Virus Radikalisme di antara Wahabi dan Milenial
Merdeka.com - L dikenal sosok pendiam. Di rumahnya, ia tinggal bersama ibu dan adik perempuannya. Sang ayah sudah tiada sejak L usia lima tahun. L merupakan pelaku bom bunuh diri di depan Gereja Katedral, Makassar pada Minggu (28/3) pagi. Dia bersama sang istri, YSR mengendarai sepeda motor dan meledakkan diri di depan gerbang gereja.
L dan YSR baru menikah 6 bulan. Tinggal di rumah kontrakan di Jalan Tinumbu I Lorong 132, RW 1, Kelurahan Bungaejaya, Kecamatan Bontoala. Tetangga L tidak menyangka jika warganya yang dikenal penyabar itu menjadi pelaku pengeboman Gereja Katredal.
Ketua RW setempat, Hakim, mengungkapkan L mulai menjadi pribadi yang tertutup sejak berhenti kuliah. Dia tidak lagi pernah berkumpul dengan warga sekitar. L juga jadi sering pulang malam, entah apa kegiatan yang ia lakukan. Tetangga sekitar L mengaku tak tahu menahu alasan L berhenti kuliah dan suka pulang malam.
-
Apa yang jadi kontroversi di rumah tangga mereka? Namun, keharmonisan rumah tangga mereka saat ini menjadi kontroversi karena ada laporan bahwa Gunawan sedang berhubungan dengan seorang wanita selain istri.
-
Siapa yang menikah baru-baru ini? Baru-baru ini, Tantowi Yahya menunjukkan dukungan hangatnya saat Helmy Yahya menikahkan salah satu putrinya.
-
Siapa yang baru menikah? Nadya Mustika resmi menikah pada Jumat (24/11) dengan Iqbal Rosadi, yang juga adik dari suami Larissa Chou.
-
Siapa yang menikah? Dengan mengunggah keterangan tersebut, Al Ghazali memberikan ucapan selamat kepada Thariq & Aaliyah yang telah sah menikah.
"Dia kuliah dekat sini, saya lupa kampus apa. Tapi tiba-tiba dia berhenti. Saya kasihan sama ibunya, karena tidak mau dilarang. Dia berubah, jadi sering pulang malam, sudah tidak mau bergaul sama warga sini. Dulu memang pendiam, tapi masih mau kumpul," kata Hakim dikutip dari Tribun News Makassar, Rabu (31/3).
Warga juga mengatakan, L tidak mau makan daging ayam ataupun sapi jika kedua hewan itu bukan dirinya sendiri yang menyembelih. Perubahan lainnya yang diketahui warga yakni terkait sikap L kepada ibunya. Warga mengungkapkan, jika watak L menjadi lebih keras dan sering menegur ibunya jika melakukan ritual adat, misalnya barazanji. Padahal L dikenal sebagai anak yang penyabar sejak kecil.
"Dia selalu tegur orangtuanya kalau barazanji, katanya bid'ah, tidak boleh. Bahkan L ini tidak mau makan ayam atau sapi kalau bukan dia sendiri yang potong," tuturnya.
Warga mengaku semakin kasihan dengan ibunya yang ini hanya tinggal berdua dengan adik perempuannya. Pasalnya, Ibu L sudah ditinggal suaminya sejak 21 tahun lalu, kini ibunda hanya mendapatkan pemasukan dari usahanya membuka warung kecil. "L penyabar sekali dari kecil, sudah yatim dari umur 5 tahun. Kasihan ibunya, jualan di warung. Cuma dibantu sama adik perempuan L," ujarnya.
Sosok Disenangi Warga
Warga setempat bahkan juga tidak tahu jika L sudah menikah dengan YSR. Karena kata dia, L dan istrinya tidak mendaftarkan pernikahannya di Kementerian Agama. Sebelum menikah, L tinggal bertiga dengan ibu dan adik perempuannya. Meskipun L dan istrinya terduga teroris, namun warga setempat mengaku tidak membenci sikap dan perilaku L, karena memang ia dikenal sebagai pribadi yang baik. Sehingga jika jenazah L dimakamkan di pemakaman yang ada di Kelurahan Bontoala, warga mengaku tidak keberatan.
