'Dana siluman APBD hasil kongkalikong DPRD dengan pengusaha hitam'
Merdeka.com - Sekretaris Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) mencatat lima kritik terhadap DPRD DKI Jakarta dalam pembahasan APBD. Pertama, DPRD DKI telah mengabaikan amanat konstitusi dalam pembahasan APBD, seperti mengabaikan UUD 45 Pasal 23 ayat (1) karena lebih mementingkan kepentingan kelompok dibandingkan mengedepankan transparansi.
"Catatan kedua DPRD telah melakukan politisasi hak angket. Pertama dalam sejarah di Indonesia, pembahasan APBD berujung Hak Angket. Hak angket ini cenderung dipolitisasi karena tidak berdasarkan bukti kuat adanya pelanggaran pidana ataupun merugikan keuangan negara," kata Manager Advokasi FITRA Apung Widadi di kantornya, Jumat (6/3).
Hal ketiga yakni 'dana siluman' bukan aspirasi rakyat. Namun, diduga dana ini muncul dari kongkalikong politisi dengan pengusaha hitam yang sudah lama terjalin. Analisa FITRA menemukan, dalam anggaran versi DPRD usulan program tidak menyebut sebagai bentuk aspirasi rakyat, tapi sebagian menyebut pengadaan.
-
Apa yang DPR sesalkan? 'Yang saya sesalkan juga soal minimnya pengawasan orang tua.'
-
Kenapa Ahok prihatin dengan korupsi? Ahok pun merasa prihatin dengan nasib generasi muda di masa mendatang.
-
Mengapa DPR menggunakan hak angket? Tujuan dari hak angket ini adalah untuk mendapatkan informasi yang lengkap dan akurat, sehingga hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan terkait kebijakan pemerintah.
-
Bagaimana DPR menilai proses hukum Kejagung? Semuanya berlangsung cepat, transparan, tidak gaduh, dan tidak ada upaya beking-membeking sama sekali, luar biasa.
-
Apa yang dikritik Golkar dari Anies soal Pilgub DKI? Dia mempertanyakan, apakah ada partai yang mau mengusung Anies di Pilgub Jakarta.
-
Bagaimana DPR melakukan penyelidikan hak angket? Proses dari hak angket ini dimulai dengan pembentukan tim angket yang terdiri dari anggota DPR. Tim angket kemudian melakukan penyelidikan dan mengumpulkan bukti-bukti terkait kebijakan atau masalah yang sedang diselidiki.
"Buktinya usulan DPRD tanpa kode mata anggaran dan kode rekening," katanya.
"Hal yang keempat yakni DPRD lebih mengutamakan kelompok, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Hal ini tercermin di mana DPRD tidak mengutamakan mediasi agar APBD segera disahkan, akan tetapi justru memperkeruh suasana dan mengeluarkan etika yang bertentangan dengan kode etik," imbuhnya.
Terakhir, DPRD lemah dalam melaksanakan fungsi pengawasan anggaran. Padahal dalam UU MD3 Pasal 317 huruf (c) mengatur tugas dan wewenang DPRD untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi.
"Contohnya DPRD DKI justru tidak mengawasi dan mempermasalahkan anggaran Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) DKI sebesar Rp 10 triliun," tandasnya.
(mdk/eko)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Wahyu menilai, penyelewengan dana desa ini diakibatkan para kepala desa tak memiliki pengetahuan yang memadai.
Baca SelengkapnyaKomeng menambahkan bahwa selama ini DPD dianggap tidak punya pengaruh besar dalam pembahasan anggaran atau diibaratkan 'DPD tidak punya gigi'.
Baca SelengkapnyaKejagung harus lebih aktif mengusut kasus-kasus pertambangan.
Baca SelengkapnyaDalam rapat, Dirut PT Timah, Ahmad Dani Virsal, menjadi bulan-bulan anggota DPR.
Baca SelengkapnyaTernyata, dana ini tidak mengalami pergerakan yang signifikan, namun terjadi perputaran dana hingga mencapai triliunan rupiah
Baca SelengkapnyaSalah satu gedung yang disatroni oleh penyidik yakni gedung ruang kerja di gedung Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI.
Baca SelengkapnyaMendagri Tito Karnavian mengatakan sebanyak 700 dari 1.100 Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) merugi
Baca SelengkapnyaAdapun tergugat dalam permohonan praperadilan Indra Iskandar adalah KPK RI.
Baca SelengkapnyaBPK menemukan kelemahan dalam penggunaan langsung penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang tanpa melalui mekanisme anggaran.
Baca SelengkapnyaSejauh ini sudah ada beberapa perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus tersebut.
Baca SelengkapnyaKarena saat menjabat, seorang kepala daerah mendadak akan mengelola uang hingga Rp1-2 miliar setiap tahun.
Baca Selengkapnya"Semua dievaluasi kan ada Badan Pembinaan BUMD," kata Heru.
Baca Selengkapnya