Kisah Mak Ukar, Wanita Pengantar Makanan Para Pejuang Kemerdekaan yang Terlupakan
Merdeka.com - Negeri ini telah meraih kemerdekaan 74 tahun silam. Namun, kemerdekaan itu tidak serta merta didapatkan begitu saja. Perjuangan dan pengorbanan berupa nyawa, darah, keringat dan air mata telah dicurahkan demi meraih kemerdekaan yang hakiki.
Banyak orang menilai para pahlawan adalah mereka yang berjuang mengangkat senjata melawan penjajah. Padahal banyak pejuang yang berjuang di 'balik layar', dengan membawa makanan dan surat untuk diberikan kepada pejuang yang sembunyi di hutan dan di area persawahan.
Kisah Ukarnah (84), warga Cicinde Utara, Kecamatan Banyusari, Karawang, yang akrab disapa Mak Ukar, walaupun usianya sudah renta namun masih mengingat kenangan saat bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda dan Jepang.
-
Siapa taruna Akpol pembawa bunga? Ternyata, dua Taruna tersebut ialah Khalifah Nasif sekaligus Fabiola Umaida.
-
Kenapa pria paruh baya itu jualan pulpen? Saat ditanya, ia mengungkapkan jika dirinya akan terus berjualan pulpen ketimbang dirinya harus minta-minta alias menjadi pengemis di pinggir jalan.
-
Siapa yang menunjukkan semangat aktif di usia tua? Seseorang yang telah lanjut usia justru cenderung ingin lebih aktif, seolah-olah ingin mengingat kembali masa-masa muda mereka.
-
Bagaimana arti mawar ungu tua? Mawar ungu tua: royal, kesetiaan.
-
Kenapa kakek-kakek ini tetap aktif di usia tua? Semangat kakek-kakek ini menunjukkan bahwa mereka hidup sepenuhnya. Mereka terlibat dalam berbagai kegiatan, mulai dari olahraga ekstrem hingga mengejar hobi yang unik.
-
Apa yang dijual oleh pria paruh baya tersebut? Dalam video itu tampak seorang pria paruh baya yang sedang menjajakan barang dagangannya yakni sebuah pulpen.
Mak Ukar diusia yang sudah sepuh tidak berdiam diri, masih mampu berjalan jauh, sehari-hari membuat bunga kertas dari sisa-sisa kertas yang dibuang lalu dirangkai menjadi bunga dan dijual untuk sekedar uang saku dari pemerian pemesan.
Dia mengaku masih mengingat bahasa Belanda sepotong-sepotong. Pendengarannya masih normal saat dijumpai di rumahnya dengan didampingi sang putra. Dia menuturkan saat berjuang di balik layar kemerdekaan ini.
Cerita anak ketua kampung di Kampung Cisital, Desa Cimayasari, Kecamatan Cipendey, Subang, saat masih bersuai 5 tahun, sudah ikut berjuang di balik layar dengan mengirim makanan untuk para pejuang yang sembunyi di area pesawahan dan sembunyi di balik hutan Lingga.
"Waktu masih dijajah Belanda usia masih 5 tahun, sering membawa makanan untuk pejuang yang sembunyi, kadangkala surat dari TNI untuk disampaikan kepada pejuang," kata Mak Ukar, ditemui di tempat tinggal, Sabtu (10/8).
Dia menceritakan setiap ketemu Belanda sering disebut Noni dan memberikan sepotong roti yang disimpan dalam bakul ditutup dedauanan. Makanan pesanan untuk diberikan kepada pejuang oleh bapaknya, Mak Ukar berusaha jalan jauh supaya makanan itu sampai kepada pejuang yang sedang sembunyi bersama dua teman gadisnya Sarneci dan Sarkonah.
"Setiap jalan mengantarkan makanan kepada pejuang selalu bertiga, namun dua temannya sudah menghadap ke Hyang Tunggal," katanya.
Wanita renta berumur 84 tahun ini masih ingat betul dalam kerutan di dahinya bagaimana menyembunyikan rasa takut saat ketemu Belanda dan Jepang ketika membawa pesan tersebut. Baik makanan maupun menyampaikan surat dari TNI kepada pejuang yang berada di balik hutan.
"Darah daging sebagai bangsa Indonesia, tidak ada rasa takut saat ikut berjuang membawa pesan maupun makanan," tegasnya.