"Tiba-tiba menikah, tidak tahu orang mana itu (istrinya), kami tidak tahu karena tidak menikah lewat pemerintah, kalau L mau dikuburkan di pemakaman sekitar, warga di sini tidak ada yang keberatan," katanya.
Jenazah L dimakamkan di samping makam ayahnya di pemakaman keluarga di Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Maros Baru, pada hari Senin sore (29/3). L lahir di Kecamatan Maros dan baru pindah ke Kecamatan Bontoala sejak ayahnya meninggal dunia pada tahun 2000.
Dinikahkan Teroris JAD
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo mengungkap, L dan istrinya telah menikah pada Oktober 2020. Usia pernikahannya masih 1 semester. Keduanya dinikahkan oleh Risaldi, tersangka teroris yang tewas saat hendak ditangkap di Villa Mutiara, Januari lalu.
"Keduanya enam bulan lalu dinikahkan oleh Risaldi yang sudah ditangkap pada Januari yang juga kelompok JAD. Pernah terlibat operasi di Jolo Filipina," kata Listyo Sigit saat konferensi pers di Mapolda Sulsel, Senin, 30 Maret kemarin.
Seperti yang diketahui, L dan istrinya merupakan jemaah pengajian Villa Mutiara yang tergabung dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD). JAD terafiliasi dengan ISIS.
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari warga sekitar, YSR sudah bergabung dengan komunitas pengajian tersebut dari kecil. YSF, wanita berusia 26 tahun itu merupakan seorang karyawan swasta.
Dia memiliki usaha sampingan yaitu berjualan makanan secara online kepada warga. Dalam menjalankan bisnisnya itu, YSF dibantu suaminya, L untuk mengantarkan makanan kepada para pelanggan setianya menggunakan sepeda motor.
Pajak sepeda motor matic bernomor polisi DD 5984 MD itu diketahui telah habis masa berlakunya pada 20 Oktober 2020. Di mana pada bulan itu keduanya melangsungkan pernikahannya.
Listyo mengatakan, sebelum menjalankan aksi bom bunuh dirinya di Jalan Kajualalido, Kecamatan Ujungpandang itu, L sempat meninggalkan surat wasiat ke ibundanya. Dari surat wasiat polisi mengaku menemukan sidik jari yang sama dengan sidik jari jenazah pelaku bom bunuh diri di Katedral.
"L sempat tinggalkan wasiat kepada orangtuanya. Isinya, yang bersangkutan pamit, siap untuk mati syahid. Kami sudah cocokkan dengan data keluarga dan ditemukan sidik jarinya, identik dengan yang kami dapatkan," kata Listyo.
Ajaran Wahabi
Ketua Umum Pengurus Besar Nadhlatul Ulama KH Said Aqil Siradj melihat, kelompok JAD memiliki pemahaman siapapun yang tidak sependapat dengan mereka halal darahnya untuk dibunuh. Doktrin itulah yang ditanamkan ke seluruh jaringannya. Pemahaman terorisme tersebut kata dia, berasal dari ajaran Wahabi. Karena ajaran wahabi menurutnya telah memusyrikkan segala hal yang dianggap berbeda.
"Kalau JAD ini, kita ini semua halal darahnya. Kalau tidak sependapat dengan mereka termasuk katanya yang menusuk Pak Wiranto, dan yang ngebom masjid salat Jumat di Polresta Cirebon, beberapa tahun yang lalu itu jaringan Ansharuddaulah. Kelanjutan dari jamaah takfir wal hijroh mirip atau pas seperti ISIS yang mereka lakukan," kata Said Aqil saat membuka webinar Mencegah Radikalisme & Terorisme Untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial, Selasa (30/3).
Dia mengatakan, sebenarnya ajaran Wahabisme bukanlah terorisme, tapi dari paham Wahabi itulah muncul bibit-bibit teroris. Sehingga apabila bangsa Indonesia ingin menghabiskan jaringan radikalisme dan teroris, maka harus sampai ke benihnya. Said menyebut salah satu pintu masuk terorisme adalah melalui ajaran Wahabi.
"Apa pintu masuk terorisme? Wahabi. Ajaran wahabi itu pintu masuk terorisme. Wahabi bukan terorisme, bukan, tetapi pintu masuk. Kalau sudah wahabi, ini musyrik, ini musyrik, ini bid'ah, ini enggak boleh, ini sesat ini doalah, ini kafir, itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi sudah kalau darahnya boleh dibunuh. Jadi pintu masuk terorisme adalah wahabi dan salafi," ujarnya.
