ICW Catat 14 Poin Pelemahan KPK Hasil Revisi DPR
Merdeka.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 14 poin krusial dalam revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Yang pasti, keseluruhan poin dalam UU tersebut akan melemahkan KPK dan menjadi titik mundur pemberantasan korupsi," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Selasa (24/9).
Kurnia menyebut pengusulan perubahan UU KPK telah dilakukan sejak 2010. Berikut 14 poin yang dicatat ICW:
-
Apa yang dilaporkan IPW kepada KPK? Laporan yang dilayangkan Indonesia Police Watch (IPW) atas dugaan gratifikasi Rp100 miliar dengan terlapor mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo harus dipisahkan dari politik.
-
Apa yang dilakukan ICW untuk kritik KPK? Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menangkap Harun Masiku di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
-
Apa saja isi poin penting dalam RUU Kementerian Negara? Salah satu poin penting dalam RUU itu adalah perubahan Pasal 15. Dengan perubahan pasal itu, presiden nantinya bisa menentukan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan negara, tidak dibatasi hanya 34 kementerian seperti ketentuan dalam undang-undang yang belum diubah.
-
Siapa yang dikritik ICW soal kasus korupsi? Aktivis dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi unjuk rasa untuk mengkritik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menangkap Harun Masiku di depan gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
-
Kapan Presiden Jokowi menandatangani revisi UU ITE? Sebelumnya, Presiden Joko Widodo atau Jokowo resmi menandatangani Undang-Undang Nomor 1 tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
-
Bagaimana proses revisi UU Kementerian Negara dilakukan? Ada sembilan fraksi partai politik DPR yang menyetujui Revisi UU Kementerian Negara diproses ke tahan selanjutnya.
1. KPK Tidak Lagi Lembaga Negara Independen
Dalam catatan ICW pada Pasal 1 ayat 3 UU KPK menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan undang-undang ini.
Kurnia menyebut aturan tersebut bertabrakan dengan empat putusan Mahkamah Konstitusi sekaligus.
"Pada putusan tersebut menegaskan bahwa KPK bukan bagian dari eksekutif, melainkan lembaga negara independen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KPK sebelumnya, " kata Kurnia.
2. Pembentukan Dewan Pengawas
Berdasarkan konsep lembaga negara independen pada dasarnya tidak mengenal kelembagaan pengawas, namun yang dijadikan fokus adalah membangun sistem pengawasan.
Kurnia menilai secara konsep teori logika DPR dan pemerintah keliru. Menurut dia, KPK selama ini telah diawasi oleh publik. Sedangkan dalam hal keuangan mekanisme audit dari Badan Pemeriksa Keuangan.
"Kinerja melalui DPR dengan forum Rapat Dengar Pendapat, dan lembaga anti rasuah itu secara berkala melaporkan kinerja kepada Presiden. Khusus langkah penindakan, KPK bertanggung jawab pada institusi kekuasaan kehakiman," papar Kurnia.
3. Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas
Peneliti ICW, Kurnia Ramdhana menyatakan Pasal 37 B ayat (1) huruf b disebutkan Dewan Pengawas bertugas memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Menurut dia, kewenangan pro justicia seperti itu semestinya tidak diberikan pada organ khusus yang semestinya bekerja pada tataran pengawasan administratif. Dia menilai dewan pengawas bukanlah bagian dari penegak hukum.
"Sekalipun Dewan Pengawas tidak dibutuhkan KPK saat ini, namun dengan kewenangan besar seperti itu terlihat pembentuk UU tidak memahami bahwa dalam regulasi KUHAP hanya institusi Pengadilan yang berwenang mengeluarkan izin, " kata Kurnia.
4. Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif
Kurnia menyebut dalam Pasal 37 E ayat (1) UU KPK disebutkan ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.
Dia menilai pengangkatan dewan pengawas yang dilakukan presiden dikhawatirkan melunturkan sikap independensi penegakan hukum di KPK.
