Warung Kumpul tak lagi jadi tempat berkumpul
Merdeka.com - Warung Kumpul didirikan oleh Nya (singkatan dari Nyonya) Kumpul, bibi Gunawan, tahun 1950-an. Warung ini terletak persis di tengah Kota Purbalingga, telah dijalankan secara turun temurun dua generasi. Di masa tuanya, Gunawan punya harapan, kelak salah satu putranya akan meneruskan.
"Saya sudah tua. Tapi masih punya mimpi, warung ini ramai seperti dulu. Tetap berjualan tembakau, saya ingin mengembangkan kedai kopi, boleh nanti mereka mencoba beberapa tembakau gratis untuk dilinting," ujar Gunawan.
Toko Tembakau Kumpul memang memiliki tata ruang khas menyerupai warung kopi. Di ruang utama toko ini, terdapat meja berukuran 3x1 meter. Dahulu di meja ini beberapa orang terutama pedagang pasar biasa berkumpul, saling bercerita sembari memilih dan menikmati berbagai contoh jenis tembakau. Sedang di samping meja, beberapa jenis tembakau disimpan dalam stoples yang ditata berjajar dalam etalase kayu.
-
Kenapa warung ini selalu ramai? Cita rasa nikmat dengan harga terjangkau membuat warung nasi sambal ini selalu ramai pembeli.
-
Bagaimana Warung Kopi Ake berkembang? Warung Kopi Ake berperan penting sebagai penjaga tradisi sekaligus pionir dalam sektor perkopian di Belitung. Bukanlah hal mudah, dulunya mereka membeli biji kopi dari Jawa dan Lampung, karena Belitung bukanlah daerah penghasil biji kopi.
-
Kenapa warung ini ramai dikunjungi? Karena tempatnya yang cantik secara visual, tak jarang lokasi ini juga dijadikan sebagai spot untuk berswafoto dengan latar pemandangan hijau.
-
Mengapa tembakau di Jawa Tengah berkembang pesat? Kondisi itu membuat pertanian tembakau di Jateng berkembang secara signifikan. Setiap daerah di Jateng bahkan punya karakteristik tembakau yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya.
-
Siapa yang memperkenalkan tembakau di Temanggung? Berdasarkan cerita tutur masyarakat, tradisi ini dimulai oleh seorang tokoh setempat bernama Ki Ageng Makukuhan.'Suatu ketika Ki Ageng Makukuhan ini sakit. Dalam sakit itu ia mendapat wahyu untuk memetik daun yang ditanam dari hasil butiran benih itu. Setelah itu dipetik dan digunakan untuk pengobatan beliau,' kata Budayawan Temanggung, Sutopo.
-
Siapa pendiri Warung Kopi Tinggi? Mengutip laman Warung Kopi Tinggi, kedai tersebut mulanya didirikan oleh seorang pengusaha dan saudagar rempah asal China, Liaw Tek Soen.
Tetapi sejak akhir tahun 80-an, Gunawan bercerita meja tersebut sudah jarang dijamah para pembeli tembakau. Kegiatan melinting atau memilin tembakau sembari menaburi cengkeh dan menyan secara berkelompok, dinilai Gunawan dipandang tak lagi praktis bagi banyak orang. Orang-orang di sekitaran kota Purbalingga, mulai beralih ke produk rokok pabrikan.
Tak mudah memang membuktikan, apakah masifnya produk rokok pabrikan mengubah perubahan sosial masyarakat yang semula organik lantas menjadi mekanik. Gunawan berpandangan, nilai praktis rokok pabrikan membuat beberapa orang meninggalkan kebiasaan mbako. Pasalnya menikmati rokok pabrikan tidak membutuhkan keterampilan khusus (direpotkan) untuk melinting. Produsen pun melakukan peracikan tertentu bahkan pendekatan kimia lantas mengemasnya siap saji.
"Nilai kepraktisan itu mungkin salah satunya. Harga rokok pabrikan juga saya kira terjangkau, meski jauh lebih murah mbako, mungkin itu yang menyebabkan perubahan. Kepraktisan itu yang menarik pembeli dalam jumlah besar," nilai Gunawan yang juga pensiunan guru dan berlatar pendidikan guru lulusan Universitas Sanata Dharma ini.
Kenyataannya, meski peminat tembakau tak lagi seramai dulu, Gunawan tetap bertahan. Ia menaruh percaya, tembakau masih diminati kalangan tertentu yakni beberapa warga di pelosok desa yang mayoritas buruh tani. Tembakau yang ia jual sampai saat ini juga lebih banyak diserap oleh warung-warung di beberapa desa di Purbalingga yang sebulan sekali rutin ia kirim.
"Padahal menurut saya, tembakau murni lebih nyaman karena tidak ada perlakuan kimia. Juga lebih murah daripada rokok pabrikan. Kalau di desa, situasinya sama seperti di warung ini dulu. Orang-orang kumpul di halaman, bareng-bareng ngelinting tembakau. Gelar kloso, udud mbako," kata Gunawan.
Mendengar cerita Gunawan yang makin lirih, Warung Tembakau Kumpul, nama yang merujuk pada padanan makna bersama-sama atau kelompok yang tak terpisah, seakan telah kehilangan maknanya. Gunawan berkata, kini usianya memasuki kepala tujuh sedang orang-orang yang 46 tahun silam biasa berkumpul di warungnya rata-rata berusia 50 sampai 60 tahun kala itu.
"Saya tidak tahu keberadaan mereka saat ini. Saya sendiri sudah tua begini, apalagi mereka," katanya.
