Bubarkan Lembaga, Jokowi Bisa Tata 'Overlapping' Kewenangan dan Anggaran
Merdeka.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana membubarkan 18 lembaga negara. Namun hingga kini, orang nomor satu di RI tersebut belum mau mengungkap mana saja lembaga itu.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia Makassar Fahri Bachmid mendukung langkah Jokowi tersebut. Dia menilai, pembubaran lembaga negara sangat tepat dan bermanfaat.
Rencana itu, kata Fahri, merupakan sebuah terobosan kebijakan negara yang sangat konstruktif serta solutif dalam mengurai salah satu problem ketatanegaraan yang dialami bangsa dan negara selama ini.
-
Bagaimana Jokowi ingin UU Perampasan Aset dikawal? 'Terakhir saya titip upayakan maksimal penyelamatan dan pengembalian uang negara sehingga perampasan aset menjadi penting untuk kita kawal bersama,' ucap Jokowi.
-
Apa yang ditekankan Jokowi soal UU Perampasan Aset? 'Terakhir saya titip upayakan maksimal penyelamatan dan pengembalian uang negara sehingga perampasan aset menjadi penting untuk kita kawal bersama,' ucap Jokowi.
-
Apa yang bisa dilakukan Jokowi untuk kabinet Prabowo? Tak hanya memberikan pendapat, mantan Wali Kota Solo tersebut juga bisa memberikan usulan nama untuk kabinet mendatang.
-
Siapa yang Jokowi minta untuk segera selesaikan RUU Perampasan Aset? Jokowi menyebut, pemerintah telah mengajukan RUU perampasan aset kepada DPR. Kini tinggal DPR untuk menindaklanjuti RUU tersebut.
-
Apa yang Jokowi ajak untuk ditanggulangi? 'Selain itu kejahatan maritim juga harus kita tanggulangi seperti perompakan, penyelundupan manusia, narkotika, dan juga ilegal unregulated unreported IUU Fishing,'
-
Apa yang diresmikan Jokowi? Jokowi prihatin atas dominasi impor dalam penggunaan perangkat teknologi di Indonesia, dengan nilai impor yang mencapai lebih dari Rp30 triliun. Hal itu disampaikan Jokowi saat meresmikan Indonesia Digital Test House (IDTH) di Balai Besar Pengujian Perangkat Telekomunikasi (BBPPT), Kota Depok, Jawa Barat Selasa, (7/5).
"Beleeid (aturan) presiden terhadap pembubaran 18 lembaga negara itu tepat jika ditinjau dari aspek konstitusi dan kajian hukum tata negara secara mendalam, komprehensif dan substantif, untuk menata overlapping kewenangan dan beban anggaran negara. Jadi itu sebagai ‘Moment of Truth’ penataan inflasi lembaga negara Independen," ujar Fahri, Rabu (15/7).
Menurut Fahri, pembubaran lembaga negara itu harus Jokowi jadikan sebagai ‘Moment of Truth’ dalam menata serta mengkonsolidir kelembagaan negara secara baik, tepat, presisi, dan proporsional sesuai konstitusi dan perundang-undangan yang berlaku,. Oleh sebab itu, lanjut Fahri, Jokowi wajib membutuhkan basis legitimasi yuridis yang kuat dan terukur.
Opsi hukum yang dapat ditempuh, tutur dia, adalah menyiapkan RUU Tentang Pembubaran Kelembagaan Negara serta mengatur segala akibat hukumnya. Sekaligus dengan dasar hukum itu presiden diperlengkapi dengan instrumen kewenangan untuk mengatur dan menata kelembagaan negara ke depan.
"Artinya jika presiden membubarkan lembaga negara yang pembentukannya lewat UU, maka tentunya harus melalui mekanisme ketatanegaraan dengan melibatkan DPR untuk membahasnya."
"Dan jika Lembaga, Badan atau Komisi dengan dasar hukum pembentukannya adalah setingkat peraturan perundang-undangan di bawah UU, maka cukup presiden dengan kekuasaanya berdasarkan UUD 1945 serta berdasarkan kajian hukum dan ketatanegaraan terkait rancang bangun desain kelembagaannya dapat membubarkan serta mengaturnya," tambah Fahri lagi.
Secara teknis ketatanegaraan, Fahri mengatakan, Jokowi sudah pernah melakukan pembubaran sekitar 23 lembaga atau Badan sejak menjabat dari 2014 silam. Karenanya, kata dia, rencana pembubaran 18 lembaga atau Badan dalam waktu dekat ini bukan persoalan rumit dan kompleks. Termasuk bagaimana mengatur dampak serta alokasi ASN/pegawai yang lembaganya dilikuidasi untuk disalurkan kepada lembaga ‘existing’ sebagaimana mestinya.
Kata Fahri, secara empiris, problem inflasi lembaga negara independen atau kehadiran lembaga, komisi dan badan pemerintahan ini mengalami ekspansi secara signifikan. Karena setiap muncul masalah nasional atau kebijakan membentuk peraturan perundang-undangan untuk urusan tertentu oleh DPR dan Presiden, maka dimunculkan suatu lembaga negara baru tanpa adanya ‘blue print’ yang jelas tentang hakikat serta konsep dasar pembentukan lembaga negara tersebut.
"Salah satu bentuk perkembangan teori dan praktik hukum tata negara modern yang banyak diperdebatkan adalah hadirnya organ negara yang dikenal dengan komisi negara atau lembaga negara independen atau state auxiliary bodies atau state auxiliary agencies. Muara perdebatan ini, hadirnya komisi negara menjadi semacam keniscayaan dalam menjawab kebutuhan praktik ketatanegaraan,” ungkap Fahri.
