Dampak pelik pelantikan OSO sebagai Ketua DPD
Merdeka.com - Proses pemilihan Oesman Sapta Odang (OSO), Damayanti Lubis dan Nono Sampono sebagai pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) masih mengundang kontroversi. Terlebih, pijakan aturan dalam tata tertib DPD tentang masa jabatan 2,5 tahun pimpinan DPD telah dibatalkan MA dengan putusan yang juga tuai polemik karena salah ketik.
Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Nasional (PBHI Nasional) Julius Ibrani mengatakan, proses pemilihan Pimpinan DPD RI pada Selasa, 4 April 2017, penuh kontroversi yang tidak terlepas sebagai kekisruhan politik yang sangat erat kaitannya dengan pelanggaran dan korupsi dalam proses hukum dan peradilan di Indonesia.
Keganjilan proses pemilihan hingga pelantikan Pimpinan DPD RI periode 2017-2019 dan hadirnya Wakil ketua Mahkamah Agung (MA), Suwardi yang menuntun penyumpahan tentu menambah kebingungan masyarakat mengingat MA sendiri yang telah mengeluarkan Putusan No. 20P/HUM/2017 yang membatalkan Peraturan Tatib Nomor 1 tahun 2017.
-
Siapa ketua DPR? Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin sampaikan apresiasi.
-
Apa itu DPT Pemilu? DPT Pemilu adalah singkatan dari Daftar Pemilih Tetap.
-
Mengapa Pilkada DKI 2017 menarik perhatian? Pilkada DKI 2017 menjadi salah satu pemilihan kepala daerah yang menarik perhatian. Saat itu, pemilihan diisi oleh calon-calon kuat seperti Basuki Tjahaja Purnama, Anies Baswedan, dan Agus Harimurti Yudhoyono.
-
Bagaimana aksi arogansi Ketua PP? Dengan nada tinggi pria itu sampai memarahi pengemudi itu hingga adu cekcok terjadi.'Koe anak e sopo? Iki wilayahku, koe seng mundur,' kata pria itu.
-
Siapa yang diadukan ke DKPP? Dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) perkara nomor 19-PKE-DKPP/I/2024, Nus Wakerkwa mengadukan Ketua KPU Hasyim Asy’ari berserta anggota KPU Mochammad Afifuddin dan Parsadaan Harahap.
-
Siapa yang terpilih sebagai anggota DPR? Pendiri Dewa 19, Ahmad Dhani, bersama mantan vokalisnya, Once Mekel, telah resmi dilantik sebagai anggota DPR RI terpilih untuk periode 2024-2029.
"Paling tidak, ada 2 catatan keganjilan. Pertama, kejanggalan soal waktu yang sangat singkat antara proses pemilihan Pimpinan DPD RI 2017-2019 dengan kehadiran Suwardi untuk menuntun sumpah jabatan. Di mana, pemilihan selesai pada 4 April 2017, pukul 02.00 WIB dini hari, kemudian pada malam harinya terjadi pelantikan dan penyumpahan.
Kedua, lanjut dia, adanya pertemuan tertutup yang sangat mencurigakan di Mahkamah Agung pada siang harinya. Antara Suwardi, Wakil Ketua MA dan Sekretaris DPD RI, Sudarsono Hardjosoekarto, yang diduga melibatkan politisi, yakni Gede Pasek Suardika yang juga Wakil Ketua Umum DPP Hanura, di mana Oesman Sapta adalah Ketua Umum Partai Hanura.
"Untuk menganalisanya, perlu diajukan beberapa pertanyaan kunci yang penting. Pertanyaan penting yang pertama adalah, apakah dalam proses yang sangat singkat itu (sekitar 3 jam), MA telah betul-betul mengkaji proses dan dasar hukum pemilihan Pimpinan DPR RI 2017-2019 dan pemohonan Penuntunan Sumpah Jabatan? Padahal, jelas bahwa pemilihan Pimpinan DPR RI 2017-2019 bertentangan dengan Putusan MA No. 20P/HUM/2017," analisa Julius.
Pertanyaan penting kedua, adalah apakah betul Wakil Ketua MA, Suwardi, mewakili MA secara institusi atau dirinya sendiri? Pasal 260 UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3). Padahal, menyatakan bahwa Ketua MA yang melantik Ketua DPD RI, lalu dalam Penjelasan pasal tersebut dinyatakan 'Cukup jelas'. Artinya, tidaklah boleh atau sah secara hukum jika bukan Ketua MA yang melantik atau menuntun sumpah jabatan.