Selain Wahabi, menurutnya, ajaran Salafi juga menjadi pintu masuk terorisme. Sebab, Wahabi maupun Salafi sama-sama mengajarkan apa pun yang tidak sama dengan zaman Rasulullah SAW, maka termasuk bid'ah atau sesat.
"Apapun yang kita lakukan, kalau tak seperti Rasulullah, katanya bidah walau mereka juga naik mobil bukan unta. Kalau bidah berarti sesat. Kalau sesat, bisa masuk neraka. Ajaran seperti ini pintu masuk untuk menjadi terorisme, menghalalkan darah sesama orang," ungkapnya.
Milenial Jadi Sasaran
Dalam kesempatan yang sama, Deputi VII Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Hari Purwanto sangat menyayangkan aksi bom bunuh diri yang diakukan oleh pasangan milenial itu. Dia pun mengungkapkan bahwa generasi muda rentan terpapar radikalisme melalui media sosial. Sasaran paham radikal memang generasi muda berusia 17-24 tahun.
Wawan juga mengatakan bahwa berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terbaru, 80 persen generasi milenial rentan terpapar radikalisme.
"Di media sosial disinyalir telah menjadi inkubator radikalisme, khususnya generasi muda, rentang kendali biasanya umur 17-24 tahun ini menjadi target utama, selebihnya di atas itu second liner," kata Wawan dalam diskusi 'Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan Keharmonisan Sosial' di Youtube TV NU, Selasa (30/3).
Wawan mengatakan, penyebab generasi milenial mudah terpapar radikalisme yakni karena, kata dia, di usia tersebut memanglah masa-masa di mana para milenial sedang mencari jati dirinya. Selain itu, alasan lain yakni karena sejak era internet, penyebaran radikalisme mulai marak di internet.
Berdasarkan hasil survei BIN yang terkini, pengguna internet terbanyak yakni generasi milenial dan orang yang terpapar radikalisme, kata Wawan, merupakan orang yang malas melakukan check and recheck di era keterbukaan informasi ini. Wawan mengklaim bahwa BIN sudah melakukan patroli siber pencegahan radikalisme selama 24 jam, namun karena pengguna internet terus meningkat setiap tahunnya, kata dia, menjadi celah penyebaran radikalisme di internet.
"Kenaikan pengguna Internet media sosial menjadi celah penyebaran kaum intoleran dan radikal. Penyebabnya juga karena generasi muda mudah mengakses internet dan banyak waktu luang," ungkapnya.
"Penyebaran radikalisme di media sosial menarik mereka karena mereka berada di usia rawan, kebutuhan (mencari) jati diri dan eksistensi. Sebab, penyebaran paham radikal sering dibumbui narasi heroisme," lanjutnya.
Harus diakui, kata Wawan, penyebaran radikalisme di internet dilakukan dengan begitu mudah, setelah merekrut anggota, para anggota pun bukan hanya akan diajarkan teknik merakit bom saja, namun mereka juga diajarkan cara bergerilya dan menyerang.
"Cara agitasi maupun mengajak mereka untuk bergabung sebagai anggota. Kemudian mengajarkan bagaimana menyerang, kemudian teknik gerilya kota," tambah dia.
L dan YSR merakit bom bunuh diri sendiri. Mereka mempelajari cara merakitnya melalui pelatihan merakit bom online yang diajarkan oleh seniornya di JAD. Sedangkan bahan peledaknya dibiayai oleh JAD. Hal ini dikungkapkan oleh Kepala BNPT, Komjen Pol Boy Rafli saat konferensi pers di Makassar, Senin (29/3) lalu.
"Mereka ini kelahiran tahun 1995, dari kalangan milenial. Mereka belajar merakit bom lewat pelatihan online yang diajarkan seniornya dan juga berperan membeli bahan yang akan digunakan sebagai alat untuk melakukan bom bunuh diri," ungkapnya.
Milenial Harus Kritis
Generasi milenial diminta lebih kritis menyikapi setiap isu. Dengan bersikap kritis, milenial diharapkan bisa terhindar dari kelompok radikal.
