Keluarga Minta Penahanan 7 Tersangka Kerusuhan Papua di Polda Kaltim Dipindahkan
Merdeka.com - Tujuh tersangka kasus kerusuhan di Papua, yang menjalani pemindahan lokasi penahanan sementara di Rutan Polda Kalimantan Timur, berharap bisa dipulangkan ke Bumi Cenderawasih. Para tersangka ingin kembali pulang untuk bertemu keluarga.
Ketujuh tersangka itu adalah Buktar Tabuni, Agus Kossay, Fery Kombo, Alexander Gobay, Steven Itlay, Hengki Hilapok, serta Irwanus Uropmabin. Demikian disampaikan Ni Nyoman Suratminingsih, salah satu kuasa hukum para tersangka, usai membesuk ketujuh tersangka di Rutan Polda Kaltim, Rabu (13/11) kemarin.
"Besar harapan dari 7 tahanan politik Papua yang saat ini ditahan, untuk segera dipulangkan ke Jayapura, agar dapat dikunjungi oleh keluarga mereka," kata Nyoman, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (14/11).
-
Apa alasan utama pengepungan? Mereka mengklaim bahwa Imam Mahdi, sosok mesianik dalam Islam, telah muncul, dan mereka berusaha untuk 'membersihkan' Masjidil Haram dari praktik-praktik yang dianggap sebagai bid'ah (inovasi keagamaan).
-
Kenapa polisi ini disekap? 'Kejadian itu berawal dari rasa sakit hati pelaku AI terhadap istri korban. Karena telah memberitahukan tempat tinggal dan alamat bekerja tersangka terhadap orang yang mencarinya,' ujar Kasat Reskrim Polrestro Tangerang, Rabu (8/11). Kemudian, AI menceritakan hal ini kepada N dan S dan disepakati oleh para pelaku untuk melakukan tindakan percobaan pembunuhan terhadap korban.
-
Kenapa polisi mengancam keluarga buron? 'Ancaman itu sudah kami sampaikan ke keluarga agar turut membantu polisi menangkap para pelaku,' jelas Umi.
-
Mengapa kekerasan di Papua meningkat? Sekretaris Gugus Tugas Papua UGM Arie Ruhyanto mengatakan bahwa angka kekerasan di Papua meningkat di tengah gencarnya proses pembangunan oleh pemerintah.
-
Bagaimana solusi penyelesaian konflik Papua? Semua itu dilakukan melalui pendekatan pengakuan hak sipil politik, ekonomi sosial budaya, memperkuat pendidikan untuk kesadaran hak, dan memperkuat kualitas SDM anak muda dengan pendidikan adat dan pendidikan nasional.
-
Apa yang menjadi masalah akar konflik Papua? Peneliti dari Yayasan Bentala Rakyat, Laksmi Adriani Savitri mengatakan bahwa salah satu akar masalah dari konflik Papua adalah dorongan modernisasi yang dipaksakan.
Polisi sebelumnya menolak permintaan keluarga memulangkan tujuh tahanan politik Polda Papua itu. Penolakan dengan alasan sebagai langkah polisi melindungi kepentingan umum yang lebih besar setelah kerusuhan di Papua pada Agustus 2019 lalu.
"Pada prinsipnya kami menghargai langkah preventif pihak kepolisian, untuk melindungi kepentingan umum. Namun langkah tersebut tidak serta merta mengenyampingkan sisi kemanusiaan dan kondisi psikologis. Mengingat, klien kami memiliki keluarga yang ingin bertemu, dan berinteraksi dengan mereka. Namun terkendala jarak antara Jayapura dan Balikpapan, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit," ujar Nyoman.
Terkendala Membesuk
Menurut Nyoman, sewajarnya para tersangka, meminta untuk dipulangkan. Mengingat sejak awal, proses pemindahan dari Rutan Polda Papua ke Polda Kaltim pada 4 Oktober 2019, hanya didasarkan pada surat Dirreskrimum Polda Papua bernomor : B/816/X/RES.1.24/2019/Direskrimum tertanggal 4 Oktober 2019, yang dilakukan pihak kepolisian menyalahi prosedur.
"Kalau merujuk pada ketentuan Pasal 84 dan 85 KUHAP bahwa Pengadilan Negeri atau Kejaksaan Negeri, memiliki wewenang untuk mengatur pemindahan tahanan. Oleh karenanya, tindakan pihak kepolisian yang melakukan pemindahan tahanan terhadap klien kami menyalahi prosedur," sebut Nyoman.
Selain itu, lanjut Nyoman, tujuh tahanan politik Papua yang ditahan di Rutan Polda Kaltim, juga kehilangan haknya untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing. "Menurut pengakuan para tahanan, mereka tidak dapat beribadah sesuai agama mereka (Protestan dan Katholik), dikarenakan sarana ibadah yang minim dan tidak adanya rohaniawan yang disediakan oleh Polda Kaltim," ungkap Nyoman.
Lebih lanjut, ketujuh tahanan politik Papua yang ditahan di Rutan Polda Kaltim, merupakan pemimpin aktivis mahasiswa dan aktivis politik Papua, ditangkap secara sewenang-wenang oleh kepolisian pada 5-17 September 2019 pascakejadian kerusuhan di Papua, di bulan Agustus 2019.
"Terhitung lebih dari 40 hari ditahan di Balikpapan sejak ditangkap hingga hari ini pula, mereka tidak pernah berinteraksi dengan keluarganya. Tentunya secara psikologis mengganggu klien kami. Oleh karena itu, kami selaku kuasa hukum berharap pihak kepolisian, memulangkan mereka kembali ke Polda Papua untuk menjalani proses hukumnya di sana. Sehingga selama ditahan dapat sewaktu-waktu dikunjungi keluarganya," pungkas Nyoman.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Tahanan digunduli guna pemeriksaan identitas, badan atau kondisi fisik dan menjaga atau memelihara kesehatan serta mengidentifikasi penyakit.
Baca SelengkapnyaKemenPPPA sudah melakukan koordinasi dan pemantauan penanganan peserta unjuk rasa berusia anak di Polda Metro Jaya.
Baca SelengkapnyaKKB terus menebar teror. Termasuk pilot Susi Air yang disandera masih mereka tawan. Penyanderaan sudah dilakukan hampir lima bulan.
Baca SelengkapnyaDelapan warga yang ditangkap itu akan diproses hukum sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca SelengkapnyaPenetapan tersangka terhadap enam personel Polres Polman setelah dilakukan gelar perkara.
Baca SelengkapnyaSejumlah warga Rempang mengusir petugas yang hendak menawarkan relokasi.
Baca SelengkapnyaTerdapat 14 korban luka, termasuk Pj Gubernur Provinsi Papua Dr Muhammad Ridwan Rumasukun.
Baca SelengkapnyaTeror KKB membuat warga yang menghuni lima kampung di Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Tengah, mengungsi.
Baca SelengkapnyaMenurutnya, kabar pembebasan Kapten Philip tidak cuma sekali dihembuskan KKB Papua.
Baca SelengkapnyaSelain melakukan penganiayaan terhadap polisi, massa juga merusak sejumlah fasilitas publik.
Baca SelengkapnyaViral video kericuhan antara anggota Polresta Padang dengan masyarakat Air Bangis dan Pasaman Barat
Baca SelengkapnyaKapolres menyesalkan tindakan warga yang menghalangi penangkapan pelaku kejahatan bahkan menyerang dan menyandera polisi.
Baca Selengkapnya