Negara-Negara Ini Kesusahan karena Digempur Barang Murah China
Dampak masuknya barang murah China membuat industri di sejumlah negara terancam kolaps.
Serbuan produk murah asal China tidak hanya mengancam industri nasional. Dilansir dari South China Morning Post (SCMP), hampir sebagian negara di Asia Tenggara tengah berjuang mempertahankan eksistensi industri dalam negeri di tengah produk murah china yang membanjiri mereka.
Di Provinsi Lampang, Thailand Utara, setengah dari pabrik keramin berhenti beroperasi. Di Indonesia, ribuan pekerja tekstil kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, para produsen di Malaysia mengatakan bahwa upaya pemerintah untuk membendung gelombang tersebut dengan menerapkan pajak sebesar 10 persen untuk perdagangan elektronik, dianggap telah melindungi mereka dari ledakan produk murah China.
Bagi Meelarp Tangsuwana, yang mendirikan pabrik keramiknya 35 tahun lalu, angka-angka itu tidak masuk akal. Perusahaannya, seperti banyak perusahaan lain di Lampang, memproduksi mangkuk sup yang dilukis dengan tangan, dibuat dengan penuh cinta dan dijual seharga 18 baht (Rp8.000) per mangkuk ke warung-warung makanan di seluruh Thailand dan sekitarnya. Namun, pesaing dari China membanjiri pasar dengan mangkuk yang sama – tanpa seni – dengan harga hanya 8 baht (Rp3.000).
"Saya tidak mengerti bagaimana mungkin biaya bisa turun serendah itu," katanya.
Keputusasaan Meelarp bergema di seluruh wilayah, tempat para pembuat tekstil, kosmetik, elektronik, dan peralatan dapur mendapati diri mereka kalah bersaing dengan para produsen China, yang rantai pasokannya sangat otomatis dan pengejaran pasar baru yang tiada henti telah membentuk kembali lanskap persaingan.
Pembelaan China
China pun membela diri terhadap tuduhan bahwa mereka membanjiri pasar Thailand dengan barang-barang murah dan merugikan bisnis lokal.
Dalam sebuah posting di akun Facebook resminya pada tanggal 4 September, Kedutaan Besar China di Thailand menyebut perdagangan antara kedua negara saling menguntungkan dan saling bermanfaat.
“Hampir 80 persen barang yang diimpor Thailand dari China adalah barang modal dan barang setengah jadi yang digunakan untuk produksi dan nilai tambah sebelum diekspor,” kata pernyataan itu.
"Sebagian besar barang murah tersebut adalah produk yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, makanan, produk kesehatan, pakaian dan aksesoris, dan lainn-lain yang jumlahnya kurang dari 10 persen dari total nilai barang yang diimpor dari China," tambahnya.
Pernyataan itu muncul setelah Thailand mengumumkan langkah-langkah baru untuk memerangi masuknya barang impor murah dari China yang mengancam sektor manufakturnya. Bangkok Post melaporkan pada tanggal 28 Agustus bahwa wakil perdana menteri dan menteri perdagangan Thailand, Phumtham Wechayachai, mengatakan pemerintah akan membentuk gugus tugas yang terdiri dari 28 lembaga yang akan bertemu setiap dua minggu untuk meninjau dan merevisi peraturan guna mengekang ancaman barang impor murah dari China terhadap ekonomi yang sudah lemah.