Better experience in portrait mode.
Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

Mereka yang luput dari pantauan

Mereka yang luput dari pantauan ilustrasi

Merdeka.com - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengklaim telah melakukan upaya deradikalisasi terhadap para napi dan mantan napi terorisme. Sayangnya masih banyak dari mereka yang hingga kini tidak tersentuh program tersebut. Ada yang mencoba kembali berbaur dengan masyarakat, namun penolakan kuat yang mereka terima.

Kisah itu dialami Machmudi Haryono alias Yusuf Adirima, atau biasa disapa Ucup. Dia terlibat kelompok radikal dan sempat ikut pelatihan di Kamp Hudaibiyah di Filipina Selatan di awal tahun 2000-an. Selama tiga tahun, Ucup keluar masuk hutan dengan menenteng senjata M16 bersama gerilyawan Moro. Pulang ke Indonesia, Yusuf bergabung dengan sesama jihadis dan merancang serangkaian aksi teror. Pada pertengahan 2003, Ucup dibekuk bersama tiga rekannya oleh Densus 88 karena kedapatan memiliki puluhan bom rakitan di rumah kontrakannya di Jalan Taman Sri Rejeki Selatan VII, Semarang. Kasus mereka dikenal dengan Bom Sri Rejeki.

Ada 26 bom rakitan dan amunisi yang disita dari komplotan Yusuf. Kemampuan ledaknya diperkirakan dua kali dari Bom Bali. Terungkapnya kasus itu setelah Musthofa alias Abu Tholut dalang dan pemilik bom JW Marriot 2003 lebih dulu ditangkap di Bekasi dan dihukum 7 tahun penjara. Musthofa menyebut gudang bomnya berada di Semarang.

Orang lain juga bertanya?

yusuf adirima

yusuf adirima ©2016 Merdeka.com/parwito

Ucup dan tiga rekannya dijatuhi hukuman penjara 10 tahun. Mendapat berbagai remisi, total dia hanya menjalani kurungan selama 5 tahun 6 bulan dan bebas bersyarat pada 2009. Keluar dari penjara, kehidupan Yusuf seolah kembali dari nol. Cap mantan teroris membuatnya sulit mendapat pekerjaan. Saat itu, belum ada program bantuan dari pemerintah, demikian juga program deradikalisasi karena BNPT baru resmi berdiri pada 2010.

Saat ditemui merdeka.com di kediamannya di kawasan Gisikdrono, Kota Semarang, Jawa Tengah, Yusuf menilai, kasus bom Samarinda yang dilakukan Juhanda yang merupakan mantan napi terorisme akibat program deradikalisasi yang dilakukan BNPT banyak yang hanya sekadar formalitas dan tidak berkelanjutan.

"Pendekatan negara melalui BNPT itu memang sudah dilakukan. Cuma efektif atau tidaknya kembali ke BNPT. Kalau BNPT punya tanggung jawab terhadap masyarakat umum, oke, tidak ada masalah lah. Sifatnya hanya seminar, preventif atau lain-lain. Tapi untuk program secara khusus kepada teman-teman (mantan teroris) itu saya kira sudah dilakukan tapi presentasinya masih kecil," ungkap Yusuf Selasa (29/11).

"Jadi saya kira mereka (BNPT) harus intens ke lapas. Tidak hanya seminar di kampus, seminar di balai kota, seminar di hotel. Belum ke hal-hal yang detil persoalan yang dihadapi para mantan teroris setelah keluar dari lapas. Kadang kalau saya melihat (BNPT) mengadakan seminar 1.000 peserta misalnya, itu anggarannya berapa? Dari kampus se Jawa Tengah misalnya. Oke lah, orang memberikan penerangan. Oke lah. Tapi, sumber masalah pelaku (mantan teroris) sendirinya langsung kok malah tidak diperhatikan," bebernya.

Yusuf menyatakan aksi teror yang dilakukan Johan di Samarinda adalah salah satu bukti bahwa lemahnya BNPT dalam melakukan program deradikalisasi. "Kalau kami para mantan yah yang sudah mencapai ratusan jumlahnya dengan mengingat anggaran BNPT yang besar, saya kira mereka (BNPT) kalau berbuat ada wujudnya itu bisa dilihat. Tapi hari ini, ndak ada yang bisa ditonjolkan. Ini lho hasil proyek kami. Itu tidak ditunjukan atau memang (BNPT) lemah gitu lho," ungkap ayah dari dua anak ini.

Yusuf mencontohkan salah satu program BNPT yang hanya bersifat formalitas dan instan. "Beberapa contoh mungkin satu tahun terakhir itu diberikan alat produksi roti. Begitu hibah diberikan kepada kami (mantan teroris) pemberian alat roti kepada kami untuk bekerja. Tetapi dalam konteksnya pemberian itu prosesnya cuma sehari dua hari. Tetapi keberlangsungan produksi itu tidak ada kontrol, tidak ada pendampingan. Diserahkan secara simbolik, difoto, tetapi pendampingnya enggak ada. Kalau bisa setelah didampingi kontinyu begitu," ujarnya.

