'Pembunuhan' tradisi bakar kemenyan jadi pintu masuk perusakan hutan
Merdeka.com - Sebelum era 90-an, di Kota Bandung, Jawa Barat, masih banyak warga yang membuat sesaji dan membakar kemenyan. Ritual ini biasa dilakukan setiap malam Selasa dan malam Jumat. Kini, bisa dibilang hampir tidak ada lagi ritual yang sarat kearifan lokal tersebut.
Menurut Abah Nzoem, pimpinan Lingkung Seni Reak Tibelat, Bandung, tradisi sesaji dan membakar kemenyan dalam istilah Sunda disebut parupuyan yang terdiri dari berbagai macam sesajen, kembang setaman, dupa untuk membakar kemenyan, cerutu dan lain-lain.
"Tradisi bakar kemenyan dan sesaji mengandung pesan nenek moyang agar selalu berhubungan dengan Pencipta, alam dan manusia," terang Abah Nzoem, kepada Merdeka Bandung, Rabu (18/11) .
-
Kapan tradisi bakar gunung api dilakukan? Pelaksanaan tradisi bakar gunung api ini berlangsung pada malam takbiran.
-
Kapan kejadian pengeroyokan terjadi? Kejadian tersebut terjadi pada Sabtu (2/12) malam sekitar pukul 22.00 WIB.
-
Kapan tradisi merebus daging di Indonesia dimulai? Namun, dilansir dari kemendikbud.go.id, sejarah mencatat dalam prasasti, relief Candi Borobudur dan Candi Prambanan, serta dalam kakawin Jawa ‘Gadan Hadanan Prana Wdus’, yang berarti disediakan sayuran kerbau dan kambing.
-
Kapan tradisi ini dimulai? Tradisi undangan berhadiah kopi saset hingga bumbu masak telah lama digunakan masyarakat Majalengka sebelum melangsungkan hajatan.
-
Kenapa tradisi Ngobeng di Palembang dilakukan? Tradisi ini sangat tinggi maknanya karena bagian dari adab dalam melayani tamu ketika ada acara sedekahan atau kendurian dan pernikahan yang dilakukan secara lesehan kemudian membagi makanan.
-
Kapan perampokan terjadi? Toko jam mewah di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 Tangerang disatroni perampok pada Sabtu (8/6).
Ia mencontohkan bagaimana hubungan manusia dengan alam lewat praktik sesaji. Para karuhun alias nenek moyang sudah mewanti-wanti dengan sejumlah mitos. Di antaranya, alam atau hutan didiami makhluk halus. Karena itu, hutan harus diberi sesaji agar makhluk halus penunggu hutan tidak mengganggu manusia.
"Maka di kita dikenal istilah hutan anker atau hutan larangan. Berpegang pada mitos itu orang tidak ada yang berani mengganggu keanekaragaman hayati dan satwa yang ada di dalam hutan," katanya.
Namun sayangnya, sambung dia, seiring dengan perkembangan zaman kini nilai-nilai leluhur pun makin ditinggalkan. Bahkan, tradisi sesaji atau parupuyan sengaja dibunuh seiring masuknya budaya luar yang mengklaim modern atau religius.
"Pembunuhan terhadap parupuyan setidaknya terjadi sejak 90-an. Awalnya pembunuhan terhadap praktik sesaji, berikutnya merembet pada perambahan hutan atau perusakan bumi. Orang tidak takut lagi masuk hutan larangan atau hutan anker," katanya.
Sebagai pengembang seni tradisi, Nzoem dan kelompok keseniannya berusaha kembali menggali makna nilai tradisi. Menurut dia, nilai-nilai tersebut sebenarnya menjadi benang merah dengan dunia modern.
Jika nilai-nilai tersebut putus, kata dia, maka masyarakatnya hanya menggantung terombang-ambing di era zaman digital ini, namun tidak memiliki akar yang kuat.
"Sesepuh kita dulu sudah menerapkan sejumlah larangan. Misalnya adanya hutan larangan yang tidak boleh sembarangan dimasuki orang. Karena sesepuh dahulu sudah tahu masuknya manusia ke hutan akan merusak," katanya, mengacu kepada kebakaran-kebakaran hutan yang baru-baru ini melanda berbagai hutan di Indonesia.
Itu sebabnya sesepuh dahulu, dia melanjutkan, menanamkan kearifan lokal lewat kesenian atau kebudayaan yang esensinya senapas dengan agama. Maka begitu budaya luar masuk, termasuk agama, nilai-nilai tradisi tersebut tinggal disambungkan. "Sebelum ada agama, sesepuh kita menciptakan budaya yang membimbing kita. Nah begitu datang agama, kearifan lokal tinggal disambungkan, bukan malah dihancurkan," ujarnya.
Ia khawatir, makin dilupakannya nilai-nilai tradisi membuat perkembangan masyarakat di suatu kota makin beringas atau vandal. Ia mengkritik konsep tata ruang yang dilakukan Pemkot Bandung, di antaranya revitalisasi taman-taman kota yang kebanyakan menutup tanah dengan tembok.
"Padahal tanah kita ini sudah teramat penuh dengan tembok. Tanah harus dihormati, tanah harus bernapas. Tidak akan ada hutan kalau tidak ada tanah," ujarnya menandaskan.
(mdk/mtf)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Selain karena faktor alam berupa gesekan ranting saat musim kemarau, juga kerap disebabkan aktifitas perburuan liar.
Baca SelengkapnyaKondisi sebagian lahan di Sumsel mulai mengalami kekeringan. Hal ini sangat rawan terbakar saat kondisi panas yang diakibatkan musim kemarau.
Baca SelengkapnyaKebakaran di kawasan Gunung Arjuno berlangsung sejak Sabtu (26/8). Ini potret terbarunya.
Baca SelengkapnyaPara pelaku terlibat dalam 16 kasus kebakaran hutan dan lahan pada Januari-Agustus 2023.
Baca SelengkapnyaPotret terbaru kawasan Gunung Semeru usai kebakaran
Baca SelengkapnyaPenutupan akses wisata merupakan upaya mitigasi resiko kebakaran hutan.
Baca SelengkapnyaCuaca ekstrem wajib diwaspadai. Petani penggarap lahan tengah membakar rumput untuk membersijkan lahan garapan, ujungnya dua hektare lahan dilahap api.
Baca SelengkapnyaSebanyak 229,54 hektare hutan dan lahan di Jambi terbakar dalam delapan bulan terakhir. Kebakaran itu paling banyak dipicu ulah masyarakat.
Baca SelengkapnyaPada 2023 lalu, lokasi yang sama pernah terbakar akibat suar yang dinyalakan pengunjung saat foto prewedding.
Baca SelengkapnyaBerdasarkan video yang diterima, api tampak memerah seperti lava pijar yang mengalir dari puncak Gunung Telomoyo.
Baca SelengkapnyaSelain identik dengan kuliner Gayamnya, ternyata Gegesik juga dikenal sebagai pelestari budaya lokal, salah satunya berburu tikus.
Baca SelengkapnyaSulitnya medan untuk menuju ke titik api menjadi kendala petugas gabungan TNI Polri BPBD dan Balai Besar TNBTS yang melakukan pemadaman api.
Baca Selengkapnya