'Gudang ilmu' bagi anak pemulung Bantar Gebang
Merdeka.com - Siang itu matahari serasa sejengkal lah di atas kepala. Tapi di halaman Sekolah Dasar (SD) Dinamika Indonesia, sebuah sekolah bagi anak-anak pemulung di kawasan Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST), Bantar Gebang, Bekasi, puluhan anak-anak itu masih terlihat riang. Mereka bermain dan membaur jadi satu meskipun bau busuk sampah tercium sangat menyengat sampai ke sekolahan mereka.
SD Dinamika Indonesia ini memang berada di kawasan pembuangan sampah. Bahkan, jalan menuju sekolah itu juga dipadati lalu lalang truk sampah setiap hari. Namun untuk kondisi sekolahan sendiri sejauh ini sudah lebih baik. Gedungnya sudah permanen. Lokasinya tepat di pos timbang kedua truk sampah area TPST.
Sekolah yang didirikan sejak 1995 itu memang dihuni oleh anak-anak keluarga miskin dan bekerja sebagai pemulung di wilayah tersebut. Awal berdirinya memang dikhususkan bagi anak-anak yang berada di sekitar gunung sampah itu.
-
Dimana sekolah itu berada? Peristiwa itu terjadi di Sekolah Al-Awda di Abasan al-kabira, bagian selatan Jalur Gaza dekat Khan Younis.
-
Dimana anak-anak bisa belajar? Aktivitas seperti berjalan-jalan di alam, memasak bersama, atau mengunjungi taman atau kebun binatang memberi anak-anak kesempatan untuk bertanya dan belajar.
-
Bagaimana anak-anak belajar di Kampung Saungkuriang? 'Akhir KKN ini, kami menerima kunjungan empat sekolah SD di Kecamatan Cipondoh, untuk merasakan langsung pesona Kampung Saungkuriang. Dengan kegiatan memberi makan hewan, membuat ekoprint, dan beberapa kerajinan dari barang bekas. Serta membuat aquaponik di mana anak-anak dapat menanam sekaligus memelihara ikan,' paparnya.
-
Bagaimana gapura kuno itu menjadi gerbang sekolah? Kini, gapura yang berada di sisi utara itu jadi pintu gerbang sekolah dasar. Pihak sekolah menambahkan gerbang besi yang bisa dibuka tutup pada gapura kuno tersebut.
-
Apa yang dilakukan anak-anak di kampung? Anak-anak di Kampung Pasir Gudang Cianjur juga masih membuat permainan tradisional Sunda bernama kolecer.
"Dulu saya memang anggota Lembaga Swadaya Masyarakat khusus pekerja anak. Kita punya ide mendirikan sekolah bersama teman-teman lainnya," ujar Kepala Sekolah Dinamika Indonesia, Nasrudin, kepada merdeka.com di lokasi pekan lalu.
Sistem sekolah pendidikan sekolah juga lebih fleksibel. Tak ada paksaan maupun hukuman bagi murid yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah ataupun mengikuti kelas saban harinya. Di sana juga tidak ada pungutan apapun bagi siswa, termasuk iuran bulanan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP).
"Di sini berbeda pada sekolah umumnya, cuma beli seragam dan buku beli sendiri, sisanya gratis. Cara mendidik murid kita punya metode berbeda, karena buat mereka (anak-anak) mau datang ke sekolah saja sudah paling bagus," ujar lelaki 46 tahun itu.
Luas SD ini sekitar 116 meter persegi. Di sana waktu istirahat lebih dimanfaatkan bermain dibandingkan menyerbu tukang jajanan di sekitar sekolahnya. Masih ada beberapa pedagang di luar area sekolah, namun anak-anak lebih memilih bermain. "Yah beberapa anak tak punya banyak uang jajan," ujar Pak Nas sapaan akrabnya.
Bahkan aturan seragam sekolah pun relatif lunak. Misalnya ada beberapa siswa yang memakai seragam tidak beraturan; memakai baju seragam putih dengan bawahan rok berwarna cokelat pada hari Jumat. Untuk masuk ke dalam ruang kelas murid-murid diwajibkan melepas alas kaki.
Seingat Nasrudin, pertama kali mendirikan sekolah khusus tersebut hanya dengan murid didik sebanyak 23 anak. Kondisinya masih jauh dari kata laik. "Dulu lebih dikenal sebagai sekolah kandang ayam karena bangunannya masih seperti gubuk," ujar pria asli Sragen, Jawa Tengah, itu.
Menurut dia, pada awal-awal berdiri sekolah itu bernama Sekolah Bintang Pancasila. "Wah kalau sekarang mah sudah syukur Alhamdulillah, beberapa sumbangan pemerintah Jepang untuk bangunan fisiknya, maupun pemerintah sendiri juga ada," ujarnya.
Untuk jenjang kelas, SD Dinamika Indonesia juga membuka ruang dari kelas satu hingga kelas enam. Satu kelas berisi 35 siswa. Menurut Nasrudin, tantangan guru adalah berhadapan dengan karakter unik murid-muridnya. "Mereka (murid) tumbuh di lingkungan keras yang membentuk mereka lebih mudah bosan dan kurang konsentrasi," ujarnya.
Tingkat presentasi kehadiran di dalam kelas juga masih rendah. Beberapa siswa izin tidak masuk tanpa keterangan masih banyak dijumpai. Tapi beruntung, sejak 2009 sekolah Dinamika Indonesia sudah bisa mengikuti ujian nasional. "Kita enggak bisa kasih hukuman buat murid seperti itu, tiba -tiba enggak masuk dua minggu. Kemudian masuk lagi, masih ada," ujarnya. (mdk/mtf)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dulunya banyak siswa yang bersekolah di sini, namun kini tinggal kenangan.
Baca SelengkapnyaPada masa Perang Kemerdekaan, sekolah ini digunakan sebagai markas para pemuda pejuang.
Baca SelengkapnyaAsrama baru bagi siswa dan siswi pemulung sampah di TPST Bantar Gebang ini menggantikan bangunan lama yang terbuat dari bambu.
Baca SelengkapnyaPerempuan asal Jakarta Timur ini rela memberikan ilmunya secara cuma-cuma kepada anak-anak pemulung di wilayah TPU Pondok Kelapa.
Baca SelengkapnyaKarena kekurangan ruangan kelas sehingga harus digunakan bangunan yang tidak layak tersebut
Baca SelengkapnyaGerbang sekolah ini tampak berusia jauh lebih tua dibanding bangunan sekolah
Baca SelengkapnyaDiduga, gedung ambruk karena usia bangunan yang sudah tua.
Baca SelengkapnyaArmand Maulana menghabiskan masa kecilnya di daerah Buahbatu, Bandung. Berikut cerita selengkapnya.
Baca Selengkapnyakondisi bangunan ruang kelas sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Ikhlas Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Baca SelengkapnyaMengunjungi rumah masa remaja Bung Karno, ada lumbung padi hingga tempat tinggal pekerja.
Baca SelengkapnyaTanah Minang memiliki banyak peninggalan sejarah yang menjadi saksi perjuangan para ulama besar dalam menyebarkan Islam di sana.
Baca SelengkapnyaSebanyak 18 siswa kelas 1 di SDN 02 Desa Tanjung, Kecamatan Koto Kampar Hulu, Kabupaten Kampar, Riau belajar di ruangan bekas water closet (WC).
Baca Selengkapnya