Indonesia Janji Penuhi Kewajiban Pembayaran Pengembangan Pesawat Tempur dengan Korea Selatan
Nilai dari proyek pengembangan ini sekitar Rp100 triliun.
Nilai dari proyek pengembangan ini sekitar Rp100 triliun.
Indonesia Janji Penuhi Kewajiban Pembayaran Pengembangan Pesawat Tempur dengan Korea Selatan
Indonesia Janji Bayar Kewajiban Pengembangan Pesawat Tempur dengan Korea Selatan
Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen untuk melunasi cost share pada proyek kerja sama pengembangan pesawat tempur, KFX/IFX (Korea Fighter Xperiment/Indonesia Fighter Xperiment) yang diberi nama KF-21 Boramae.
Nilai dari proyek pengembangan ini sekitar Rp100 triliun.
Dari total biaya pengembangan pesawat jet tempur ini, beban kewajiban pembayaran ditanggung oleh pemerintah Korea Selatan sebesar 60 persen, Korea Aerospace Industries (KAI) 20 persen, dan pemerintah Indonesia 20 persen.
Namun, kerjasama yang dimulai pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di tahun 2009 ini harus menghadapi kendala finansial. Sementara berdasarkan nota kesepahaman antara kedua negara, Indonesia ditargetkan sudah harus melunasi pembayaran sebesar Rp14,6 triliun di tahun 2026.
"Ini sangat berat. Dari Korea mereka mau tahun 2026, kita harus menyelesaikan cost share kita sekitar hampir USD14 miliar, kalau kita bagi jadi 2 tahun, artinya 2025 kita harus alokasikan bujet USD7 miliar,"
ujar Direktur Teknologi dan Industri Pertahanan pada Kementerian Pertahanan, Marsma Dedy Laksono pada lokakarya Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Jumat (27/10).
Layaknya sebuah anggaran rumah tangga, Dedy menjelaskan, realisasi pembayaran untuk kerjasama pengembangan pesawat tempur ini tergantung ada tidaknya refokusing pada APBN.
Kendati demikian, Dedy menegaskan pemerintah Indonesia berkomitmen meneruskan kerjasama dalam pengembangan pesawat jet tempur KFX/IFX.
Nilai kerjasama ini memang mahal namun, tetapi ini menjadi investasi untuk industri alutsista Indonesia khususnya pesawat jet tempur.
Dengan adanya transfer teknologi dalam pengembangan pesawat ini, Indonesia diproyeksi bisa memproduksi masal pesawat ini secara mandiri.
Hal ini nantinya akan berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja sekaligus menggerakan pergerakan ekonomi nasional dari industri pertahanan.
Dia menerangkan, jalan panjang harus dilalui Indonesia untuk mencari rekan kerja sama dalam pengembangan alutsista.
Namun hanya Korea Selatan yang mau bekerjasama dengan Indonesia dalam bidang pengembangan alutsista.
Sebelum Korea Selatan, Dedy menuturkan, saat Barrack Obama menjadi presiden Amerika Serikat, dia berkeinginan membantu Indonesia dalam mengembangkan alutsista.
Hanya saja, bantuan ini butuh proses berkembang melalui Dewan.
"Kenapa kita pilih Korea? karena pada saat itu tidak ada negara yang ingin membangun kerjasama spesial dengan Indonesia," kata Dedy.
Dedy memberi sebuah ilustrasi, jika Indonesia hanya melakukan pengadaan barang alutsista, dengan nilai tertentu, maka di masa depan tidak ada ekosistem industri pertahanan bagi Indonesia.
"Tapi jika dengan Korea, kita akan dapat 3 submarine dan teknologi, makanya kita ikut pengembangan KF ini dan beberapa teknologi dari Amerika Serikat. Jadi itu alasan kenapa memilih Korea sebagai partner kami,"
kata Dedy.
Sementara itu, Chief Representative Officer KAI Indonesia Office Woo Bong Lee berharap ada solusi terbaik dalam kerjasama pengembangan KF 21 ini.
Sebab, dia mengatakan, pihak Korea Selatan sudah mengeluarkan banyak uang untuk proyek ini.
"Benar, kita memiliki masalah fnansial di sini. Kami juga sudah mengeluarkan banyak uang dalam proyek ini dan sekarang kita menuggu uang dari indonesia," kata Bong.
"Saya harap pemerintah Korea dan Indonesia bisa menemukan solusi akhir bagaimana menyelesaikan isu krusal ini," harap Bong.
Bong mengatakan, Korea Selatan juga berharap bisa terus menjaga relasi dan kerjasama dengan Indonesia. Dengan tingkat generasi muda Indonesia yang lebih banyak, dan kemajuan teknologi Korea yang lebih unggul, kolaborasi antar dua negara ini patut dipertahankan."Indonesia punya generasi muda yang sangat banyak, banyak sumber daya yang tidak terbatas, dan Korea memiliki kemajuan teknologi, jadi kami ingin menjaga kerjasama dan relasi dengan Indonesia," ujar Bong.
Pengembangan KFX/IFX atau KF 21 - Boramae saat ini berada pada tahap engineering and manufacturing development (EDM), yang diperkirakan berlangsung hingga 2026. Setelah itu, jet tempur akan masuk ke tahap produksi massal.
Pengembangan proyek pesawat tempur KFX/IFX tersebut memiliki landasan hukum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.136/2014 tentang Program Pengembangan Pesawat Tempur IF-X.
Pasal 23 Perpres tersebut mengatur soal pendanaan, yaitu pembiayaan proyek pesawat tempur itu dibebankan kepada APBN sesuai dengan kemampuan keuangan negara.