pendidikan karakter.
5. Penghargaan Anugrah UNY Kencana (2014)
Universitas Negeri Yogyakarta memberikan penghargaan Anugrah UNY Kencana kepada Yati Pesek sebagai Pegiat Pendidikan yang Produktif, Kreatif, dan Inspiratif. Penghargaan ini mengakui perannya tidak hanya sebagai seniman pertunjukan, tetapi juga sebagai pendidik yang mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada generasi muda melalui seni.
Rangkaian penghargaan yang diterima oleh Yati Pesek menunjukkan bahwa kontribusinya dalam dunia seni pertunjukan telah diakui oleh berbagai institusi, mulai dari media, lembaga pendidikan, hingga institusi budaya tertinggi seperti keraton. Penghargaan-penghargaan ini tidak hanya menjadi bukti pencapaian pribadinya, tetapi juga menjadi inspirasi bagi generasi muda bahwa dedikasi dan konsistensi dalam berkarya akan mendapatkan pengakuan yang layak. Selain itu, penghargaan-penghargaan tersebut berfungsi sebagai motivasi baginya untuk terus berkarya dan memberikan yang terbaik bagi perkembangan seni budaya Indonesia.
Yati Pesek tidak hanya sekadar menghibur, tetapi juga memberikan kontribusi yang signifikan dalam pelestarian serta pengembangan seni budaya tradisional. Kesadarannya akan pentingnya regenerasi seniman mendorongnya untuk melakukan berbagai inisiatif demi memastikan keberlangsungan seni pertunjukan tradisional di tengah modernisasi yang terus berkembang.
1. Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum (2005)
Pada tahun 2005, Yati Pesek mendirikan Padhepokan Seni Endah Suryatiningrum di Desa Manisrengga, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, sebagai bentuk kesadarannya akan pentingnya wadah untuk mewariskan ilmu dan pengalaman kepada generasi muda. Tempat ini tidak hanya berfungsi sebagai lokasi belajar seni pertunjukan, tetapi juga sebagai ruang untuk menumbuhkan kecintaan terhadap budaya tradisional. Di padhepokan ini, para siswa diajarkan tidak hanya teknik menari atau berakting, tetapi juga nilai-nilai luhur budaya Jawa yang terkandung dalam setiap gerakan dan dialog yang mereka pelajari.
2. Ketoprak Kartini Mataram (2007)
Yati Pesek, sebagai seorang seniman perempuan yang berhasil menembus dominasi laki-laki dalam seni pertunjukan, memiliki perhatian khusus terhadap pemberdayaan perempuan dalam seni tradisional. Hal ini tercermin dalam pendirian Ketoprak Kartini Mataram pada tahun 2007, sebuah kelompok ketoprak yang seluruh anggotanya adalah perempuan. Penampilan perdana grup ini berlangsung pada 21 April 2007 di Pura Wisata untuk memperingati Hari Kartini. Inisiatif ini tidak hanya memberikan ruang bagi seniman perempuan untuk berekspresi, tetapi juga menantang stereotip gender dalam dunia seni pertunjukan tradisional.
3. Wayang Orang Tresno Budaya (2009)
Pada tahun 2009, Yati Pesek mendirikan Wayang Orang Tresno Budaya dengan konsep keanggotaan yang terbuka untuk semua kalangan. Ide ini muncul dari keinginannya agar seni wayang orang lebih mudah diakses oleh masyarakat. Dengan kelompok ini, siapa saja yang berminat terhadap seni wayang orang dapat bergabung dan belajar, tanpa terhalang oleh latar belakang sosial atau pengalaman berkesenian sebelumnya.
4. Program Reguler Padhepokan Karang Tumaritis
Sejak 2008 hingga saat ini, Yati Pesek telah dipercaya untuk mengasuh acara reguler Padhepokan Karang Tumaritis yang ditayangkan di TVRI Yogyakarta setiap Minggu pertama dan ketiga. Program ini menunjukkan konsistensinya dalam menyebarluaskan pengetahuan serta apresiasi terhadap seni tradisional melalui media massa. Dalam program ini, ia tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan edukasi kepada penonton tentang berbagai aspek seni dan budaya Jawa.
5. Pembinaan Seniman Muda
Di luar institusi formal yang didirikannya, Yati Pesek juga aktif melakukan pembinaan informal terhadap seniman muda. Pengalamannya yang luas dalam seni pertunjukan dibagikan melalui berbagai workshop, pelatihan, dan mentoring pribadi. Ia sering memberikan kesempatan kepada seniman muda untuk tampil bersamanya, yang merupakan bentuk regenerasi yang efektif dalam dunia seni pertunjukan.
Warisan dan kontribusi Yati Pesek dalam seni pertunjukan Indonesia melampaui pencapaian pribadinya sebagai seniman. Melalui beragam inisiatif yang ia bangun, ia telah menciptakan sistem regenerasi yang berkelanjutan untuk seni pertunjukan tradisional. Lembaga-lembaga yang didirikannya tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar seni, tetapi juga sebagai penghubung antara tradisi masa lalu dan generasi masa kini. Yang lebih penting, warisan terbesarnya adalah teladan bahwa seniman tradisional harus terus berinovasi dan beradaptasi tanpa kehilangan akar budayanya. Semangat ini menjadi inspirasi bagi generasi penerus untuk terus melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan tradisional Indonesia. Hingga saat ini, di usia yang telah menginjak 72 tahun, Yati Pesek tetap aktif berkarya dan menginspirasi generasi muda untuk mencintai serta melestarikan seni pertunjukan tradisional Indonesia.