Selain itu, Fahri menuturkan, kehadiran komisi negara juga didorong oleh fakta munculnya krisis kepercayaan terhadap lembaga-lembaga negara konvensional. Dengan demikian Lembaga, Badan atau Komisi negara diproduksi secara tidak terkendali.
Fahri mengatakan, eksistensi kelembagaan lembaga negara dapat ditelusuri dari pola pengaturan dengan beragam dasar hukum pembentukannya. Contohnya, mulai dari dasar pembentukan dengan derajat hukum pada level konstitusi (UUD 1945) seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPU. Maupun pengaturan dengan dasar hukum UU seperti Komnas HAM, KPK, KPI, ORI dan Dewan Pers.
Sementara itu, ada juga yang diatur dengan mantel hukum berupa Peraturan Pemerintah seperti PPATK, Komnas Perempuan serta KPAI dan lain-lain. Berdasarkan data empiris terkait keberadaan lembaga-lembaga tersebut dapat dikelompokan dalam dua potret rezim kepemerintahan.
Pertama, lembaga, badan atau komisi yang tergolong di dalam lembaga negara non-struktural yang di dalamnya terdapat puluhan badan, komisi, dewan, lembaga, komite, komisi, konsil dan lainnya.
Kedua, yang tergolong ke dalam lembaga pemerintah non-departemen yang di dalamnya terdapat puluhan lembaga/badan seperti mulai dari lembaga administrasi negara sampai dengan Badan Narkotika Nasional.
“Saatnya presiden mengambil peran konstitusional yang besar ini sebagai negarawan untuk melakukan konsolidasi sebagai sebuah upaya serta urgensi penataan lembaga negara independen,” tutup Fahri.
Presiden Joko Widodo alias Jokowi berencana akan membubarkan 18 lembaga dan komisi dalam waktu dekat. Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menjelaskan, perampingan tersebut dilakukan agar lebih cepat dan efektif.
"Lebih bersifat sederhana agar kalau punya karakter-karakter seperti itu diharapkan nanti akan memiliki kecepatan," kata Moeldoko di Kantornya, Jakarta Pusat, Selasa (14/7).
Sebab itu, nantinya pihak Kementerian PAN & RB akan membentuk komisi yang berbentuk Komisi di bawah PP atau Perpres. Hingga saat ini lembaga atau komisi belum tersentuh.
"Tapi terhadap lembaga di bawah perpres dan PP saat ini sedang ditelaah, perlukah organisasi atau yang dikatakan kemarin 18 lembaga itu dihapus atau dievaluasi lagi," kata Moeldoko.
Moeldoko mengatakan, ada beberapa organisasi yang bisa digabung di bawah kementerian. Seperti komisi usia lanjut yang dibentuk dalam Keppres Nomor 52 tahun 2004.
“Kira-kira seperti ini ya, komisi usia lanjut. Ini enggak pernah kedengaran kan apakah itu tidak dalam tupoksi KPPPA. Kalau masih dalam cakupan kementerian itu mungkin bisa dipikirkan," kata Moeldoko.
Selanjutnya Badan Akreditasi Olahraga, dia menilai saat ini terdapat tiga badan. Kemudian dia juga menyoroti Badan Restorasi Gambut (BRG).
"Kemudian BRG, sementara ini perannya cukup bagus dalam ikut menangani restorasi gambut. Tapi nanti juga akan dilihat. BRG itu dari sisi kebakaran, apakah cukup ditangani BNPB?" ungkap Moeldoko. (mdk/rnd)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pemerintahan mendatang, kata Achmad Baidowi, bisa menambah atau mengurangi jumlah kementerian tergantung pada kebutuhan politik dan kebijakan presiden.
Baca SelengkapnyaMenteri Perdagangan (Mendag) ini menegaskan, semua diserahkan kepada presiden terkait dengan reshuffle kabinet.
Baca SelengkapnyaDPD tidak ingin terjadi dualisme kekuasaan antara presiden dan wakil presiden yang dapat berpotensi menimbulkan pecah kongsi antara keduanya.
Baca SelengkapnyaJokowi menanggapi wacana Presiden RI terpilih Prabowo Subianto yang dikabarkan bakal membentuk 44 kementerian
Baca Selengkapnya"menurut saya sebaiknya proses itu setelah setelah ya setelah Pemilu," kata Jokowi
Baca SelengkapnyaJokowi meyakini hal ini dapat memberikan efek jera untuk para koruptor dan mengembalikan kerugian negara.
Baca Selengkapnya"Setelah 79 tahun merdeka, akhirnya kita memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru sebagai upaya memodernisasi hukum Indonesia," kata Presiden Jokowi.
Baca SelengkapnyaMaka harus, melakukan Revisi Undang Undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara
Baca SelengkapnyaPresiden Jokowi menanggapi soal rencana perombakan kabinet jelang purnatugas Oktober mendatang.
Baca SelengkapnyaAdapun dalam RUU Kementerian Negara mengatur bahwa jumlah kementerian menyesuaikan kebutuhan presiden atau tidak dibatasi.
Baca SelengkapnyaBadan Kebijakan Fiskal (BKF) dihapus dari struktur organisasi Kemenkeu. Fungsi BKF kini dilebur ke Ditjen Strategi Ekonomi dan Fiskal.
Baca SelengkapnyaJokowi Kembali Singgung UU Perampasan Aset: Bolanya Ada di DPR
Baca Selengkapnya