Menurut Julius, secara institusional Wakil ketua MA, Suwardi, tidak sah untuk menuntun sumpah, maka secara langsung terikat dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim. Mengingat Suwardi mengenakan jubah kehormatan Hakim Agung ketika menuntun sumpah, jubah yang tidak dapat diberikan dan dikenakan oleh siapapun selain seorang yang berprofesi sebagai Hakim Agung.
"Oleh sebab itu, PBHI melaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran kode etik sebagamana diatur dalam Keputusan Bersama Ketua MA RI dan Ketua KY RI, Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim," tutur dia.
Adapun, 6 poin kode etik yang diduga dilanggar antara lain: Poin 4 tentang bersikap mandiri, poin 5 tentang berintegritas tinggi, poin 6 tentang bertanggung jawab, poin 7 tentang menjunjung tinggi harga diri, poin 8 tentang berdisiplin tinggi, serta poin 10 tentang profesional.
Lebih luas lagi, lanjut Julius, keterlibatan Wakil Ketua MA dalam Kisruh DPD RI dapat pula diduga kuat sebagai bentuk dari praktik judicial corruption, atau korupsi peradilan dapat didefinisikan sebagai segala tindakan oleh dan untuk mempengaruhi hakim dan aparat peradilan, yang melanggar prinsip independensi dan kemandirian peradilan, untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang tidak benar atau melanggar hukum bagi dirinya sendiri atau pihak lain.
"Dalam hal ini, penyalahgunaan wewenang untuk mempersulit atau menghambat berjalannya sistem atau mekanisme untuk mendukung berfungsinya pengadilan misalnya sistem informasi pengadilan, sistem manajemen perkara, dan seterusnya, dan membiarkan terjadinya pelanggaran etik dan perilaku hakim dan aparat pengadilan tanpa melakukan tindakan sesuai kewenangannya. Mengingat penuntunan sumpah dilakukan secara by request, bukan proses yang terbuka/transparan dan independen," kata Julius menekankan lagi.
Praktik judicial corruption, lanjut Julius, berdampak langsung pada masyarakat. Masyarakat pencari keadilan yang tidak mau memberikan suap atau insentif dalam suatu proses peradilan akan kehilangan haknya. Yaitu hak untuk memperoleh layanan pengadilan yang baik, hak untuk mendapat perlindungan hukum dalam proses peradilan yang adil/fair, hak untuk mendapat keadilan dalam putusan pengadilan.
Dalam hal judicial corruption di sini, tambah dia, maka telah terjadi perampasan hak asasi manusia yang luar biasa bukan hanya terhadap orang yang dimenangkan dalam Putusan MA No. 20P/HUM/2017, tetapi juga terhadap keluarganya dan pihak-pihak yang hajat hidupnya digantungkan pada lembaga DPD RI.
"Terlebih lagi, indikator kuat dalam proses penuntunan sumpah yang melibatkan politisi dalam lingkar kekuasaaan ini menjadi 'lampu merah' bagi masyarakat miskin dan marjinal yang mencari keadilan. Dalam arti, hanya orang-orang berkuasa yang dapat dengan semena-mena meminta MA dan Hakim Agung untuk menuruti perintahnya (by request) meskipun melawan Putusan MA sendiri," tutup dia.
(mdk/rnd)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Laporan dugaan pelanggaran pada penyelenggaraan Pemilu 2024 terbanyak terjadi di Papua
Baca SelengkapnyaSeluruh pimpinan dan anggota DPD yang menyetujui pembentukan pansus itu kecurangan pemilu harus diproses Badan Kehormatan DPD RI.
Baca SelengkapnyaMahfud mengatakan karena masalah tersebut, dapat meloloskan sosok seperti Ketua KPU maupun Ketua KPK saat ini.
Baca SelengkapnyaSidang tersebut sempat memanas karena sebuah pengambilan keputusan bersifat dinamis.
Baca SelengkapnyaNamun, dalam dalil penambahan syarat capres cawapres minimal punya pengalaman kepala daerah, dikabulkan oleh MK.
Baca SelengkapnyaMasyarakat disajikan realita kontestasi yang dibentuk sedemikian rupa. Padahal ada pekerjaan yang lebih besar, lebih penting dan mendesak.
Baca SelengkapnyaPasal pemilihan gubernur oleh presiden berbahaya akan mematikan demokrasi.
Baca SelengkapnyaKetua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi menyatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah menyimpang dari fungsinya.
Baca SelengkapnyaPDIP menilai sangat berbahaya jika Revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung untuk mengakomodir kepentingan
Baca SelengkapnyaPuan Maharani sempat tidak sanggup meneteskan mata saat baca hasil rekomendasi Rakernas V PDIP.
Baca SelengkapnyaHakim konstitusi Arief Hidayat menyampaikan pendapat berbeda atau dissenting opinion dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024
Baca Selengkapnya