Pembatasan Penggunaan Gawai pada Anak Perlu Dimulai dari Orangtua Sendiri
Pembatasan penggunaan gawai pada anak bisa dimulai dari orangtua yang juga membatasi penggunaannya.
Pembatasan penggunaan gawai pada anak merupakan salah satu isu penting yang disoroti oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Dalam upaya menjaga kesehatan mental dan fisik anak-anak, IDAI menganjurkan orang tua untuk membatasi waktu anak memegang gawai, terutama setelah pukul 18.00 WIB. Langkah ini harus dimulai dengan memberi contoh yang baik dari orang tua sendiri.
Ketua Unit Kerja Koordinasi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Prof. Dr. dr. Rini Sekartini, Sp.A(K), menekankan pentingnya keselarasan antara perilaku orang tua dan aturan yang diterapkan kepada anak.
-
Apa yang harus dilakukan orang tua untuk membatasi penggunaan gadget anak? Sebagai orangtua, penting untuk membatasi waktu penggunaan gadget agar anak tidak terlalu ketergantungan.
-
Siapa yang perlu awasi penggunaan gawai anak? Walau gawai dan teknologi modern memberikan manfaat, terlalu banyak paparan dan penggunaan yang tidak terkontrol dapat memiliki dampak negatif pada perkembangan anak. Orang tua perlu memonitor penggunaan gawai anak-anak mereka dan memastikan bahwa mereka memiliki keseimbangan antara waktu yang dihabiskan di depan layar dan waktu di luar ruangan serta berinteraksi dengan dunia nyata.
-
Bagaimana orang tua bisa membatasi penggunaan gadget pada anak? 'Buat kesepakatan dengan anak-anak berapa jam pakai gadget dalam sehari, kalau bisa tidak lebih dari tiga jam sehari,' katanya.
-
Siapa yang harus mengontrol penggunaan gadget pada anak? Oleh karena itu, sangat penting bagi orang tua dan pengasuh untuk menyadari dampak gadget terhadap perkembangan otak anak.
-
Kapan sebaiknya orang tua membatasi penggunaan gadget? 'Jadi, rekomendasi saya justru waktu liburan adalah waktu minim penggunaan gadget (gawai),' ujarnya.
-
Gimana cara atasi kecanduan gawai anak? Orang tua perlu memperkenalkan anak-anak pada aktivitas yang lebih sehat dan berimbang, yang melibatkan pengembangan mental, fisik, dan emosional.
"Jika tidak boleh memegang handphone, orang tuanya juga harus begitu, harus sama perlakuannya. Jangan anaknya diharuskan begini, tapi orang tuanya begitu (masih boleh pegang ponsel)," ujar Prof. Rini dilansir dari Antara.
Penetrasi internet yang semakin meningkat, terutama di kalangan remaja, menambah urgensi untuk membatasi penggunaan gawai. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024, penetrasi internet di kalangan remaja meningkat dari 25,84 persen pada 2023 menjadi 31,40 persen pada 2024. Kenaikan ini menunjukkan bahwa lebih banyak anak yang terpapar pada risiko adiksi internet dan berbagai dampak negatif lainnya.
Prof. Rini mengungkapkan bahwa adiksi internet pada remaja dapat menyebabkan perubahan fungsi otak yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami adiksi tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswanya menunjukkan bahwa adiksi internet dapat dideteksi melalui pemantauan MRI, di mana terdapat perbedaan signifikan dalam aktivitas otak.
Penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu tidur anak, mengurangi interaksi fisik, serta meningkatkan risiko perundungan siber. Perundungan siber atau cyberbullying bisa memicu berbagai gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), gangguan tidur, dan nyeri fisik. Korban perundungan siber sering mengalami gejala kecemasan berlebihan, ketakutan, serangan panik, perasaan sedih, putus asa, insomnia, kelelahan, serta sakit kepala dan sakit perut kronis.
IDAI mengingatkan bahwa perundungan siber merupakan masalah serius yang dapat memiliki konsekuensi jangka panjang. Dalam peringatan Hari Anak Nasional, IDAI menekankan pentingnya peran orang tua dalam mengedukasi anak-anak tentang penggunaan internet yang aman dan bertanggung jawab.
"Ajarkan anak-anak tentang cara menggunakan internet dengan aman dan bertanggung jawab," kata Prof. Rini.
Selain itu, pembatasan penggunaan gawai pada anak juga dapat mencegah dampak negatif lainnya, seperti menurunnya kualitas tidur dan berkurangnya interaksi sosial yang penting bagi perkembangan anak. Anak-anak yang menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar cenderung kurang berpartisipasi dalam aktivitas fisik dan sosial, yang dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan emosional mereka.
Untuk mendukung pembatasan ini, orang tua harus menjadi teladan dengan mengurangi penggunaan gawai mereka sendiri, terutama saat berada di sekitar anak-anak. Menyediakan waktu berkualitas tanpa gangguan teknologi dapat membantu memperkuat ikatan keluarga dan memastikan anak-anak mendapatkan perhatian dan interaksi yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat.
Dalam menghadapi tantangan digital ini, kerjasama antara orang tua, sekolah, dan komunitas sangat penting. Program edukasi tentang penggunaan internet yang sehat dan kebijakan yang mendukung pembatasan waktu layar dapat membantu mengurangi risiko adiksi internet dan masalah kesehatan terkait.