Catatan ICW Soal Indeks Persepsi Korupsi Indonesia Naik Tipis Satu Poin
Merdeka.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritisi Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2021 yang hanya naik 1 poin menjadi 38 dari sebelumnya 37 pada 2020. Menurutnya, kenaikan angka tipis tersebut berkaitan dengan realita pemberantasan korupsi terkini.
"Peningkatan IPK Indonesia tahun ini tentu harus dibenturkan dengan realita pemberantasan korupsi terkini. Secara kasat mata, tahun 2021 sebenarnya masih menjadi periode implikasi atas akumulasi kekeliruan pemerintah ketika mengubah haluan pemberantasan korupsi melalui sejumlah regulasi dan kebijakan," kata Peneliti ICW Egi Primayogha lewat keterangannya, Rabu (26/1).
Dia menyebut, hal itu dapat dibuktikan dengan masifnya kritik masyarakat terhadap kinerja lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK. Bahkan pada awal Januari lalu Indikator Politik Indonesia menguatkan kesimpulan tersebut dengan menemukan adanya persepsi buruk dari sebagian besar masyarakat terhadap komitmen antikorupsi pemerintah.
-
Apa yang dilakukan ICW untuk kritik KPK? Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menangkap Harun Masiku di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
-
Bagaimana KPK menemukan bukti korupsi? 'Temuan dokumen tersebut diantaranya berisi item-item pengadaan yang didug dilakukan secara melawan hukum,' kata Ali.
-
Apa yang diselidiki KPK? Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menyelidiki dugaan kasus korupsi pengadaan lahan proyek Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS).
-
Bagaimana persepsi publik terhadap pemberantasan korupsi di era Jokowi? Survei Indikator menunjukkan bahwa responden menilai kondisi pemberantasan korupsi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) buruk, dengan jumlah persentase sebesar 32,7 persen.
-
Bagaimana ICW kritik KPK soal Harun Masiku? Saat melancarkan aksinya, para aktivis ini tampil memakai topeng pimpinan KPK yang dimulai dari Nawawi Pomolango, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, hingga Johanis Tanak.
-
Siapa yang dikritik ICW soal kasus korupsi? Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menangkap Harun Masiku di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
"Maka dari itu, meningkatnya poin dan peringkat Indonesia semestinya dimaknai sebagai bahan evaluasi mendasar untuk mengembalikan pemberantasan korupsi ke arah yang benar, bukan justru mengglorifikasikannya," ujarnya.
Egi bilang, ada sejumlah isu yang bisa dicermati dengan rendahnya kenaikan IPK Indonesia. Pertama, pemerintah hanya disibukkan dengan agenda pencarian ladang ekonomi untuk kepentingan investasi. Bukan tanpa dasar, cerminan kebijakan pemindahan ibukota dan klaim kemudahan sektor ekonomi melalui Omnibus Law dapat dijadikan rujukan utama.
"Proses kilat saat pembahasan aturan dengan menabrak aturan formal menjadi argumentasi utama untuk membantah logika yang dibangun oleh pemerintah. Sayangnya, pemerintah terlewat bahwa persoalan utama yang masih mendera sektor ekonomi menyangkut kepastian hukum, khususnya berkaitan dengan aspek pemberantasan korupsi," terangnya.
Kedua, agenda reformasi hukum tidak pernah diprioritaskan. Menurutnya, penting untuk ditekankan bahwa secara administrasi seluruh pimpinan aparat penegak hukum berada di bawah kekuasaan eksekutif. Dengan logika seperti ini semestinya Presiden bisa mendesak Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK untuk meningkatkan kinerja pemberantasan korupsinya.
Namun, berdasarkan temuan ICW dalam Tren Penindakan semester pertama tahun 2021, jumlah penyidikan perkara korupsi yang dilakukan tiga penegak hukum itu mengalami penurunan. Selain itu, khusus terkait KPK, sepanjang tahun lalu yang tampak hanya kegaduhan tanpa mampu menunjukkan prestasi sebagaimana lazim terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
"Ditambah dengan fakta mengendurnya Rule of Law Index yang dirilis oleh World Justice Project tahun 2021 semakin menguatkan indikasi reformasi hukum masih sebatas jargon semata," kata Egi.
Ketiga, permasalahan grand corruption yang tak kunjung tuntas. Menurutnya, tidak ada komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus grand corruption atau korupsi berskala besar. Kasus-kasus besar seperti reklamasi Jakarta, KTP elektronik, surat keterangan lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI), dan sederet kasus lainnya berhenti hanya pada sedikit tersangka atau terpidana. Padahal kasus tersebut berpotensi melibatkan aktor-aktor besar.
