Capres Ini Saat Kecil Menangis Dimarahi Ketika Ambil Barang Bapaknya: Biar Cuma Satu, Tapi Ini Punya Negara
"Mati-matian aku berusaha menelan suara tangis. Aku sungguh-sungguh menyesal," ujarnya.
Demi membuat kalung seperti yang dipakai idolanya.
Capres Ini Saat Kecil Menangis Dimarahi Ketika Ambil Barang Bapaknya: Biar Cuma Satu, Tapi Ini Punya Negara
Memiliki orangtua abdi negara, disiplin sejak kecil menjadi hal wajib dilakukan oleh pria yang kini jadi capres di 2024. Namun, pria ini jauh berbeda dengan watak bapaknya tersebut, musik aliran rock menjadi 'lagu wajib' yang harus didengarkan oleh telinganya tiap hari.
Led Zeppelin, Deep Purple, Scorpions, atau Guns N' Roses merupakan idolanya. Lirik lagu band rock tersebut seakan jadi 'mantra' yang kerap dinyanyikan tiap harinya.
Menjadi rocker adalah impiannya di era 80'an. Rock dianggapnya sebagai langkah untuk mengekspresikan kebebasan.
"Waktu itu musik rock menjadi musik yang amat aku sukai," katanya.
Bersama teman karibnya di SMP, dia terbiasa blusukan ke Pasar di desanya demi mencari kaset yang diimpikannya. Yang dicarinya bukan kaset baru, tapi kaset bekas. Harga kaset kala itu sekitar Rp500.
Suatu kali dirinya senang sekali mendapatkan album kaset Iwan Fals berjudul Tiga Bulan. Sebetulnya, kaset ini bukanlah yang dicarinya. Karena penasaran, ia pun membelinya seharga Rp500.
Salah satu lagu yang membuat dirinya tertarik bertitel 'Ibu'. "Liriknya begitu sederhana, tapi sungguh menyentuh. Aku segera teringat akan ibuku, yang selalu sabar membimbingku meski hidup penuh kesederhanaan," katanya.
Mengenai sosok ibu, dia memang begitu halus dan sangat perasa dengan ibundanya. Tentang hal ini, ada salah satu kejadian yang membuat dia merasa menyesal dan minta maaf kepada orangtuanya. Ini gara-gara geger ledakan di rumah.
Bermula dari ide temannya, untuk membuat kalung dari sebuah peluru. "Demi mengikuti gaya penyanyi rock, muncullah ide membuat bandul kalung dari peluru," ujarnya mengingat kejadian tersebut.
Sebenarnya, dia tak setuju dengan ide membuat kalung dari peluru tersebut. Dia paham bahwa itu bukan sembarangan barang. Bapaknya bisa marah jika barang-barangnya, apalagi peluru, diambil dan dibuat mainan. Setelah dibujuk rayu, akhirnya dia pun setuju saja.
"Dasar remaja tanggung berpikiran pendek, ketakutanku malah kalah oleh hasrat mengikuti gaya sang idola," ceritanya.
Bersama tiga temannya, dia menyelinap di gudang rumah, mengambil peluru-peluru milik bapaknya. Parmudji, sang bapak, adalah seorang polisi di Polres Purworejo.
Setelah mereka mendapatkan barang yang dicari, tiba-tiba mereka kebingungan bagaimana caranya membuat bandul, sedangkan peluru dan selongsong masih menyatu. Terbersit ide untuk membakarnya agar bisa mendapatkan selongsong. Namun, mereka takut juga karena peluru itu masih aktif, masih berisi bubuk mesiu.
Tembok Berlubang dan Retak Akibat Peluru Meletus
Akhirnya mereka tetap berkeputusan untuk membakar. Peluru dicapit dengan tang, lalu dibakar di bagian pangkal peluru. Setelah beberapa menit, akhirnya peluru itu meletus. Suara letusan karena mesiu terdengar begitu keras. Sangat bising. Sampai-sampai tetangga melongok mencari tahu apa yang sedang terjadi. Tembok yang terkena peluru langsung berlubang dan retak.
Parmudji mendengar dan melihat kejadian itu. Akhirnya dia pun dipanggil, disetrap. Pria itu adalah Ganjar Pranowo."Kamu tahu, tidak? Peluru itu milik negara yang dibeli dari pajak rakyat. Satu butir peluru yang keluar harus bisa dipertanggungjawabkan, tidak seenak-enaknya saja bisa kamu ambil…bapakmu ini polisi … lha, kok anak bapak sendiri malah berbuat begitu? Kamu itu mau jadi apa kalau tidak bisa diomongi?" ujar Parmudji.
Gambaran kemarahan sang bapak itu dituliskan ulang oleh Suroso di novelnya. Kata-kata bapaknya itu membuat perasaan hati Ganjar menciut. Air matanya meleleh deras, membelah pipinya.
"Mati-matian aku berusaha menelan suara tangis. Aku sungguh-sungguh menyesal," ujarnya.
Ganjar meminta maaf kepada bapak dan ibunya, mengaku bersalah dan berjanji takkan mengulangi perbuatannya juga mengecewakan mereka lagi. Sang ibu, Sri Suparni memeluknya, sembari membesarkan hati dan mendoakannya.
Kata-kata ibunya itu makin membuat sedu sedannya pecah. Ganjar memeluk tubuh ibunya erat, sedangkan kakaknya, Mbak Watik dan adiknya, Nur pun ikut-ikutan memeluknya.
Karena ulah nakal itu, Ganjar harus menerima hukuman. Uang saku dipotong separuh. Setiap bapaknya berdinas, Ganjar juga harus yang menyiapkan kopel, sepatu, dan tanda pangkat. Dan, terakhir, ia tidak boleh bermain ke luar rumah selama sepekan.