"Berpikir kritis akan membantu anak-anak muda bisa terhindar atau minimal akan mempertanyakan aliran-aliran yang radikal," kata psikolog Nirmala Ika Kusumaningrum.Nirmala memaknai kritis adalah kemampuan untuk terbuka, menganalisis, mendengarkan, mengendapkan, menggali, termasuk mencari informasi dari berbagai sumber terkait hal-hal yang ada di sekitar mereka.
Menurut dia, salah satu cara menghindari kelompok radikal adalah dengan berani membuka diri terhadap semua perbedaan dalam kehidupan. Mulai dari perbedaan suku, budaya, agama, keyakinan, selera, sampai gaya hidup sekali pun.
"Karena ketika kita mulai melihat bahwa saya lebih atau paling benar daripada dia atau mereka, perlahan bibit radikal mulai terbentuk," ujarnya.
Nirmala berpendapat, sebenarnya tidak bisa di generalisir bahwa milenial lebih mudah terjebak gerakan radikal. Menurut Nirmala, aksi bom bunuh diri seperti di Makassar beberapa hari lalu lebih terkait keimanan.
"Bukan agama ya. Sehingga akan beda cara pandangnya. Mereka tidak pernah melihat diri mereka sebagai teroris, tapi sebagai pejuang," tuturnya.
Sedangkan pengamat militer dan intelijen Susaningtyas Kertopati berpendapat, kebanyakan milenial masih mencari jati diri dan mengikuti arah pihak yang paling berpengaruh. Menurut wanita yang akrab disapa Nuning ini, sangat sedikit dari usia milenial memiliki karakter yang kuat, sehingga mudah dipengaruhi hal-hal yang melawan negara.
"Pola rekrutmen (teroris) saat ini berkembang menjadi lebih terbuka menggunakan ruang publik seperti sekolah, kampus, perkumpulan agama, dan lain-lain," tuturnya secara terpisah.
Dia menilai, milenial perlu kritis jika menyangkut hal terkait pilihan hidupnya. "Kritis itu tentu bila menyangkut hal terkait dengan pilihan hidupnya. Bila salah ajaran maka kritis itu muncul justru sebagai anti ideologi negara," ujarnya.
Nuning berpesan kepada milenial agar bijak memilih pergaulan dan menghindari kelompok garis keras. Sedangkan penegak hukum harus bisa membaca penetrasi ideologi yang dinormalisasikan sehingga menciptakan enabling environment bagi kelompok teroris untuk melakukan rekrutmen, kaderisasi, dan mendapatkan dukungan dana dan politik.
"Hati-hati saat ini proses enabling environtment marak, sehingga yang tidak wajar terasa wajar atau normal," katanya.
Menurut dia, rekruitmen selain dilakukan tertutup, tapi ada ruang-ruang publik yang dipakai dalam proses penjaringan. Ruang-ruang publik yang ia maksud seperti sekolah, kampus, dan media sosial.
"Memang pemerintah sudah punya aturan, tapi butuh peran serta masyarakat untuk membantu pengentasan masalah terorisme. Dan ini baik jika milenial dilibatkan," kata Nuning.
Secara terpisah, pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah membenarkan bahwa yang menjadi sasaran perekrutan jaringan terorisme seluruh dunia adalah generasi muda. Tepatnya generasi Z dan milenial.
Berdasarkan data riset Center for Detention Studies (CDS), generasi muda menjadi sasaran jaringan tersebut selama 10 tahun terakhir, tepat di mana era internet muncul.
"Kalau dilihat berdasarkan data penelitian, pelaku terorisme dari generasi Z dan milenial angkanya cukup tinggi, lebih dari 50 kasus. Usianya antara 20-40 tahun," kata Syauqillah saat dihubungi merdeka.com, Selasa (30/3).
Menurutnya, pada usia tersebut merupakan usia di mana seseorang masih bingung terhadap jati dirinya. Usia tersebut kata dia, juga merupakan usia di mana semangat mencari tahu sedang menggebu-gebu, namun sayangnya semangat tersebut tidak dibekali dengan pemahaman dan bekal agama yang kuat. Sehingga menjadi tersesat dan mengikuti jalan yang salah.
"Ini bukan terjadi di Indonesia saja, tapi ini memang gejala global, di mana di usia itu, anak muda sedang mencari jati dirinya, yang pada akhirnya keliru. Mereka mudah terombang-ambing. Kalau kita lihat data CDS dari 2002-2019, keterlibatan generasi muda yang ke Suriah itu tinggi," ujarnya.
