Perilaku Selfie di Lokasi Bencana Alam Jadi Tanda Adanya Masalah Psikologis
Merdeka.com - Salah satu hal yang cukup banyak beredar usai bencana alam, adalah beredarnya foto-foto terkait kondisi di tempat tersebut. Namun belakangan hal itu semakin aneh karena beredarnya foto orang yang melakukan selfie atau swafoto di lokasi bencana alam.
Dilansir dari The Conversation, Rizqy Amelia Zein, asisten dosen pada psikologi sosial dan kepribadian Universitas Airlangga menjelaskan mengapa banyak orang mengambil foto di tempat kejadian bencana. Untuk menguatkan pendapatnya ini, Rizqy menyitir pendapat dari beberapa tokoh untuk memperkuat pendapatnya.
Pendapat pertama berasal dari hhli media Yasmin Ibrahim dari Queen Mary University di Inggris dalam artikel terkait fenomena ini. Yasmin menyebut bahwa fenomena ini dikenal sebagai “selfie bencana” atau “pornografi bencana”.
-
Apa dampak melihat perilaku bunuh diri? Lebih lanjut, kejadian ini dapat meningkatkan risiko munculnya gangguan kesehatan mental seperti depresi, gangguan kecemasan, stres pasca trauma, dan bahkan risiko bunuh diri pada diri sendiri.
-
Kenapa hobi rebahan berdampak buruk? Terlalu sering melakukan rebahan dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental seseorang.
-
Bagaimana cara menunjukkan empati? Empati tidak hanya membuat Anda lebih disukai, tetapi juga memperkuat kepercayaan orang lain kepada Anda. Seperti yang dikatakan oleh pakar etiket bisnis Jacqueline Whitmore, hubungan yang langgeng dibangun di atas empati.
-
Kenapa psikopat sulit berempati? Dalam studinya seorang psikopat memiliki masalah pada Ventromedial Prefrontal Cortex (vmPFC), merupakan bagian otak yang bertanggung atas sentimen, empati, rasa bersalah, dan amigdala yang mengatur rasa takut serta kecemasan.
-
Siapa yang terdampak buruk TikTok? Sistem rekomendasi konten TikTok dan praktik pengumpulan datanya yang invasif menimbulkan bahaya bagi pengguna muda platform ini dengan memperkuat konten depresi dan bunuh diri yang berisiko memperburuk tantangan kesehatan mental yang ada, dua laporan pendamping yang dirilis hari ini oleh Amnesty International menunjukkan.
-
Bagaimana media sosial bisa berdampak negatif? Remaja yang menghabiskan waktu berlebihan di media sosial sering kali mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak terlalu aktif di platform tersebut.
Secara khusus, Yasmin mendefinisikan kebiasaan ini sebagai sebuah perilaku yang ganjil.
“Perilaku ganjil yang dimotivasi oleh keinginan mencapai kepuasan diri sendiri, dengan situasi pasca bencana sebagai latar belakang,” tulis Yasmin.
Pendapat kedua yang digunakan oleh Rizqy bersalah dari pakar psikoanalisis terkemuka, Carl Gustav Jung. Menyitir Jung, dijelaskan bahwa secara alamiah, manusia senang melihat orang lain menderita, karena hal tersebut menghibur diri kita, namun kita tidak secara langsung terkena dampaknya.
Ketika melihat penderitaan orang lain, seseorang mendapat kesempatan untuk menghakimi dan menertawakan orang lain tanpa merasakan penderitaan. Untuk menjelaskan hal tersebut, Jung menyebutnya sebagai corpse preoccupation sebagai keinginan seseorang untuk menyaksikan hal-hal yang aneh dan mengerikan.
Pendapat ketiga berasal dari pengajar dan filsuf dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyakarya, Frankie Budi Hardiman. Disebut bahwa tindakan tersebut mengindikasikan bahwa seseorang sedang mencari tahu yang bersifat asing, menghakimi, egosentris dan eksploitatif.
Adanya kebiasaan mencari informasi di lokasi bencana ini disebut Rizqy sebagai sebuah hal yang menakutkan dan juga telah mengakar di masyarakat.
"Sebenarnya menakutkan ketika kita menyadari bahwa kebiasaan melihat penderitaan orang lain begitu mengakar di masyarakat kita. Hal tersebut juga menyiratkan bahwa kesedihan orang lain dianggap sebagai komoditas yang menghibur," jelas Rizqy.
Hal ini bakal semakin menakutkan lagi ketika mereka sudah melakukan selfie dan membagikannya di media sosial. Hal ini merupakan salah satu pertanda adanya masalah moral yang serius.
"Tindakan tersebut merupakan pertanda sebuah masalah moral yang serius, karena praktik mengambil selfie di lokasi bencana lebih jahat daripada menjadi pengamat saja. Kebiasaan tersebut merupakan gejala patologi sosial, yaitu hilangnya rasa empati," tegas Rizqy.
Selain menunjukkan pertanda gejala hilangnya rasa empati pada diri seseorang. Tindakan selfie ini menjadi salah satu hal yang juga bisa sangat menyakiti para korban bencana.
"Secara psikologis, para korban akan menderita dua kali karena tidak mendapatkan bantuan yang diperlukan dan juga tanpa sengaja dibuat menjadi bagian dari ‘semacam pertunjukan'," terang Rizqy.
(mdk/RWP)Cobain For You Page (FYP) Yang kamu suka ada di sini,
lihat isinya
Istilah Body Shaming kini semakin dikenal, mari bersama pelajari lebih lanjut penjelasannya berikut ini.
Baca SelengkapnyaPara wisatawan ini berakhir dipermalukan secara online karena perilaku mereka yang mengabaikan peraturan tempat wisata.
Baca SelengkapnyaPerilaku eksibisionis yang bisa ditunjukkan oleh seseorang apakah termasuk kink atau sudah tergolong sebagai kelainan seksual?
Baca SelengkapnyaTempat wisata yang dulunya indah, menjadi rusak akibat warga berbondong-bondong datang ke lokasi setelah viral di medsos
Baca SelengkapnyaMelihat bunuh diri bisa sebabkan trauma pada diri seseorang, ini sejumlah cara mengatasinya.
Baca SelengkapnyaPunya mobil, sosoknya memperlihatkan kondisi miris kendaraannya usai diterjang banjir.
Baca SelengkapnyaCatcalling adalah tindakan melemparkan komentar, pujian, atau seruan yang tidak diinginkan kepada seseorang, biasanya di ruang publik.
Baca SelengkapnyaKemajuan media sosial membuat sebuah tempat dengan pemandangan indah mudah viral.
Baca SelengkapnyaPsikopat adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang tidak memiliki emosi, perasaan, dan hati nurani.
Baca SelengkapnyaPenyimpangan sosial adalah perilaku tidak sesuai norma atau aturan yang berlaku di masyarakat.
Baca Selengkapnya