Bahlil Siapkan Aturan: Penjual Gas LPG 3 Kg Wajib Punya Timbangan
Bahlil menyatakan bahwa pihaknya akan menyusun regulasi yang mewajibkan setiap tempat distribusi LPG 3 kg dilengkapi dengan timbangan.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, menegaskan bahwa pemerintah terus memantau pengelolaan LPG 3 kg bersubsidi. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa harga eceran tertinggi dan berat tabung gas melon sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Dalam kunjungannya ke Kalimantan Selatan, dia menyatakan bahwa pemerintah akan memastikan setiap tabung LPG benar-benar berisi 3 Kg sesuai dengan standar yang berlaku.
Untuk menjamin keakuratan berat LPG, penimbangan akan dilakukan sebelum distribusi. Bahlil juga menyebutkan bahwa aturan akan disiapkan agar setiap lokasi pendistribusian LPG 3 Kg harus dilengkapi dengan timbangan.
Ini bertujuan agar pembeli dapat memastikan bahwa apa yang mereka bayar sesuai dengan ketentuan, yaitu tabung LPG 3 Kg kosong berisi 5 kg dan dalam kondisi penuh sekitar 8 kg.
"Harus ada timbangan. Jadi rakyat sebelum bawa timbang dulu supaya merasa apa yang dia keluarkan biayanya sama dengan kuantitasnya," tegas Bahlil, seperti dikutip dari siaran pers resmi Kementerian ESDM, Kamis (20/3).
Bahlil memperingatkan akan mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang melakukan penyelewengan dalam pendistribusian LPG 3 Kg. Dia mengikuti arahan Presiden Prabowo Subianto, yang menekankan bahwa semua penyaluran subsidi harus sampai ke masyarakat yang berhak menerimanya.
"Subsidi ini uang rakyat. Arahan napak Presiden adalah satu rupiah pun uang negara, yang negara siapkan untuk rakyat, wajib sampai ke mereka," ungkapnya.
Dalam kunjungan kerjanya, Bahlil juga menyoroti bahwa pendistribusian LPG 3 Kg di Kalimantan Selatan minim penyimpangan.
"Saya merasa senang karena di Kalimantan dampak dari penataan Bahan Bakar Minyak dan LPG tidak terlalu berpengaruh banyak. Saya lihat cukup bagus. Data yang saya punya di sini minim oplosan," tambahnya.
Meskipun demikian, Bahlil berharap Pertamina dapat memperbaiki rasio antara tingkat konsumsi dan penyimpanan (storage) LPG 3 Kg. Saat ini, konsumsi LPG 3 Kg di Kalimantan Selatan tercatat sebesar 555 metrik ton, sementara penyimpanannya mencapai sekitar 16 ribu metrik ton.
"Rasio LPG ini tidak sehat. Jika tidak diperbaiki, ini akan berpengaruh pada program ketahanan energi yang dicanangkan Bapak Presiden," pinta Bahlil.
Dugaan Monopoli Dilakukan Pertamina

Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah memulai penyelidikan awal terkait dugaan praktik monopoli dalam penjualan LPG non-subsidi yang dilakukan oleh PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) di sektor midstream. Penyelidikan ini berfokus pada pengumpulan alat bukti yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran Pasal 17 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Deputi bidang Kajian dan Advokasi KPPU, Taufik Ariyanto, menyatakan bahwa sejak tahun lalu, pihaknya telah melakukan kajian terkait penjualan LPG non-subsidi di Indonesia.
KPPU mencurigai adanya pelaku usaha yang menerapkan praktik monopoli dalam penjualan LPG non-subsidi di pasar midstream, di mana mereka menjual produk dengan harga yang tinggi dan meraih keuntungan yang sangat besar (super normal profit).
"Harga LPG Non Subsidi yang tinggi tersebut diduga mengakibatkan banyak konsumen yang beralih menggunakan LPG subsidi (LPG 3 kg)," ungkap Taufik beberapa waktu lalu.
Dalam kajiannya, KPPU juga mendalami struktur pembentukan harga di sektor ini, mulai dari hulu hingga hilir. Saat ini, penjualan LPG Subsidi sebagai Public Service Obligation (PSO) dikelola oleh PT Pertamina Patra Niaga, yang menguasai lebih dari 80 persen pasokan LPG dalam negeri serta LPG impor.
Selain itu, PT PPN juga memasarkan LPG non-subsidi dengan merek dagang BrightGas. Anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut turut menjual gas dalam bentuk bulk kepada perusahaan lain, seperti BlueGas dan PrimeGas, yang merupakan produsen LPG tabung non-subsidi.
"Dalam penjualan tahun 2024, KPPU menemukan adanya keuntungan yang tinggi atau super normal profit dari penjualan LPG non-subsidi sebesar 10 kali lipat dibandingkan laba penjualan LPG subsidi, atau sekitar Rp 1,5 triliun," jelas Taufik.