"Kalau kita lihat pola keterlibatannya, ada kecenderungan yang rentan terpapar itu pasangan yang baru menikah, tapi yang sudah lama menikah juga ada. Yang pasti, fenomena keterlibatan keluarga dan wanita meningkat setiap tahunnya," ungkapnya.
Syauqillah pun menyarankan, BIN dan BNPT lebih memperketat lagi pengawasan konten-konten radikal di media sosial. Selain itu, menurutnya BNPT juga perlu menguatkan kontra narasi terorisme dan radikalisme. Karena menurutnya program deradikalisasi saja tidak akan cukup membersihkan mantan pelaku terorisme untuk kembali bersih 100 persen dari ajaran radikal.
Berdasarkan data Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), sepanjang tahun 2002 hingga 2020, sebanyak 11,4 persen atau lebih dari 90 orang dari 825 bekas narapidana teroris kembali terlibat gerakan terorisme selepas dari penjara.
Dia menjelaskan, kontra radikalisasi merupakan upaya penaaman nilai-nilai nasionalisme serta nilai-nilai non kekerasan dengan strategi pendekatan melalui pendidikan formal maupun non formal. Kontra radikalisasi membutuhkan kerjasama antara masyarakat, tokoh agama, pendidikan, adat, pemuda, hingga stakeholder terkait.
Dia yakin, narasi kebangsaan dan perdamaian yang berorientasi dengan nasionalisme serta kemanusiaan bisa mengalahkan doktrinisasi radikal yang banyak temukan di media sosial.Namun sayangnya, hingga saat ini, masih belum ada peraturan pelaksana yang mengatur lebih lanjut tentang kontra radikalisasi. Untuk itu, dia mendorong agar DPR segera membentuk peraturan-peraturan tersebut.
"Kalau program deradikalisasi kan sudah berjalan ya tapi kontra narasi yang belum ada. Seharusnya dari sisi regulasi, ada peraturan-peraturan di bawah UU terorisme yang sampai saat ini belum dibuat yakni soal kontra radikalisasi," ungkapnya.
"Padahal kontra radikalisme itu penting, selain adanya sinergitas antar lembaga juga. Hal ini yang menjadi kerja berat dan PR kita ke depan" kata Ketua Program Studi Kajian Terorisme Pascasarjana Universitas Indonesia itu.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Ndun bersama Enggar dan teman-temannya pada sore itu sedang mengoprek-oprek sepeda motor matic sejak siang hingga dini hari.
Baca SelengkapnyaKapolresta Tangerang Kombes Pol Sigit Dany Setiyono membenarkan adanya penggeledahan yang dilakukan oleh tim Densus 88 Polri.
Baca SelengkapnyaDisebut-sebut pelaku tindak keras dan intimidasi adalah masyarakat setempat dan juga ketua RT.
Baca SelengkapnyaKasus ini berakhir damai dengan sanksi berupa cuci kampung alias bayar denda.
Baca SelengkapnyaWarga menggerebek rumah kontrakan di Kampung Cariu, Telagasari, Balaraja, Kabupaten Tangerang. Sebanyak 12 pasangan bukan suami istri diamankan dari lokasi itu.
Baca SelengkapnyaPolisi mengungkapkan motif pelaku RA (29) melakukan penganiayaan terhadap balita di Condet, Jakarta Timur.
Baca SelengkapnyaKepala Desa Tompobulu mengungkap sejumlah fakta terkait pernikahan Randi dan warga negara Polandia, Veronica yang viral di media sosial.
Baca SelengkapnyaSejumlah pria menggunakan baju loreng mendatangi rumah milik Harmansyah.
Baca SelengkapnyaYatemi diketahui seringkali mendapat bantuan dari kanan kiri. Seperti apa kisahnya?
Baca SelengkapnyaLS (27) tak menyangka suaminya, AA (29) merupakan pelaku pembunuhan terhadap RM (50), mayat dalam koper di Kalimalang.
Baca SelengkapnyaHari alias Jepang tertunduk lesu saat dihadirkan di Polres Bogor, Senin (28/4). Padahal sebelumnya dia viral mengancam petugas medis Puskesmas Leuwisadeng.
Baca Selengkapnya