Perjuangan Tan Malaka bela kuli dari kesewenangan meneer Belanda
Merdeka.com - Tan Malaka pulang ke Indonesia pada 1919, setelah kurang lebih enam tahun sekolah guru di Belanda. Saat itu, Tan Malaka ditawari bekerja sebagai tenaga pendidik anak-anak kuli di perkebunan yang berada di Senembah, Deli, Sumatera Utara.
Tawaran yang langsung diberikan oleh Direktur Perusahaan Senembah, Dr Jansen, itu tak disia-siakan oleh Tan Malaka . Selain membutuhkan uang untuk membayar utang kepada para engku di kampung halaman dan kepada bekas gurunya, Horensma, Tan Malaka juga ingin mengetahui langsung dan merasakan penderitaan para kuli bangsanya itu.
Tan merasa ketimpangan yang luar biasa terjadi di perkebunan itu. Kelas-kelas dibagi dari tingkat pejabat tinggi hingga kuli kontrak. Para tuan besar Belanda digaji dengan jumlah besar ditambah bonus besar tahunan.
-
Apa makna tambahan dari kata 'kelas kakap'? Ternyata dia adalah maling kelas kakap yang sudah insyaf (kelas kakap: hebat/berkuasa)
-
Bagaimana konflik vertikal di masyarakat bisa terjadi? Konflik vertikal di masyarakat mencerminkan dinamika kekuasaan dan ketidaksetaraan yang melekat dalam struktur sosial.
-
Dimana struktur sosial berlaku? Struktur sosial mencakup semua hubungan sosial antarindividu pada saat tertentu.
-
Kapan konflik antar kelas terjadi? Konflik antar kelas terjadi saat individu maupun kelompok berada pada tingkatan kelas masyarakat secara vertikal yang berbeda. Misalnya seperti antara buruh pabrik dengan pendiri pabrik yang menuntut kenaikan upah dan sebaliknya.
-
Kenapa diskriminasi sosial terjadi? Dari segi psikologi, seseorang yang melakukan sikap diskriminasi, mungkin dipengaruhi oleh faktor sejarah atau masa lalu. Bisa jadi, orang yang melakukan diskriminasi, pernah mendapatkan perlakuan yang berbeda dan tidak adil oleh orang lain.
-
Kenapa kesenjangan terjadi di masyarakat? Kesenjangan dalam masyarakat bisa terjadi akibat berbagai faktor, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan kesehatan.
Padahal, mereka belum tentu mereka mengerti pekerjaannya dan belum tentu berilmu. Kebanyakan pekerjaan mereka hanya jalan-jalan atau bahasa sekarangnya blusukan tanpa hasil.
"Mereka bisa lekas kaya karena gaji besar dan mendapat bagian tetap dari keuntungan apabila sudah bekerja sementara tahun saja. Kalau saya tak salah, di luar gaji puluhan ribu setahun itu, tuan kebun mendapat bagian untung f 200.000," kata Tan Malaka dalam biografinya 'Dari Penjara ke Penjara Jilid I".
Hal itu berbeda jauh dengan nasib para kuli pribumi. Mereka digaji dengan nilai yang tak masuk akal. Padahal, mereka bekerja dari dini hari sampai malam hari atau sekitar 12 jam. Menurut kontrak, mereka digaji hanya f 0,40 sehari.
Belum lagi siksaan dan cacian dari para tuan besar yang diterima mereka. Hal itu semakin membuat Tan Malaka miris atas kondisi saudara sebangsanya.
"Makanan biasanya tidak cukup buat kerja mencangkul di tempat panas 8 sampai 12 jam sehari. Pakaian pun lekas rombeng-rombeng lantaran sering kerja di hutan," kata Tan Malaka .
Kesulitan ekonomi itu mengakibatkan para kuli kontrak mencoba peruntungannya dengan berjudi. Namun, judi nyatanya bukan sebuah solusi. Mereka kalah dan semakin sulit keuangan.
Tanpa disadari mereka telah masuk perangkap yang sengaja dibuat kapitalis Belanda. Pihak perusahaan lantas memberi pinjaman kepada mereka. Karena terikat utang, para kuli itu mau tidak mau kembali meneken kontrak kerja dengan pihak perusahaan meski digaji amat kecil.
"Pertentangan tajam antara bangsa kulit putih, goblok, sombong, ceroboh, penjajah, dengan bangsa berwarna yang berpengalaman membanting tulang tetapi tertipu, terhisap, tertindas, dengan perantaraan dua-tiga bangsa Indonesia sendiri sebagai buruh pandai, skilled labour, inilah yang mengeruhkan suasana Deli dan terus menerus menimbulkan penyerangan kuli terhadap Belanda-kebun," kata Tan Malaka .
Selama Tan Malaka bekerja di perkebunan itu, tiap tahunnya orang Belanda yang tewas atau luka diserang para kuli berjumlah antara 100 hingga 200 orang.
