Fakta Sebenarnya di Balik Label Made in China yang Sering Diremehkan
MAde in China menjadi ejekan bagi masyarakat yang menjelaskan kualitas rendah dari produk tersebut.

Meskipun China dikenal sebagai negara yang mampu memproduksi berbagai barang kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, persepsi dari Barat masih sering mengasosiasikan label “Made in China” dengan produk berkualitas rendah.
Hal ini tercermin dari berbagai meme internet yang menyindir produk buatan China, khususnya di sektor otomotif, yang kerap dibandingkan secara negatif dengan produk dari negara seperti Jerman. Dalam banyak unggahan, barang buatan China dianggap cepat rusak dan kurang andal.
“Dalam benak banyak orang, label ‘Made in China’ mungkin berarti, ‘Ini adalah produk murah, buatan buruk, dan akan rusak dalam beberapa minggu’,” tulis laman Insightquality.com, dikutip Rabu (16/4).
Namun, realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Menurut temuan tim Insight Quality yang melakukan inspeksi ke berbagai fasilitas produksi di China, ada tiga kategori utama pabrik di negara tersebut:
- Pabrik yang memproduksi barang berkualitas rendah,
- Pabrik yang memproduksi barang berkualitas tinggi,
- Pabrik yang dapat memproduksi barang dengan kualitas sesuai permintaan, bergantung pada seberapa besar anggaran pembeli
Artinya, kualitas produk buatan China tidak bisa digeneralisir. Banyak produk murah memang berasal dari negara ini, tetapi dalam satu dekade terakhir, sejumlah merek asal China telah menunjukkan peningkatan kualitas dan berhasil menembus pasar global.
Perusahaan-perusahaan seperti Lenovo, DJI, dan Xiaomi misalnya, telah meraih reputasi baik secara internasional berkat produk-produk elektronik yang kompetitif dan inovatif.
Tak hanya itu, sejumlah merek ternama Barat seperti Apple, Coach, dan Armani juga memproduksi barang-barang mereka di China, dengan standar mutu yang tetap tinggi dan harga jual premium.
China Naik Kelas
Dalam perkembangannya, China tidak lagi menjadi negara manufaktur berbiaya rendah seperti dua dekade lalu. Negara ini kini telah naik kelas menjadi ekonomi berpenghasilan menengah ke atas, dan mulai beralih ke produksi dengan nilai tambah tinggi.
Beberapa negara seperti India, Vietnam, dan Bangladesh memang telah menjadi alternatif manufaktur berbiaya lebih rendah, khususnya untuk produk padat karya. Namun, China tetap menjadi magnet utama bagi banyak pembeli asing karena infrastruktur, kapasitas produksi, dan rantai pasokannya yang sangat matang.
Para analis industri menyimpulkan bahwa keberhasilan produksi di China sangat bergantung pada tiga faktor utama: kualitas desain produk, pengembangan pemasok, dan sistem pengawasan mutu yang efektif.
Dengan kata lain, jika sebuah perusahaan ingin memproduksi ponsel pintar, furnitur, atau aksesori fesyen di China, maka baik produk berkualitas rendah maupun tinggi dapat dihasilkan, semuanya tergantung pada ekspektasi dan investasi dari pemesannya.