Srimulat terus lucu karena 'hil yang mustahal'

Merdeka.com - Grup lawak legendaris Srimulat berhasil bertahan dari ketatnya persaingan dunia hiburan Tanah Air selama beberapa dekade bukan tanpa alasan. Tak cuma kerja keras, ada kerja cerdas lain yang membuat kelompok ini begitu digandrungi masyarakat di masa jayanya.

Pada awal berdirinya pada periode akhir 1950-an di Solo, kelompok sandiwara yang dipimpin oleh Kho Tjien Tiong alias Teguh Slamet Rahardjo ini mengadopsi pola lazim dalam pentas-pentas grup hiburan lain. Yaitu menggabungkan lawakan dari pakem dagelan mataram dengan ketoprak dan nyanyian keroncong. Akhirnya setelah beberapa kali ganti nama dari Gema Malam Srimulat, menjadi Srimulat Review, lalu mantap memakai nama Srimulat saja, kelompok ini semakin berkibar dan punya ciri khas tersendiri dalam menghibur masyarakat.

Walau tampil tanpa skrip, penampilan Srimulat tetap diarsiteki orang di balik layar, yaitu Teguh sendiri. Bahkan, kredo berkesenian yang dicetuskan Teguh menjadi salah satu pakem lawak paling efektif di Indonesia. Seperti dikutip dari Buku "Teguh Srimulat" (2009) karya Herry Gendut Janarto, bos kelompok lawak kondang itu beberapa kali menerangkan prinsipnya dalam mengajarkan setiap anggota Srimulat dalam menyampaikan banyolan. "Lucu itu aneh, dan aneh itu lucu," kata Teguh singkat.

Prinsip lakukan apa saja asal aneh itu akhirnya diterjemahkan para pemain Srimulat dengan membentuk ciri khas banyolan. Kita tentu mengenal bagaimana Pak Bendot bakal bikin penonton ketawa saat diam dan pasang tampang polos. Jangan lupakan juga Asmuni yang langsung menarik perhatian lantaran punya kumis mirip Hitler sambil bermain plesetan, "itu hil yang mustahal". Dari pemain senior seperti Sumiati, Edi Geyol, Bandempo, sampai generasi lebih muda seperti Tarzan, Gogon, Tessy, atau Priyo Aljabar, semua berusaha memiliki ciri khas.

Keanehan lain yang diumbar anggota Srimulat supaya mengocok perut penonton adalah merusak pakem adat. Salah satu strateginya adalah mempermainkan posisi majikan dan babu. Bagi masyarakat Jawa yang relatif masih feodal saat Srimulat jaya, adegan Pak Bendot atau Basuki bisa enak mempermainkan Tarzan dan Mamiek Prakoso yang berperan sebagai ndoro sangat mengundang tawa.

Kunci kesuksesan lain Srimulat adalah ambisi Teguh untuk tidak berhenti hanya pada banyolan. Pentas-pentas grup lawak ini pada periode 1980-an sangat variatif. Bahkan bisa dibilang lintas genre karena menggabungkan banyak elemen cerita horor, sejarah, sampai silat. Khusus cerita horor komedi, pentas dilakukan pada malam jumat alias saban Kamis. Pakem ini bahkan masih ditiru oleh siaran komedi "Opera Van Java" di stasiun televisi Trans7.

Tidak heran, pada masa jayanya saat punya panggung eksklusif di Surabaya, Solo, Jakarta, dan Semarang, grup ini menggelar lakon dengan tema menggelitik. Misalnya, "Drakula Sakit Gigi", "Roh Cleopatra", atau "Drakula Delapan Penjuru Angin". Ketika banyak grup lawak enggan melirik potensi media selain pentas teater, Teguh pun sudah melirik sarana audiovisual. Pria yang kemudian menikahi Djujuk saat istri pertamanya Srimulat yang jadi sumber penamaan grupnya itu meninggal, pernah membuat perusahaan film bernama Srimulat Film Corporation pada tahun 1973 di Surabaya. Ada beberapa pula rekaman kaset yang dibikin oleh kelompok ini, lagi-lagi atas inisiatif Teguh.

Inilah alasan para pengamat Srimulat menyebut Teguh sebagai pembaharu yang sukses menyandingkan dagelan tradisional dengan seni peran yang lebih modern.

Kini Srimulat secara resmi sudah bubar. Saat dihidupkan kembali oleh televisi, mantan anggota kelompoknya mengakui mereka bukan lagi pelawak Srimulat yang dulu, meski masih memiliki citarasa guyonan yang sama. Faktor pembedanya tentu saja ketiadaan seorang Teguh yang wafat pada 22 September 1996 di Solo akibat diabetes.

Zaman boleh berganti, namun jika anda menyaksikan lagak para pentolan Srimulat dan masih tertawa, berkat visi seniman besar Teguh Srimulat, hal itu bukanlah "hil yang mustahal". (mdk/war)