"Sebab kewenangan yang diperoleh oleh Dewan Pengawas amat besar, hingga pada izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan," ucapnya.
5. KPK Tidak Bisa Membuka Kantor Perwakilan
Kurnia mengatakan pada Pasal 19 ayat (1) UU KPK disebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara dan wilayah kerjanya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
"Pasal ini jelas menghilangkan kewenangan KPK untuk membuka kantor perwakilan di daerah provinsi sebagaimana diatur pada Pasal 19 ayat (2) UU KPK sebelumnya," kata dia.
6. KPK Dapat Menghentikan Penanganan Perkara
Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun. Hal tersebut berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU KPK.
Menurut peneliti ICW, Kurnia Ramdhana menyebut dalam pasal itu dapat diartikan bahwa KPK sewaktu-waktu dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
"Tentu poin ini akan bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2003, 2006, dan 2010 yang secara tegas melarang KPK untuk mengeluarkan SP3. Ini semata-mata agar KPK lebih berhati-hati sebelum menentukan sebuah perkara masuk pada ranah penyidikan," kata Kurnia.
Menurut dia, setelah masuk ranah penyidikan namun bukti yang ditemukan dinyatakan tidak cukup maka perintah putusan MK perkara itu tetap harus dilimpahkan ke persidangan dan terdakwa harus dituntut lepas atau bebas.
7. Perkara Besar Dengan Tingkat Kerumitan Tertentu Berpotensi Dihentikan
Kurnia menyatakan pada Pasal 40 ayat 1 menyebutkan KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.
Dia menilai adanya batasan waktu penyidikan maka akan menyulitkan KPK membongkar kasus-kasus besar yang tergolong rumit dibuktikan. Kurnia mencontohkan perkara korupsi KTP elektronik aja memakan waktu dua tahun untuk memperoleh penghitungan kerugian negara.
"Lagi pun pada dasarnya setiap perkara memiliki kerumitan pengungkapan yang berbeda beda, jadi tidak tepat jika harus dibatasi waktu tertentu," kata dia.
8. Menggerus Kewenangan Pimpinan KPK
Berdasarkan Pasal 21 ayat 4 sebagaimana diatur dalam UU KPK sebelumnya dihapus. Isinya yakni pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum.
Peneliti ICW, Kurnia Ramdhana menyebut penghilangan status penyidik dan penuntut pada Pimpinan KPK berakibat serius. Sebab karena pimpinan KPK dapat dikatakan hanya menjalankan fungsi administratif saja.
"Tidak bisa masuk lebih jauh dalam penindakan. Jadi, ke depan pimpinan KPK tidak bisa memberikan izin penyadapan, penggeledahan, maupun tindakan pro justicia lainnya," jelasnya.
9. Pegawai KPK Akan Berstatus Sebagai Aparatur Sipil Negara
Dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 24 ayat 2 disebutkan pegawai KPK adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.
Kurnia menyebut selama ini tidak seluruh pegawai KPK termasuk dalam Aparatur Sipil Negara, sebab terdapat pegawai tetap KPK dan pegawai tidak tetap. Bila disamakan status pegawai, dia menilai akan menghilangkan status lembaga independen.
"Tentu atas kondisi seperti ini diperlukan penyesuaian kondisi yang cukup panjang. Selain itu poin pentingnya adalah dalam konsep lembaga negara independen salah satu cirinya adalah kemandirian dalam sumber daya manusia," jelasnya.
10. Hilangnya Independensi KPK Dalam Perekrutan Penyelidik
Berdasarkan pada Pasal 43 A menyatakan penyelidik KPK dapat berasal dari Kepolisian,Kejaksaan, instansi pemerintah lainnya, dan/atau internal KPK. Untuk persyaratan menjadi penyelidik diselenggarakan oleh KPK bekerjasama dengan Kepolisian dan/atau Kejaksaan.
"Dengan adanya aturan ini menghilangkan independensi KPK dalam pengelolaan sumber daya manusia," ucapnya.