Pojok yang dilupakan
Kaki (sebutan bagi lelaki tua) Kaman sudah agak bungkuk ketika ditemui merdeka.com di daerah Kutasari, Kabupaten Purbalingga. Pria berusia 73 tahun ini, dahulu sempat berdagang di Pasar Kota Purbalingga. Ia bercerita, puluhan tahun lalu, kadangkala memang ikut duduk-duduk melepas penat di warung Tembakau kumpul.
Kala itu, ia bercerita, sangat menyukai mbako jenis Garangan asal Wonosobo yang berbentuk kotak dan mesti dirontokkan kecil-kecil sebelum ditaburkan ke daun kawung. Mbako Garangan sendiri adalah tembakau yang proses pengeringannya dengan cara dipanasi api dari bahan kayu. Menurut kesaksiannya, di warung kumpul mbako garangan jadi idola, serta beberapa orang memang ramai berkumpul untuk saling menikmati udud mbako sembari mengobrol ngalor ngidul.
"Toko yang dipojok, ya masih ingat. Dulu sering ngudud di sana," kata Kaman.
Ditanya tentang ketertarikannya ngudud mbako di warung kumpul, Kaman menjawab singkat karena bisa bertemu dengan teman-teman pedagang lain. Ngudud sembari ngobrol, ia akui menyenangkan menghilangkan kebosanan berdagang sayuran di pinggiran jalan. Dari obrolan kadang ada cerita-cerita lucu yang membuat suasana jadi makin santai.
Hanya saja, di tahun 80-an Kaman lalu beralih berjualan kasur ikut saudaranya dari daerah Bobotsari ke Jakarta. Berkeliling jualan kasur, ia mengaku tak ngudud mbako lagi karena merasa sungkan. Menurutnya bau mbako yang kadang ia campur dengan menyan dan cengkeh terlalu menyengat.
"Berhenti ngudud susah. Saya pindah ke rokok batangan," katanya.
Kaman saat ini sudah menganggur dan hidup ditopang anak-anaknya. Ia tak lagi ngudud mbako, sebagai gantinya beralih ke rokok kretek pabrikan. Ia mengatakan, sudah cocok dengan rokok pabrikan yang menurutnya tidak repot dicari. Ditanya apakah dia tidak kangen dengan suasana di warung kumpul yang pernah jadi bagian hidupnya, Kaman hanya tersenyum.
Terpisah, Thomas (80), pemilik Toko Surabaya, tengah memasukkan remah-remah kemenyan ke dalam plastik saat ditemui merdeka.com, Rabu (26/4). Di tokonya yang berjarak 200 meter dari Toko Tembakau Kumpul, Thomas juga berjualan tembakau sejak tahun 1965. Ia mengatakan penikmat Mbako semakin berkurang. Apalagi sejak pemerintah gencar melakukan kampanye pelarangan merokok.
"Paling petani yang beli, diantar cucunya. Tembakau yang sering dibeli, jenis Meranggen untuk susur. Sama Boyolali," katanya lirih.
Ditanya tentang Warung Tembakau Kumpul di masa silam, ia membenarkan dahulu sangat ramai. Pasalnya, posisi toko Kumpul strategis berhadapan dengan pasar. Apalagi toko kumpul memang dikenal sejak lama, khusus berjualan berbagai jenis tembakau.
"Saya sudah tidak ingat secara persis. Karena umur sudah 80 tahun lebih. Pendengaran juga berkurang," katanya.
Nampaknya pembeli mbako baik di warung Tembakau Kumpul atau pun warung Surabaya saat ini, tidak terikat dengan keriuhan publik masa silam. Salah satu pembeli mbako, Aziz (64) yang ditemui di Warung Kumpul hari Rabu (26/4) mengaku tak tahu menahu dengan situasi keramaian warung tersebut puluhan tahun silam. Ia hanya mengatakan, sekitar tahun 80-an masih seringkali melihat orang-orang di pasar ngudud mbako dicampur menyan.
"Dulu saya di Jakarta. Di Purbalingga, sejak tahun 80. Baru satu tahun ini saya beli mbako lagi," kata Aziz yang menenteng pastik hitam berisi mbako campuran yang ia beli dari Warung Tembakau Kumpul.
(mdk/cob)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Warung itu bentuknya cukup sederhana. Material bangunannya terbuat dari kayu. Konon usia warung itu telah mencapai 1 abad atau 100 tahun.
Baca SelengkapnyaSi Doel temui pendiri warung bakmi legendaris yang ada di Jakarta Pusat.
Baca SelengkapnyaJiwa ulet orang Madura dalam berbisnis sudah tampak sejak zaman kolonial Belanda
Baca SelengkapnyaSudah ada sejak 200 tahun yang lalu, sebuah warung makan di Temanggung, Jawa Tengah menarik perhatian warganet.
Baca SelengkapnyaHanya tinggal menghitung hari Toko Buku Gunung Agung ditutup total.
Baca SelengkapnyaNgopi sambil menikmati suasana klasik Belitung tentu menghadirkan daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Baca SelengkapnyaWalaupun sepi pengunjung, para pedagang pasar memilih bertahan tetap berjualan
Baca SelengkapnyaDalam sehari, puluhan ekor ayam kampung bisa habis untuk memenuhi permintaan pembeli.
Baca SelengkapnyaMbah Slamet sudah puluhan tahun tinggal di hutan itu. Berbagai macam gangguan pernah ia rasakan selama tinggal di sana
Baca SelengkapnyaWarung makan ini tetap menjaga cita rasa yang sama sejak berdirinya di tahun 1920.
Baca SelengkapnyaPria berusia 1 abad ini tak ingin berpangku tangan dan masih ingin bekerja selama dia mampu.
Baca SelengkapnyaKuliner legendaris itu sudah ada sejak tahun 1964.
Baca Selengkapnya