Bagi Mak Ukar, saat masih menginjak usia mudanya, membawa makanan ataupun pesan bagi para pejuang yang bersembunyi dari incaran para penjajah tak mudah. Tetapi dengan tekad yang kuat sebagai anak Ketua Kampung makanan dan pesan sampai kepada pejuang.
Mak Ukar, merupakan satu dari sekian banyak pejuang yang merasakan pahitnya masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang, dalam merebut kemerdekaan. Namun sayangnya, perjuangan seperti dianggap sebelah mata oleh pemerintah daerah setempat. Bahkan dia tidak terdaftar sebagai veteran. Alasannya karena keluarga dinilai cukup mampu, bukan masuk dalam daftar merah atau keluarga kurang mampu bapaknya Uju Juhari hanya sebagai ketua kampung.
"Emak dulu kalau bawa makanan itu harus disembunyikan di dalam kayu bakar, atau daun pisang, itu bolak balik mencari pejuang untuk memberikan makan. Saat balik, kayu bakar itu harus dibawa lagi, biar tidak ketahuan tentara penjajah," ujarnya.
Suka dan duka terus dialami Mak Ukar semasanya, untuk memberikan makan kepada para pejuang. Sukanya, di mana mampu membantu para pejuang untuk memberikan tenaga melalui makanan. Sedangkan dukanya jika ketahuan para penjajah, tentu ancaman berat bakal diterima.
"Kalau zaman Jepang itu masih mending, tapi kalau zaman Belanda lebih keras, karena di bawah jajahan Belanda yang mengalami langsung," tuturnya.
Dia juga menceritakan pada zaman Jepang, ikut bersama uwak di Bandung dan dengan identitas baru sebagai anak uwak akhirnya bisa mengenyam pendidikan di sekolah rakyat hingga lulus.
"Zaman Jepang sudah masuk sekolah rakyat di Bandung, ikut kakaknya bapak," tutur Ibu dari lima anak.
Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Mak Ukarnah, tak ada penghargaan yang diterimanya.
Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seakan dilupakan. Mak Ukarnah hilang di tengah gegap gempita kemerdekaan. Namun sayang, perjuangan berat Mak Ukarnah ini tidak mendapatkan penghargaan apapun, seperti pejuang-pejuang lain yang mendapatkan penghargaan sebagai veteran.
"Dulu memang ada pendataan, tapi memang tidak ada yang mengurus, dan harus mengeluarkan biaya akhirnya tidak jadi mendaftar" kata Mak Ukar.
(mdk/gil)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Sejak istrinya meninggal, Abah Ucup merawat sang ibu yang sudah berusia 103 tahun seorang diri.
Baca SelengkapnyaSeorang wanita paruh baya pilih berjualan di tengah hutan dan gunung selama 24 jam sehari untuk penuhi kebutuhan keluarganya.
Baca SelengkapnyaKisah pilu nenek berusia 66 tahun hidupi dua cucu seorang diri.
Baca SelengkapnyaMeski kondisi tubuhnya sudah tak sekuat saat muda, nenek 69 tahun ini sangat antusias menuju Tanah Suci.
Baca SelengkapnyaPerjuangan pak Ahmad yang rela banting tulang jualan agar-agar demi keluarganya.
Baca SelengkapnyaKakek ini diketahui berjualan di sekitar GBLA, Bandung.
Baca SelengkapnyaKakek ini menghampiri calon pembelinya satu per satu. Namun, tak ada yang membeli.
Baca SelengkapnyaSetelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia masih harus berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan. Itu disebut dengan Revolusi Fisik.
Baca SelengkapnyaDi usia yang sudah sangat renta dengan segala keterbatasan fisiknya, ia harus tetap mengais rezeki.
Baca SelengkapnyaKisah ibu Ita, 20 tahun jualan bubur sumsum keliling hingga bisa kuliahkan anaknya.
Baca SelengkapnyaBegini cerita janda cantik sopir truk wanita yang rela banting tulang kerja di tambang demi nafkahi anaknya.
Baca SelengkapnyaSebuah video memperlihatkan seorang perempuan yang memutuskan untuk resign dari kantor dan merintis usaha dari nol di kampung halaman.
Baca Selengkapnya