Miris! Indonesia Peringkat Ketiga Tingkat Kelaparan Tertinggi di Asia Tenggara
Meskipun perlu adanya peningkatan, skor GHI Indonesia menunjukkan kemajuan yang cukup baik.
Berdasarkan laporan terbaru dari Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Indonesia kini menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan tingkat kelaparan tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan Indeks Kelaparan Global (GHI), Indonesia memperoleh skor 16,9, yang menunjukkan tingkat kelaparan sedang. Menurut informasi yang dirilis oleh situs GHI pada Jumat (18/10), Indonesia berada di peringkat ke-77 dari total 127 negara di dunia.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di bawah Laos yang berada di posisi kedua dengan skor 19,8, sementara Timor Leste menempati peringkat pertama dengan skor 27. GHI menghitung skor berdasarkan empat faktor utama, yaitu:
1. Prevalensi Kekurangan Energi Kalori
Ini menunjukkan persentase populasi yang tidak mendapatkan cukup kalori untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.
2. Stunting pada Anak
Mengacu pada jumlah anak di bawah lima tahun yang mengalami stunting, yaitu pertumbuhan yang terhambat akibat kekurangan gizi.
3. Wasting pada Anak
Ini mencakup jumlah anak di bawah lima tahun yang mengalami wasting, yang berarti berat badan mereka terlalu rendah untuk tinggi badan mereka, menandakan malnutrisi akut.
4. Kematian Anak
Angka kematian anak di bawah lima tahun dianggap mencerminkan kondisi kesehatan umum serta akses terhadap layanan kesehatan. Meskipun masih perlu banyak perbaikan, skor GHI Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup positif.
Laporan tersebut mencatat bahwa pada tahun 2000, skor GHI Indonesia berada di angka 25,7, kemudian meningkat menjadi 28,2 pada tahun 2008, sebelum akhirnya menurun menjadi 18,3 pada tahun 2016. Perubahan ini membuat grafik GHI Indonesia berwarna hijau, beralih dari warna kuning yang sebelumnya.
Tingkat Kelaparan di Kawasan Asia Tenggara
Berikut adalah rincian skor GHI negara-negara di Asia Tenggara untuk tahun 2024:
1. Timor Leste (27)
2. Laos (19,8)
3. Indonesia (16,9)
4. Myanmar (15,7)
5. Kamboja (14,7)
6. Filipina (14,4)
7. Malaysia (12,7)
8. Vietnam (11,3)
9. Thailand (10)
Sementara itu, Singapura tidak tercantum dalam daftar tersebut. Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI) telah memberikan peringatan bahwa ketahanan pangan di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan tersebut berasal dari faktor eksternal, seperti gejolak dan ketidakpastian global, serta dampak konflik antara Rusia dan Ukraina, serta situasi di Timur Tengah yang memengaruhi rantai pasok pangan.
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kemendagri, Restuardy Daud, dalam acara Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di wilayah Jawa pada Kamis, 14 Agustus 2024.
"Ada gangguan rantai pasok secara global akibat polarisasi dari berbagai sentral produksi pangan di dunia. Hal ini tentunya perlu dukungan kita bersama, antisipasi, sekaligus juga bagaimana kita memperkuat produksi pangan untuk menjamin kecukupan pangan bagi masyarakat," ujar Daud.
Lebih lanjut, Daud juga mengingatkan bahwa antara 7 hingga 16 persen penduduk Indonesia masih berisiko mengalami masalah kelaparan, meskipun terdapat penurunan dalam angka tersebut.
"Kita juga mencatat adanya sedikit penurunan pada produktivitas padi kita," kata dia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada kemajuan, masih banyak yang perlu dilakukan untuk memastikan ketahanan pangan yang berkelanjutan di Indonesia.
Memastikan Ketersediaan Pangan
Daud mengatakan beberapa negara telah menghentikan ekspor beras mereka demi menjaga ketersediaan pangan domestik. Dia menjelaskan saat mencari sumber-sumber lain, beberapa negara yang selama ini jadi pengekspor: India, Kamboja, dan Thailand sudah menutup untuk memberikan pangan. Menurutnya, situasi ini menjadi tantangan besar dalam memastikan keberlangsungan pangan di masa mendatang. Ia
"Ini jadi tantangan kita untuk menjamin kehidupan pangan setidak sampai beberapa waktu ke depan," katanya.
Di kesempatan lain, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa dunia akan menghadapi masalah serius akibat perubahan iklim, yang diprediksi akan membuat suhu mencapai rekor tertinggi dalam lima tahun ke depan. Jokowi memberikan contoh tentang negara-negara yang mengalami gelombang panas ekstrem, seperti India yang mencatat suhu hingga 50 derajat Celsius. Ia mengingatkan bahwa kondisi panas yang ekstrem ini dapat mempengaruhi ketersediaan pangan secara global.
Selain itu, Jokowi juga menyampaikan bahwa FAO telah memperingatkan situasi ini berpotensi menyebabkan kelaparan yang parah di seluruh dunia. Menanggapi isu ini, Pakar Ekonomi Ferry Latuhihin mengatakan pentingnya ketahanan pangan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Ia mengingatkan masalah pasokan pangan yang terganggu dapat memengaruhi kestabilan harga. Ferry berharap agar pihak-pihak terkait, seperti Perum Bulog dan Badan Pangan Nasional (Bapanas), dapat mengatasi tantangan ini dengan cara:
1. Menyiapkan stok pangan yang memadai.
2. Mempersiapkan jalur distribusi yang efisien hingga ke tangan konsumen.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan masalah ketersediaan pangan dapat diatasi dan masyarakat dapat terhindar dari kelaparan.
Bukan Situasi Baru
Kasus terkait stok pangan bukanlah hal baru. Setiap tahun, masalah ini selalu muncul akibat keterbatasan pasokan. "Ini bukan kasus baru. Dari tahun ke tahun, kasus stok pangan selalu muncul karena keterbatasan supply," kata Ferry yang dikutip dari kanal Bisnis Liputan6.com oleh Antara pada hari Senin, 29 Juli 2024.
Ia menegaskan pentingnya upaya untuk meminimalisir risiko agar distribusi pangan tidak terganggu dan harga kebutuhan pokok tidak mengalami kenaikan yang dapat membebani masyarakat. Ferry juga mengatakan lembaga-lembaga terkait harus berfungsi dengan baik untuk mengurangi risiko short-supply agar tidak terjadi kepanikan di pasar.
"Lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dengan baik, dalam arti meminimalisir risiko short-supply agar tidak terjadi kepanikan pasar," ujarnya.
Kestabilan harga pangan juga dianggap sangat penting untuk menjaga inflasi tetap rendah, terutama karena inflasi nasional masih dipengaruhi oleh fluktuasi harga bahan makanan.
"Kalau inflasi naik, dampaknya tentu negatif ke pertumbuhan ekonomi," tambah Ferry.
Sebelumnya, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi memastikan pihaknya akan terus melakukan berbagai upaya untuk mengamankan dan memperkuat komoditas pangan, termasuk melalui Cadangan Pangan Pemerintah (CPP). Beberapa komoditas yang termasuk dalam CPP adalah:
1. Beras 2. Jagung 3. Kedelai 4. Bawang 5. Cabai 6. Daging unggas 7. Telur unggas 8. Daging ruminansia (sapi atau kerbau dari ternak) 9. Gula 10. Minyak goreng 11. Ikan
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan ketahanan pangan nasional dapat terjaga dan masyarakat tidak akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokok mereka.