Hakim minta KPK proses mantan pejabat terkait gratifikasi Gatot Pujo
Merdeka.com - Majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan tidak hanya menjatuhkan hukuman kepada mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho dalam perkara gratifikasi dengan total Rp 61,8 miliar kepada pimpinan dan anggota DPRD Sumut. Mereka juga memerintahkan kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memproses para pemberi dan penerima gratifikasi.
"Majelis hakim berdasarkan asas persamaan di muka hukum dan demi keadilan dapat saja memerintahkan agar mereka yang memberi atau menerima, baik yang sudah mengembalikan uang atau yang belum mengembalikan uang, yang tidak sah tersebut, terutama mereka yang belum diadili dapat diajukan ke pengadilan," ucap Didik Setyo Handono saat sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Medan, Kamis (9/3).
Sebelum menyampaikan hal itu, majelis hakim juga menyebut sejumlah nama birokrat dan mantan pejabat Pemprov Sumut yang mengumpulkan serta membagikan uang gratifikasi itu, yakni Randiman Tarigan, yang merupakan mantan Sekretaris DPRD Sumut; M Ali Nafiah, mantan Bendahara DPRD Sumut; Nurdin Lubis, mantan Sekretaris Daerah Provinsi Sumut; Baharuddin Siagian, mantan Kepala Biro Keuangan Setdaprov Sumut; Ahmad Fuad Lubis, Kepala Biro Keuangan Setdaprov Sumut; M Fitriyus, mantan Asisten IV Setdaprov Sumut; Hasban Ritonga, Sekretaris Daerah Provinsi Sumut; dan Pandapotan Siregar, mantan Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Sumut.
-
Apa permintaan Ganjar-Mahfud di sidang sengketa? 'Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan pemungutan suara ulang untuk pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2024 antara H. Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai pasangan calon nomor urut satu, dan H. Ganjar Pranowo dan Prof Mahfud MD selaku pasangan calon nomor urut tiga di seluruh tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia, selambat-lambatnya pada tanggal 26 Juni 2024,' kata Todung.
-
Siapa yang tanggapi pernyataan Ganjar? Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman merepons, pernyataan Ganjar Pranowo yang menyatakan akan berada di luar pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
-
Apa yang diminta TPN Ganjar terkait kasus Aiman dan Palti? TPN Ganjar Minta Kasus Aiman dan Palti Hutabarat Dihentikan seperti Perkara Butet
-
Siapa yang memuji keputusan Polri? Keputusan tersebut mendapat apresiasi dari Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni.
-
Bagaimana Ganjar menanggapi laporan pungli? “Makanya kita ambil tindakan tegas, jadi kita langsung Plh. Kita langsung tarik dulu, kita pindah dulu. Kemudian ini agar menjadi perhatian bagi semuanya untuk tidak main-main. Hal-hal aduan selalu datang maka model-model semacam ini ya kita butuh bantuan masyarakat. Laporgub sudah cukup bagi saya untuk bisa melaporkan,“ tegasnya.
-
Apa yang menjadi pertimbangan hakim dalam kasus korupsi? Lebih lanjut, menurut Sahroni, hal tersebut penting karena nantinya akan menjadi pertimbangan pengadilan yang berdampak pada masa hukuman para pelaku korupsi.
Para penerima gratifikasi itu juga disebutkan dalam putusan. Namun di antara pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019, baru 12 orang yang diajukan ke pengadilan. Seluruhnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sementara yang lainnya baru sebatas saksi di persidangan. Dalam kesaksiannya, mereka mengakui menerima uang tidak sah itu. Sebagian di antaranya sudah mengembalikan ke KPK.
Terkait perintah majelis hakim agar seluruh pemberi dan penerima diajukan ke pengadilan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari KPK, Wawan Yunarwanto, menyatakan mereka memang tidak menghentikan proses hukum pihak-pihak lain terkait perkara ini. Apalagi dalam amar putusan majelis hakim, barang bukti disita untuk digunakan pada perkara lain.
"Satu hal yang menarik, majelis hakim memberi semacam perintah agar perkara lain tidak berhenti di sini. Bahwa KPK tetap akan mengembangkan perkara ini, tidak akan berhenti. Karena kami yakin sesuai fakta persidangan perbuatan ini bukan pribadi tetapi bersama-sama," ucapnya.
Namun, Wawan menyatakan mereka belum bisa memaparkan siapa saja yang akan ditingkatkan statusnya menjadi tersangka. "Kami tidak bisa sampaikan sekarang. Akan disampaikan pada waktunya," jelas Wawan.
Seperti diberitakan, dalam perkara ini, mantan Gubernur Sumatera Utara, Gatot Pujo Nugroho, dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan didenda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Dia terbukti bersalah memberikan gratifikasi dengan total Rp 61,8 miliar kepada pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019.
Penasihat hukum Gatot, Ani Andriani, juga menyambut positif perintah hakim agar para pemberi dan penerima lainnya diajukan ke persidangan. "Kami berbesar hati, perkara ini tidak berhenti di sini," ucapnya seusai sidang.
(mdk/ded)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Gazalba Saleh divonis bebas Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bandung.
Baca SelengkapnyaGalzaba menerima vonis bebas dari Pengadilan Tipikor pada PN Bandung.
Baca SelengkapnyaSidang kasus gratifikasi dan TPPU Gazalba Saleh tetap dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
Baca SelengkapnyaPemeriksaan terhadap GS telah berlangsung di gedung Merah Putih, KPK
Baca SelengkapnyaSebelumnya, hakim Pengadilan Tipikor PN Bandung memvonis bebas Gazalba lantaran dinilai tidak terbukti melakukan tindak pidana suap seperti dakwaan jaksa KPK.
Baca SelengkapnyaKejagung melakukan pemeriksaan terhadap mantan Hakim Ad Hoc Mahkamah Agung (MA) terkait dugaan kasus suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur.
Baca SelengkapnyaSetyo Budiyanto telah dilantik sebagai Ketua KPK periode 2024-2029 setelah menandatangani pakta integritas.
Baca SelengkapnyaAlex meminta kepada semua masyarakat untuk mengawasi persidangan dengan susunan hakim seperti sebelumnya.
Baca SelengkapnyaGus Mudhlor ditetapkan KPK sebagai tersangka seteah diduga terlibat melakukan pemotongan dana insentif ASN.
Baca SelengkapnyaGazalba Saleh sebelumnya menjadi terdakwa kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Baca Selengkapnya