Dia berujar, kondisi yang dibentuk hari-hari ini bahkan membuka ruang praktik grand corruption untuk semakin marak terjadi. Pelemahan KPK lewat revisi UU membuat aktor-aktor yang membajak proyek negara sulit disentuh secara hukum. Ini diperparah dengan kehadiran UU Minerba serta UU Cipta Kerja yang menjamin pebisnis untuk mendapat keuntungan dengan mengeruk sumber daya alam.
"Hal penting yang perlu digaris bawahi adalah grand corruption pada akhirnya hanya menguntungkan sedikit orang dengan cara merugikan orang banyak," ucapnya.
Keempat, menyempitnya ruang partisipasi warga dalam agenda pemberantasan korupsi. Poin ini menitikberatkan pada ancaman yang masih banyak diterima oleh warga negara ketika menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja para penyelenggara negara. Bentuknya pun semakin beragam, mulai dari pelaporan menggunakan delik pencemaran nama baik, peretasan, hingga kekerasan fisik.
"Padahal, peran serta warga negara dibutuhkan dan dijamin keberadaannya oleh peraturan perundang-undangan untuk berkontribusi terhadap penegakan hukum. Dari sini terlihat kelindan yang kuat antara penurunan demokrasi dengan stagnasi pemberantasan korupsi," paparnya.
ICW pun memberikan solusi untuk mendorong perbaikan dalam keseluruhan kebijakan pemberantasan korupsi. Pertama, Presiden beserta seluruh jajarannya mengedepankan pembenahan sektor penegakan hukum melalui perubahan sejumlah regulasi.
"Diantaranya, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, dan Revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," ungkapnya.
Kedua, Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk fokus pada tugas utama pemberantasan korupsi dan menghilangkan setiap kegaduhan yang berdampak pada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat.
Ketiga, Presiden memerintahkan lembaga penegak hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi berskala besar (grand corruption) dan mempersempit ruang terjadinya praktik tersebut.
Keempat, Presiden menghentikan upaya pemberangusan partisipasi warga negara yang bergerak dalam isu antikorupsi.
Diketahui, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau "Corruption Perception Index" (CPI) Indonesia pada 2021 naik tipis 1 poin menjadi 38 dari sebelumnya 37 pada 2020. Saat ini, Indonesia atau berada di posisi 96 dari 180 negara yang disurvei.
"CPI Indonesia pada 2021 berada di skor 38 dan berada di peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei. Skor ini naik 1 poin dari tahun 2020 lalu yang berada pada skor 37 dan masih di bawah skor rata-rata CPI global yaitu 43," kata Deputi Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko dalam konferensi pers virtual. Demikian dikutip dari Antara, Selasa (25/1).
TII merilis IPK Indonesia 2020 yang mengacu pada 9 sumber data dan penilaian ahli untuk mengukur korupsi sektor publik di 180 negara dan teritori. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Lebih dari dua per tiga negara yang disurvei skornya berada di bawah 50.
"Secara global rerata ini stagnan dalam jangka waktu sepanjang enam tahun terakhir, sedangkan di Asia Pasifik rerata skor CPI berada di angka 45 atau sama dengan tahun lalu. Stagnasi rerata skor CPI ini mengungkapkan terjadi kemerosotan dalam upaya pemberantasan korupsi oleh sebagian besar negara terutama dalam situasi pandemi," tambah Wawan.
Negara yang punya skor CPI 38 seperti Indonesia adalah Argentina, Brazil, Turki, Serbia dan Lesotho.
"Ada empat negara yang merupakan anggota G20 yaitu Indonesia, Argentina, Brazil dan Turki. Artinya ini perlu ada perhatian tersendiri bagi G20 yang anggotanya masih punya skor di bawah CPI rata-rata global," ungkap Wawan.
Di ASEAN, Singapura menjadi negara yang dinilai paling tidak korup (skor 85 di peringkat 4 dunia), diikuti Malaysia (skor 48 di peringkat 62), Timor Leste (skor 41 peringkat 86), Vietnam (skor 39 peringkat 87), Indonesia (skor 38 peringkat 86), Thailand (skor 35 peringkat 110), Filipina (skor 33 peringkat 117), Laos (skor 30 peringkat 134), Myanmar (skor 28 peringkat 137) dan Kamboja (skor 23 peringkat 160).
Sedangkan negara dengan skor CPI 2021 tertinggi adalah Denmark, Filipina dan Selandia Baru pada skor 88 (peringkat 1-3), diikuti Norwegia, Singapura dan Swedia pada skor 85 (peringkat 4-6), Swis dengan skor 84 (peringkat 7), Belanda dengan skor 82 (peringkat 8), Luxembourg memiliki skor 81 (peringkat 9, dan Jerman dengan skor 80 di peringkat 10.