Sesungguhnya, pandangan miring dari para tuang besar tak hanya kepada kuli kontrak. Tan Malaka yang saat itu merupakan lulusan Belanda pun dipandang miring oleh mereka. Hal itu hanya karena Tan Malaka adalah pribumi yang di mata mereka adalah rendahan. Namun, kebaikan dan dukungan dari Dr Jansen membuat Tan Malaka bisa bertahan.
Singkat cerita, Tan Malaka kemudian dituduh para tuan besar terlibat dalam pemogokan buruh Deli Spoor. Saat itu, Tan Malaka memang dikenal dekat dengan para kuli. Tan kerap menggelar rapat dengan para kuli di rumahnya untuk membicarakan pendidikan yang tepat bagi anak-anak mereka.
Selain itu, Tan juga kerap menulis di sejumlah koran, dan memiliki hubungan dengan para pemimpin pemogokan. Namun Tan membantah tuduhan itu. Tan mengaku tak pernah menulis di surat kabar dengan nama samaran Ponco Drio seperti yang dituduhkan.
Sementara soal kedekatannya dengan para kuli, Tan menyatakan kewajibannya untuk mengangkat harkat martabat rakyat bangsanya. Namun tak selesai di situ, persoalan itu sampai-sampai membuat Dr Jansen langsung menemui Tan dan menanyakan kebenarannya.
Tapi Tan berhasil menjawab apa adanya dan Dr Jansen pun yakin Tan tak bersalah. Tan akhirnya diajak Dr Jansen untuk menghadiri rapat dengan para tuan besar Belanda. Di situ Tan ditanyai soal sekolah tempatnya bekerja.
Pertanyaan itu dijawab dengan diplomatis oleh Tan. Jawaban Tan itu hingga kini bahkan masih terkenal dan kerap menjadi slogan tujuan pendidikan.
"Bahwa maksud pendidikan anak kuli terutama adalah mempertajam kecerdasan, dan memperkokoh kemauan, memperhalus perasaan, seperti dimaksudkan dengan anaknya bangsa apapun dan golongan apapun juga..." Kata Tan.
Tan berpendapat kuli dan anaknya harus mendapat pendidikan yang baik. Hal itu nantinya akan membawa efek positif kepada perusahaan. Namun, para tuan besar tetap berpandangan tak ada gunanya para kuli dan anaknya diberi pendidikan, hanya buang-buang uang saja.
Tan juga mengetahui, para petinggi perusahaan itu di belakang kerap menjelek-jelekkan Dr Jansen karena dinilai terlalu idealis dengan mendirikan sekolah untuk anak kuli itu.
Tan Malaka akhirnya mengundurkan diri dari perusahaan itu. Tan sadar Dr Jansen akan segera pulang ke Belanda. Takkan ada lagi orang yang membelanya dari tindakan semena-mena para tuan besar.
Tapi hal itu bukan menjadi alasan utama sang Patjar Merah mundur. Tan merasa tujuannya sudah tercapai meski hanya sedikit. Tan sudah mengetahui kondisi nyata para kuli dan Tan juga sudah memperoleh uang untuk membayar utang-utangnya.
Di tempat itu jiwa revolusioner Tan Malaka semakin menjadi. Ia semakin mantap untuk berjuang melawan penindasan dan ketidakadilan kaum imperialis. Tan Malaka lantas meninggalkan Deli dan menuju ke Jawa.
(mdk/ren)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Mereka yang tak punya tanah dipaksa bekerja di kebun milik pemerintah
Baca SelengkapnyaKorupsi ternyata sudah ada di negeri ini sejak zaman dulu kala.
Baca SelengkapnyaPerkebunan Tembakau Deli di Sumatera Utara mendatangkan keuntungan bagi pengusaha Belanda di era kolonial. Tapi bagi buruh, Deli mengisahkan kesengsaraan.
Baca SelengkapnyaPeristiwa Tanjung Morawa menjadi salah satu tragedi paling berdarah di Indonesia dan runtuhnya Kabinet Wilopo pada saat itu.
Baca SelengkapnyaTan Malaka adalah seorang tokoh sejarah yang memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Baca SelengkapnyaSosok pahlawan dari Tanah Batak yang begitu berjasa melawan kolonialisme Belanda yang sudah mulai dilupakan.
Baca SelengkapnyaPerlawanan yang dilakukan kaum PKI terhadap pemerintah Hindia Belanda ini pecah di Minangkabau atau tepatnya di daerah Silungkang dekat tambang Sawahlunto.
Baca SelengkapnyaKebun teh ini telah berganti kepemilikan berkali-kali seiring zaman.
Baca SelengkapnyaSejak tingginya aktivitas imigrasi orang-orang Jawa ke Sumatera, mereka menetap dan membentuk sebuah komunitas.
Baca SelengkapnyaDi masa Kesultanan Banten, alat pembuatan pemanis makanan masih memakai batu.
Baca SelengkapnyaWarga Lamongan tampilkan kekejazam kerja rodi zaman penjajahan Belanda. Bikin nangis.
Baca SelengkapnyaMasa kolonialisme tak lepas dari praktik perbudakan terhadap kaum pribumi bahkan warga asing yang menetap di Nusantara.
Baca Selengkapnya