Bos Parna Raya menangis dicecar hakim, berkelit korban kartel
Merdeka.com - Presiden Direktur PT Kaltim Parna Industri (KPI) dan Direktur Utama PT Surya Parna Niaga, Artha Meris Simbolon, menitikkan air mata saat dicecar sejumlah pertanyaan oleh majelis hakim dalam sidang mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Rudi Rubiandini. Perempuan itu ngotot tidak pernah memberikan sejumlah uang buat Rudi melalui Deviardi, tapi malah memaparkan soal kesulitan bisnisnya saat ini yang berkilah menjadi korban kartel.
Ketua Majelis Hakim Amin Ismanto dan anggota Majelis Hakim Purwono Edi Santoso dan Mathius Samiaji mencecar Artha. Mereka lantas membacakan runutan penyerahan uang dari Artha kepada Deviardi supaya disampaikan kepada Rudi yang ada dalam dakwaan.
Tiga hakim itu memaparkan bagaimana Artha memberikan uang kepada Deviardi buat Rudi. Pertama, Hakim Purwono membacakan dakwaan soal penyerahan USD 250 ribu sekitar Januari atau Februari 2013 oleh Artha kepada Deviardi.
-
Siapa yang menolak uang suap ratusan juta? Jujurnya Jenderal TNI Tolak Uang Suap Ratusan Juta Banyak pejabat tersandung kasus korupsi, tapi Mayjen Eddie M Nalapraya justru tak tergiur uang suap.
-
Mengapa Rudini menolak perintah Presiden Soeharto untuk menjadi Ketua Golkar? Rudini tidak mau menjadi penyelenggara pemilu sekaligus peserta pemilu karena sama saja menyalahi aturan.
-
Apa yang pernah dilakukan Rudini sebagai KSAD? Ia pernah menolak perintah Presiden Soeharto dan menjelaskan kesalahan sang kepala negara memberi perintah tersebut
-
Kenapa Eddie menolak uang suap? “Kamu lapor sana, saya tidak mau ikut-ikutan!“
-
Mengapa PKB disebut menolak uang tersebut? Uang bernilai fantastis itu disebut agar Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mundur dari posisinya selaku calon wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan.
-
Kenapa Karutan KPK tidak melaporkan pungli ke atasannya? 'Justru yang dilakukan terperiksa sebagai Kepala Rutan dengan memaklumi keadaan tersebut dan tidak pernah melaporkan ke atasannya tentang pungutan liar di Rutan KPK,' sambung dia.
Kemudian, Artha mengirim uang lagi sebesar USD 22.500 pada tahun sama. Lantas ada lagi pemberian sebesar USD 50 ribu pada bulan Ramadhan 2013. Dia menyerahkan duit itu ke Deviardi di restoran cepat saji, McDonald, di Kawasan Kemang, Jakarta Selatan, sekitar pukul 24.00 WIB.
"Enggak ada itu pak hakim," kata Artha berkelit saat bersaksi dalam sidang Rudi dan Deviardi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Selasa (11/2).
Kemudian, Hakim Mathius memaparkan, dua hari sebelum hari raya Idul Fitri 2013, Artha memberi USD 200 ribu buat Rudi. Duit itu diserahkan dalam dua amplop warna coklat, masing-masing berisi USD 150 ribu dan USD 50 ribu. Fulus itu diantar supir Artha dan diterima Deviardi di gerai waralaba Seven Eleven Menteng, Jakarta Pusat.
"Itu enggak ada pak hakim," ujar Artha.
"Jadi saudara pernah bantah semua ini?," tanya hakim Mathius.
"Ya memang begitu pak. Karena perusahaan saya enggak ada hubungannya," sambung Meris.
Sementara itu, Hakim Ketua Amin mencecar Meris soal perselisihan PT KPI dengan PT Kaltim Pacific Amoniak. Dalam dakwaan Rudi, disebutkan Meris menyogok Rudi supaya mau menurunkan formulasi harga bahan baku amoniak buat PT KPI.
"Bahan baku gas amoniak sangat mahal dibandingkan di importir dan kawasan. Terutama dengan perusahaan Jepang, PT Kaltim Pacific Amoniak. Sempat saya melayangkan surat ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Saya itu korban kartel. Kartelnya Pupuk Indonesia Holding Company," ujar Meris dengan nada suara mulai bergetar.
Menurut Meris, saat ini perusahaannya sudah tidak beroperasi selama tujuh bulan dan terancam bangkrut. Dia berdalih sudah pernah melaporkan hal itu kepada KPK hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
"Perusahaan saya tutup, hampir bangkrut, orang tua saya sakit. Tapi masih banyak utang di bank. Saya sudah lapor KPK, ke Presiden SBY, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan," ucap Meris sambil terisak.
(mdk/dan)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Dalam somasi, Iptu Rudiana meminta Dede meminta maaf sekaligus menuduh Dedi Mulyadi menyebarkan berita palsu
Baca SelengkapnyaAdapun biaya restitusi yang diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) sebesar Rp 120 miliar.
Baca SelengkapnyaAdapun biaya restitusi yang diajukan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban sebesar Rp 120 miliar.
Baca SelengkapnyaMario Dandy Satriyo mengaku tidak tahu perusahaan kedua orang tuanya, termasuk PT Artha Mega Ekadhana (PT Arme), digunakan untuk menampung dana gratifikasi.
Baca SelengkapnyaPermintaan kompensasi itu diungkapkan kuasa hukum PT Bali Towerindo Sentra
Baca SelengkapnyaSaksi Gazalba Saleh Ahmad Riyadh mendadak mencabut keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saat sidang korupsi hakim agung Gazalba Saleh.
Baca SelengkapnyaMario meminta Rafael Alun dihadirkan untuk dimintai persetujuannya membayar restitusi Rp 120 miliar.
Baca SelengkapnyaPolitikus Partai Gerindra, Dedi Mulyadi, kesal mengetahui pembangunan jembatan di Desa Cijunti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Purwakarta, diganggu preman.
Baca SelengkapnyaJaksa Urip divonis 20 tahun penjara pada 2008 dan bebas pada tahun 2017
Baca SelengkapnyaRafael bersama-sama dengan Ernie Meike didakwa melakukan TPPU ketika bertugas sebagai PNS di Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2002 hingga 2010.
Baca Selengkapnya