Demikian juga dengan para napi kasus terorisme yang baru bebas. Dari informasi yang dia dapatkan, Yusuf mengungkapkan, tidak ada pendampingan terhadap mereka. Hanya dilepas begitu saja tanpa pemantauan apalagi pembinaan yang berkelanjutan.

"Ketika mereka menjelang bebas dari penjara, tentu pihak lapas menyatakan ini sudah selesai tugas kami di penjara. Saya serahkan di luar penjara. Nah, makna diserahkan di luar penjara siapa yang diserahi kan belum jelas. Contoh, ketika di dalam belum ada pembinaan, tentu begitu keluar, sudah dilakukan pembinaan. Kontinyunya adalah pembinaan di dalam lapas dan di luar lapas," tutur pria yang saat ini sukses berbisnis warung bistik, rental mobil dan laundry ini.

kepala bnpt datangi komnas ham

Kepala BNPT datangi Komnas HAM ©2016 merdeka.com/muhammad luthfi rahman

Saat bebas dari penjara, Yusuf menceritakan dirinya sempat kesulitan kembali ke masyarakat. Apalagi saat itu belum ada lembaga BNPT. Tekad kuat dari dirinya yang ingin berwiraswasta membuat dirinya kini menekuni dunia bisnis. "Kemudian saya bertekad kuat jalani bisnis bistik dan ke usaha rental. Saya tahu teman-teman bervariasi minat mereka, ada yang usaha rental, ada yang usaha roti, ada yang suka keterampilan lain lah," terangnya.

Yusuf berkeinginan, negara melalui BNPT, Polri dalam hal ini Densus 88 dan lapas hadir untuk mengantarkan rekan-rekanya sesama mantan teroris yang jumlahnya sudah mencapai ratusan kembali hidup normal dan bisa diterima oleh masyarakat.

"Diakui atau tidak mereka (para mantan teroris) ingin hidup normal. Mereka ingin bekerja, bertemu keluarga, menyekolahkan anaknya. Banyak yang ingin hidup normal kembali di masyarakat. Kalau dulu saya keluar belum ada BNPT. Beruntung, saya begitu keluar, bebas bertemu dengan Pak Huda (Noor Huda). Saya bertekad kuat untuk berubah. Bertemu dengan Pak Huda, diajak workshop, diajak pelatihan. Tapi kan Pak Huda tidak ingin berjalan secara pribadi. Tetapi dia ingin negara yang melakukan ini. Karena Dapur Bistik itu sifatnya hanya organisasi pribadi atau LSM. Tapi kalau BNPT kan akan lebih mampu untuk bekerja. Tapi sampai sekarang malah tidak dilakukan," pungkasnya.

(mdk/bal)
Geser ke atas Berita Selanjutnya

Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya

Buka FYP
Dikira Razia, Momen Polisi Bagi-bagi Takjil di Jalan Ini Malah Sepi Pengendara yang Lewat
Dikira Razia, Momen Polisi Bagi-bagi Takjil di Jalan Ini Malah Sepi Pengendara yang Lewat

Niat ingin mau bagi-bagi takjil, para polisi ini dibuat heran karena sepi pengendara lewat.

Baca Selengkapnya
Warga Aceh Utara Tolak Pengungsi Rohingya
Warga Aceh Utara Tolak Pengungsi Rohingya

Warga menilai pengungsi Rohingya memanfaatkan kebaikan orang Aceh.

Baca Selengkapnya
Diaspora adalah Orang yang Bermigrasi, Ketahui Berbagai Contohnya
Diaspora adalah Orang yang Bermigrasi, Ketahui Berbagai Contohnya

Diaspora, orang yang tinggal di negara lain dengan penuh tantangan.

Baca Selengkapnya
FOTO: Gelombang Ratusan Imigran Rohingya yang Merapat di Aceh, Beginilah Kondisinya
FOTO: Gelombang Ratusan Imigran Rohingya yang Merapat di Aceh, Beginilah Kondisinya

Diketahui jumlah imigran Rohingya yang tiba di Aceh, telah melebihi 800 orang.

Baca Selengkapnya
VIDEO: Viral Emak-Emak Rempang Usir TNI Tolak Relokasi, Kapolri Kirim 400 Polisi
VIDEO: Viral Emak-Emak Rempang Usir TNI Tolak Relokasi, Kapolri Kirim 400 Polisi

Sejumlah warga Rempang mengusir petugas yang hendak menawarkan relokasi.

Baca Selengkapnya