Pemerintah Klaim Inflasi Bukan Karena PPN, Benarkah? Begini Penjelasan Ekonom
Ekonom berpendapat anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan.
Center of Economic amd Law Studies (Celios) buka suara terkait pernyataan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang menyatakan tingkat inflasi yang tinggi sebesar 5,51 persen pada tahun 2022 bukan terjadi karena kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) namun disebabkan tekanan harga global, gangguan pasokan pangan dan kenaikan BBM.
Menurut Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, pernyataan tersebut sangatlah tidak tepat. Berkaca pada tahun 2022, inflasi melonjak dari 3,47 persen menjadi 4,94 persen hanya dalam kurun waktu tiga bulan pasca kenaikan PPN pada bulan April 2022. Sementara itu, kebijakan kenaikan BBM baru dilakukan pada Desember 2022.
"Artinya, anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan supply pangan yang terjadi sepanjang tahun pada tahun 2022," kata Media dalam keterangan tertulisnya, Rabu (25/12).
Pernyataan lain yang mengatakan bahwa barang pokok mendapatkan fasilitas pembebasan memang benar. Tetapi perlu dicatat, ini bukanlah hal yang baru. Pembebasan pajak untuk barang pokok sudah diatur sejak tahun 2009 pada UU nomor 42 tentang PPN.
Media menilai pernyataan ini hanya gimmick politik bahwa seakan-akan Pemerintah hari ini melahirkan kebijakan baru dengan membebaskan barang pokok dari PPN. Bahkan keterangan pemerintah sebelumnya akan memperluas bahan pangan kena PPN dengan merujuk pada beras premium, minyak goreng di luar MinyaKita yang berarti terjadi perluasan objek bahan pangan kena PPN.
"Padahal definisi barang premium sampai sekarang belum jelas," tegasnya.
Media melanjutkan yang lebih menyakitkan adalah pernyataan DJP bahwa Kementerian Keuangan baru akan membahas kriteria atau batasan barang atau jasa terkait dengan kenaikan PPN.
Aturan teknis seharusnya sudah disusun dan dirilis sebelum kebijakan itu diluncurkan. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan kenaikan PPN ini dilakukan secara sembrono, terburu-buru dan mengarah pada maladministrasi yang merugikan masyarakat luas serta pelaku usaha diberbagai sektor.
Media bilang DJP gagal mempertimbangkan multiplier effect dan reaksi dari pelaku pasar. Ketika PPN dinaikkan, gejolak harga barang bisa lebih besar dibandingkan persentase kenaikan PPN.
"Ini pasti terjadi karena adanya gejolak pada permintaan dimana masyarakat cenderung mengurangi belanja. Momen penyesuaian PPN 12 persen juga bersamaan dengan Natal Tahun Baru dimana kenaikan harga secara musiman terjadi," media mengakhiri.