Cara yang Dipakai Astronom Bisa Bedakan Gambar Asli atau Palsu Buatan AI
Cara ini potensial untuk bisa membedakan asli atau deefake sebuah gambar. AI perlu belajar lagi.
Para peneliti di Universitas Hull di Inggris menyatakan bahwa pantulan mata menawarkan cara potensial untuk membedakan mana foto asli manusia atau buatan AI. Hal ini kerap disebut sebagai deepfake. Menurut mereka, metode ini seperti yang dipakai astronom mempelajari galaksi.
Mengutip ScienceNews, Jumat (2/8), dalam gambar nyata, pantulan cahaya pada bola mata misalnya menunjukkan jumlah lampu jendela atau langit-langit yang sama. Namun dalam gambar palsu, seringkali terdapat ketidakkonsistenan dalam pantulan.
-
Bagaimana Deepfake AI bisa digunakan untuk menipu? 'Penipuan digital semakin canggih, terutama dengan maraknya penyalahgunaan teknologi AI,' kata Sati Rasuanto, Co-founder dan Presiden VIDA dalam keterangannya, Selasa (29/10).
-
Siapa yang menciptakan Deepfake AI? ''Kami menyadari bahwa hal terpenting adalah meningkatkan kesadaran dan memberdayakan konsumen secara berkelanjutan. Seiring dengan berkembangnya metode penipuan, solusi kami pun harus terus maju. Kami mengajak konsumen dan pelaku bisnis di Indonesia untuk bekerja sama dalam menghadapi ancaman kejahatan online berbasis AI. Dengan memprioritaskan keamanan, kita dapat membangun sistem keuangan yang lebih inklusif dan tangguh bagi Indonesia,' ujar Sati.
-
Bagaimana foto-foto AI ini dibuat? Foto-foto yang diposting dalam akun tersebut menyoroti suasana beberapa kecamatan di Bogor Barat.
-
Bagaimana penipu properti memanfaatkan Deepfake AI? Namun, yang muncul dalam video bukanlah pemilik asli. Wanita yang tampak di layar sebenarnya adalah deepfake AI yang dirancang untuk menyamar sebagai seorang wanita yang dilaporkan hilang beberapa tahun lalu.
-
Apa yang dideteksi AI di luar angkasa? Metode ini akan dikembangkan menggunakan kecerdasan buatan (AI) yang mampu mendeteksi perbedaan halus dalam pola molekuler dan indikasi kehidupan.
-
Apa yang ditampilkan dalam gambar AI? Gambar-gambar tersebut menunjukkan Mahatma Gandhi dalam avatar berotot, Albert Einstein dengan tubuh kekar, dan Rabindranath Tagore memamerkan fisik berototnya.
“Fisikanya salah,” kata Kevin Pimbblet, astronom observasional yang mengerjakan penelitian bersama mahasiswa pascasarjana Adejumoke Owolabi dan mempresentasikan temuannya di Pertemuan Astronomi Nasional Royal Astronomical Society di Hull.
Untuk melakukan perbandingan, pertama-tama tim menggunakan program komputer untuk mendeteksi pantulan dan kemudian menggunakan nilai piksel pantulan tersebut. Para astronom menggunakan indeks Gini, yang awalnya dikembangkan untuk mengukur kesenjangan kekayaan dalam suatu masyarakat, untuk memahami bagaimana cahaya didistribusikan di seluruh gambar galaksi.
Jika satu piksel memiliki semua cahaya, indeksnya adalah 1; jika cahaya didistribusikan secara merata ke seluruh piksel, indeksnya adalah 0. Kuantifikasi ini membantu para astronom mengklasifikasikan galaksi ke dalam kategori seperti spiral atau elips.
Dalam karya kali ini, perbedaan indeks Gini antara bola mata kiri dan kanan menjadi petunjuk keaslian gambar tersebut. Untuk sekitar 70 persen gambar palsu yang diperiksa para peneliti, perbedaan ini jauh lebih besar dibandingkan perbedaan gambar asli. Dalam gambar nyata, cenderung tidak ada atau hampir tidak ada perbedaan.
“Kami tidak bisa mengatakan bahwa nilai tertentu berhubungan dengan pemalsuan, tapi kami bisa mengatakan bahwa ini menunjukkan adanya suatu masalah, dan mungkin manusia harus melihat lebih dekat,” kata Pimbblet.
Ia menekankan bahwa teknik yang juga bisa digunakan pada video ini bukanlah solusi jitu untuk mendeteksi pemalsuan. Gambar asli bisa terlihat palsu, misalnya jika orang tersebut berkedip atau terlalu dekat dengan sumber cahaya sehingga hanya satu mata yang memperlihatkan pantulan.
Namun teknik ini bisa menjadi bagian dari serangkaian pengujian. Maka itu, AI perlu belajar belajar melakukan refleksi dengan benar.