Rencana Kebijakan Pemerintah Ini Bakal Buat Harga Keramik China di Indonesia Naik Dua Kali Lipat
Pemerintah diminta lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan, agar tidak memicu permasalahan baru.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai rencana Pemerintah menerapkan bea masuk anti dumping (BMAD) sebesar 199 persen untuk produk impor keramik asal China diprediksi bisa mendorong harga keramik dalam negeri naik.
Hal itu disampaikan oleh Head of Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho, dalam Diskusi INDEF terkait Menguji Rencana Kebijakan BMAD Terhadap Keramik, di Jakarta, Selasa (16/7).
Menurutnya, penerapan BMAD bisa menimbulkan pasar persaingan semakin kecil, opsi konsumen semakin sedikit, sehingga harga keramik semakin mahal.
Alhasil, produsen dalam negeri akan ikut serta meningkatkan margin keuntungan dengan cara menaikkan harga jual, karena harga impor keramik meningkat tajam.
Maka secara praktis, semakin rendah kuantitas atau volume keramik di pasar, di saat permintaan keramik domestik meningkat, maka harga yang diterima konsumen akan semakin mahal.
Adapun berdasarkan perhitungannya, misalnya jika rata-rata harga keramik porselen impor jenis B1A ukuran 60x60 asal China Rp75.000-80.000 per meter persegi. Maka dengan penerapan bea masuk, harganya bisa naik menjadi Rp150.000-225.000 per meter persegi.
"Dengan adanya BMAD itu naiknya bisa sampai Rp 150.000-225.000 per meter persegi. Sementara harga keramik lokal porselen B1A dalam negeri itu lebih murah Rp 75.000 paling mahal Rp 90.000. Artinya cukup bersaing dengan produk impor,” kata Andry.
Di sisi lain, dampak lainnya dengan penerapan BMAD akan terjadi expected inflation atau ekspektasi inflasi untuk harga keramik porcelain lokal di bawah harga yang diterapkan setelah BMAD, diperkirakan harganya mencapai Rp80.000 per meter persegi hingga Rp120.000 per meter per segi.
"Tinggal dikalikan luas ruangan. Jadi kurang lebih kita yang mengeluarkan tidak sampai puluhan juta, sekarang bisa sampai itu. Ini gambaran sederhana dari kami," jelasnya.
Oleh karena itu, ia mengingatkan kepada Pemerintah agar lebih berhati-hati dalam menerapkan kebijakan. Agar tidak memicu permasalahan baru.
“Kita perlu hati-hati ya, terhadap tujuannya untuk menguatkan kondisi industri dalam negeri. Jangan sampai kita mengeluarkan instrumen tidak kuat juga industri dalam negeri. Berarti diagnosis penyakitnya bisa jadi bukan faktor utama. Obat yang diberikan tidak langsung ke penyakit utamanya," pungkasnya.