Ratusan warga Tionghoa miskin di Aceh gembira dapat angpao
Merdeka.com - Saat menginjakkan kaki di sekitar Peunayong, Banda Aceh. Ada nuansa lain di banding sudut kota Banda Aceh lainnya. Deretan pertokoan yang ada di Peunayong kesannya seperti bukan di Aceh. Akan tetapi, seperti di negeri tirai bambu, Cina.
Pertokoan yang mayoritas dihuni oleh keturunan Tionghoa, banyak hiasan khas cina berwarna merah terpampang di depan. Sehingga tersirat dalam alam bawah sadar kita bahwa di sini adalah tempatnya bermukim etnis tionghoa.
Ternyata benar adanya, bangunan yang berarsitektur nuansa Cina sebenarnya sudah berada sejak abad 19. Ini menunjukkan bahwa Peunayong yang dihuni oleh Cina sudah lama ada. Kota ini terletak sekitar 5 Km dengan Masjid Raya Baiturrahman, kini menjadi pusat perbelanjaan rempah-rempah dan bahan pokok. Penjual pun mayoritas etnis tionghoa di kawasan itu.
-
Apa ikon wisata di Aceh Tengah? Danau dengan panjang 17 kilometer dengan lebar 3,219 kilometer ini sudah menjadi ikon destinasi wisata Aceh Tengah.
-
Apa ciri khas pantun bahasa Aceh? Pantun Aceh juga dikenal dengan bahasanya yang khas, menggunakan bahasa Aceh dengan ciri khasnya yang unik.
-
Mengapa tradisi Peutron Aneuk penting bagi masyarakat Aceh? Wujud pelaksanaan Peutron Aneuk ini tak hanya sekedar tradisi turun-temurun saja. Tetapi, tradisi ini memiliki makna dan arti yang begitu mendalam khususnya bagi tumbuh kembang anak di masa depan.
-
Apa yang ditawarkan di Kecamatan Peundeuy? Siapa yang suka pemandangan hijau yang menyegarkan? Mungkin Kecamatan Peundeuy di Kabupaten Garut, Jawa Barat, bisa jadi tempat yang tak boleh terlewat.
-
Apa yang unik dari tempat-tempat ini? Itu karena di negara ini, matahari tak terbenam bahkan selama 70 hari berturut-turut.
-
Bagaimana bentuk Rencong Aceh? Secara fisik, bentuknya merupakan wujud dari tulisan “Bismillah“. Gagangnya yang melekuk itu wujud dari aksara Arab “ba“, kemudian gagang bagian genggaman berbentuk aksara Arab “sin“. Lalu bentuk lancip yang menurun ke bawah pada pangkal besi dekat gagangnya merupakan perwujudan aksara Arab “mim“. Jalur besi dari pangkal gagang hingga dekat ujungnya merupakan perwujudan dari aksara Arab “lam“ serta ujung yang runcing sebelah atas mendatar dan bahagian bawah yang sedikit melekuk ke atas merupakan perwujudan aksara Arab “ha“
Salah seorang warga tionghoa, Hendry mengaku, dia bersama etnis China lainnya sudah menetap di Aceh sejak dia lahir. Kehidupan mereka pun terbuka dengan masyarakat pribumi. Bahkan mereka saling berkunjung untuk membangun silaturrahmi.
"Mayoritas kita pedagang, kita sangat terbuka dengan pribumi, kita saling bersilaturrahmi," ujar Hendri, Jumat (31/1) di Banda Aceh.
Ternyata tidak semua etnis tionghoa memiliki pendapatan yang cukup. Di Banda Aceh juga terdapat warga Cina yang miskin. Setiap harinya ada diantara mereka yang menjadi buruh kasar, seperti menarik becak, kuli bangunan, berdagang di kaki lima dan sejumlah pekerjaan lainnya.
Kendati demikian, mereka tetap mendapat perhatian dari warga Cina lainnya yang hidup lebih mapan. Sebut saja Yayasan Hakka Aceh. Sehari sebelum perayaan Imlek. Yayasan tersebut membagi-bagikan angpao untuk warga Cina yang miskin.
Sedikitnya ada 120 orang warga Cina miskin mendapatkan rezeki ampau. Setiap angpao yang diberikan berjumlah Rp 200 ribu. Terlihat warga miskin Cina itu antusias menerima ampau tersebut.
"Ini sekedar untuk membantu mereka yang kekurangan, cukuplah untuk sedikit meringankan beban mereka," imbuh Sekretaris Yayasan Hakka Aceh, Sheilisa. Dia juga ikut terjun langsung membagi-bagikan angpao di kantor Hakka.
Menurut literatur yang ada. Masuknya warga China ke Banda Aceh sejak abad 17 lalu. Aceh dan China memiliki hubungan yang baik. Mereka datang ke Aceh pada awalnya sebagai pedagang musiman. Kemudian mereka menetap dan menjadi pedagang permanen.
Etnis Cina yang datang ke Aceh mulanya menetap di Pelabuhan yang tidak jauh dari Peunayong. Lalu mereka memilih untuk menetap berdagang secara permanen di Peunayong.
Vihara Dharma Bhakti yang terletak di jalan T Panglima Polem menjadi saksi keberadaan etnis Cina di Aceh. Vihara tersebut dibangun pada tahun 1937. Mulanya Vihara itu terletak di pinggir pantai Ulee Lheue. Akibat erosi, Vihara itu lalu dipindahkan ke tempat sekarang bersamaan dengan kota Banda Aceh yang dulunya juga berada di Ulee Lheue.
"Benar, dulu di Ulee Lheue, karena erosi, dipindahkan sekitar tahun 70-an gitu, termasuk kota Banda Aceh ikut dipindahkan," ungkap Ketua Vihara Dharma Bhakti, Herman. (mdk/ian)
Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Pengungsi Rohingya tersebut sebelumnya ditolak ditampung sementara di sejumlah tempat.
Baca SelengkapnyaAksi sekelompok orang buka warung makan hanya bayar seribu ini bisa makan sepuasnya. Tuai pujian warganet.
Baca SelengkapnyaDiketahui jumlah imigran Rohingya yang tiba di Aceh, telah melebihi 800 orang.
Baca SelengkapnyaTradisi ini unik, karena uang sumbangan jenguk bisa untuk membeli kendaraan
Baca SelengkapnyaPolisi menjelaskan aksi warga itu karena masyarakat menolak desa mereka ditempatkan etnis Rohingya.
Baca SelengkapnyaWalaupun berukuran hanya selebar badan, kondisi gang padat penduduk di Kota Bandung ini amat bersih dan rapi
Baca SelengkapnyaPengungsi Rohingya terdiri dari 15 anak laki-laki, 20 anak perempuan, 35 laki-laki dewasa, dan 65 perempuan dewasa
Baca SelengkapnyaWarga menilai pengungsi Rohingya memanfaatkan kebaikan orang Aceh.
Baca SelengkapnyaHalaman Masjid Raya Baiturrahman menjadi hangat dengan macam kegiatan umat Islam yang menunggu buka puasa.
Baca SelengkapnyaSaat dilihat lebih dalam, kondisinya di luar dugaan.
Baca SelengkapnyaKelompok etnis ini merupakan perantau yang sudah berlangsung sejak abad ke-16 hingga akhirnya menetap dan terjadi akulturasi dengan suku asli Aceh.
Baca SelengkapnyaMereka mendesak UNHCR dan IOM untuk segera memindahkan pengungsi Rohingya dari Aceh.
Baca Selengkapnya