Sementara CPI terendah adalah Yaman, Afghanistan dan Korea Utara dengan skor 15 (peringkat 176), Venezuela dengan skor 14 (peringkat 176), Suriah dan Somalia dengan skor 13 di peringkat 178 dan Sudan Selatan dengan skor 11 di peringkat 180.
Wawan menyebut, ada tiga data yang mendorong kenaikan skor CPI Indonesia yaitu Global Insight Country Risk Ratings (risiko individu/perusahaan dalam menghadapi praktik korupsi dan suap untuk menjalankan bisnis) naik 12 poin menjadi 47, "World Economic Forum EOS" (suap dan pembayaran ekstra pada impor-ekspor, pelayanan publik, pembayaran pajak tahunan, kontrak perizinan dan putusan pengadilan) juga naik 7 poin menjadi53 dan IMD World Competitiveness Yearbook" (suap dan korupsi dalam sistem politik) naik 1 poin menjadi 44.
Sementara tiga data yang stagnan adalah "Economist Intelligence Unit Country Ratings" (prosedur yang jelas dan akuntabilitas dana publik, penyalahgunaan pada sumber daya publik, profesionalisme aparatur sipil, audit independen) tetap di skor 37, Political and Economic Risk Consultancy (PERC) Asia Risk Guide juga stagnan di angka 32 serta "World Justice Project – Rule of Law Index" (pejabat di eksekutif, legislatif, yudikatif, kepolisian dan militer menggunakan kewenangannya untuk keuntungan pribadi) skornya tetap di 23.
Namun ada 3 unsur yang mengalami penurunan yaitu "Political Risk Service" (korupsi dalam sistem politik, pembayaran khusus dan suap ekspor-impor dan hubungan mencurigakan antara politikus dan pebisnis) turun dari 50 menjadi 48, "Bertelsmann Foundation Transformation Index" (pemberian hukuman pada pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangan dan pemerintah mengendalikan korupsi) turun dari 37 menjadi 33, "Varieties of Democracy" (kedalaman korupsi politik, korupsi politik di eksekutif, legislatif dan yudikatif, korupsi di birokrasi, korupsi besar dan kecil yang mempengaruhi kebijakan publik) juga menurun dari 26 menjadi 22.
"TII menilai negara dengan tingkat korupsi tinggi yang ditunjukkan CPI rendah cenderung melakukan pelanggaran kebebasan sipil termasuk sepanjang masa pandemi. Negara yang sangat korup bertanggung jawab atas hampir semua pembela HAM yang terbunuh dan mendapatkan kekerasan. Korupsi dalam penegakan hukum dan peradilan serta impunitas untuk kejahatan berat berkontribusi pada situasi pemberantasan korupsi yang berbahaya," ungkap Wawan.
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Johanis Tanak mengatakan, Indeks Perilaku Antikorupsi menurun menandakan tingkat korupsi di Indonesia mengalami kenaikan.
Baca SelengkapnyaIndeks Persepsi Korupsi di Indonesia terus merosot.
Baca SelengkapnyaSementara dari skor khusus negara- negara Asia Tenggara, Indonesia berada pada peringkat ke-6
Baca SelengkapnyaDalam kesempatan itu, Jokowi menyoroti banyaknya pejabat dalam negeri ditangkap karena pidana korupsi.
Baca SelengkapnyaIndeks persepsi korupsi di Indonesia berada di posisi 34, turun dari posisi 38 di 2015.
Baca SelengkapnyaSurvei Indikator menyebut tingkat kepercayaan publik kepada Mahkamah Konstitusi (MK) mulai kembali pulih yakni sebesar 63,4 perse
Baca SelengkapnyaHasil SPI KPK menunjukkan skor integritas untuk tahun 2023 sebesar 71.
Baca SelengkapnyaBPS sarankan hal ini untuk memperbaiki budaya antikorupsi ke depan.
Baca SelengkapnyaSurvei Transparency International Indonesia (TII) terhadap IPK menempatkan Indonesia peringkat 115 dari 180 negara.
Baca SelengkapnyaPada tahun 2024, periode terakhir kepemimpinannya, target capaian IPAK adalah 4,14 namun realisasinya justru merosot ke angka 3,85.
Baca SelengkapnyaHasilnya, masyarakat menilai pemberantasan korupsi di ukuran sedang, buruk dan sangat buruk
Baca SelengkapnyaKolaborasi penting dilakukan bersama jejaring badan koordinasi kehumasan dan Dinas Kominfo seluruh Indonesia.
Baca Selengkapnya