11. Menghilangkan Kewenangan KPK Mengangkat Penyidik Independen
Dalam Pasal 45 A menyebutkan penyidik KPK dapat berasal dari Kepolisian, Kejaksaan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, dan penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi;
"Aturan ini menegaskan putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2016 yang telah memberikan kewenangan pada KPK untuk merekrut penyidik di luar dari institusi Kepolisian ataupun Kejaksaan," papar dia.
12. Kewenangan Penyadapan KPK Terganggu
Menurut Peneliti ICW, Kurnia Ramdhana menyatakan instrumen penyadapan merupakan salah satu alat bagi KPK untuk membongkar praktik kejahatan korupsi, utamanya pada tangkap tangan selama ini.
Data KPK menyebutkan bahwa sejauh ini KPK telah melakukan tangkap tangan sebanyak 123 kali dengan jumlah tersangka 432 orang.
"Poin pentingnya, sejak KPK berdiri hingga saat ini belum ada satupun terdakwa yang pada awalnya terjaring tangkap tangan divonis bebas oleh Pengadilan. Ini mengartikan bukti yang dihadirkan KPK ke persidangan telah teruji secara hukum. Selain itu aturan ini terlalu birokratis, karena menambah jenjang baru pemberian izin sadap, yakni Dewan Pengawas," kata Kurnia.
13. Penuntutan KPK Harus Berkoordinasi Dengan Kejaksaan Agung
Dalam Pasal 12 A, disebutkan dalam melaksanakan tugas penuntutan, penuntut KPK melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
"Jika harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan dipastikan mengganggu ritme kerja KPK yang selama ini dikenal cepat dalam penuntasan sebuah perkara," katanya.
14. Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan
Pasal 12 ayat 2 disebutkan dalam melaksanakan tugas penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang.
"Perubahan ini tentu akan berdampak buruk bagi penegakan hukum di KPK. Bagaimanapun dalam undang-undang sebelumnya dengan kewenangan KPK yang luas pada tingkat penyelidikan sampai pada penuntutan terbukti mempermudah dan memaksimalkan kerja KPK," jelasnya.
Reporter: Ika DefiantiSumber: Liputan6.com
(mdk/fik)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Revisi UU Pilkada dinilai menguntungkan individu atau kelompok tertentu sehingga dianggap merupakan bentuk korupsi kebijakan.
Baca SelengkapnyaKoalisi Masyarakat Sipil Minta DPR Setop Revisi UU Polri, Ini Alasannya
Baca SelengkapnyaSurvei Transparency International Indonesia (TII) terhadap IPK menempatkan Indonesia peringkat 115 dari 180 negara.
Baca SelengkapnyaIndeks Persepsi Korupsi di Indonesia terus merosot.
Baca SelengkapnyaDia pun menyinggung soal Singapura yang bisa maju berkat supremasi hukum.
Baca SelengkapnyaSalah satu poin penting dalam revisi UU Kementerian Negara yakni perubahan Pasal 15 yang membuat Presiden bisa menentukan jumlah kementerian sesuai kebutuhan.
Baca SelengkapnyaPadahal LHKPN tersebut dikatakan Nawawi sebagai salah satu bentuk dari pencegahan korupsi
Baca SelengkapnyaTanak menjelaskan, sasaran tersebut diejawantahkan ke dalam bentuk indikator untuk mengukur dampak pencegahan korupsi menggunakan Survei Penilaian Integritas.
Baca SelengkapnyaPekan lalu Presiden Joko Widodo telah bersurat ke DPR-RI mengenai revisi UU Perkoperasian.
Baca SelengkapnyaBaleg Klaim Revisi UU Kementerian Tak Terkait Wacana Prabowo Tambah Jumlah Menteri: Kebetulan Saja!
Baca SelengkapnyaSementara dari skor khusus negara- negara Asia Tenggara, Indonesia berada pada peringkat ke-6
Baca SelengkapnyaSetidaknya ada sembilan poin perubahan dalam revisi UU IKN.
Baca Selengkapnya