Memutus Rantai Sebaran Hoaks dan Ujaran Kebencian
Beragam informasi dan berita bohong yang diproduksi orang tak bertanggungjawab, membuat publik saling curiga. Saling berprasangka buruk. Kita ribut gara-gara orang lain menciptakan kebohongan.
Beberapa bulan di penghujung 2019, kerusuhan pecah di ujung timur Indonesia. Papua dan Papua Barat. Kemarahan warga tak terbendung. Kantor pemerintahan, fasilitas publik dibakar. Sarana pendidikan lumpuh total. Gelombang pengungsian tak terbendung. Warga mencoba keluar dari Bumi Cenderawasih.
Tercatat, 33 orang meninggal dunia saat kerusuhan melanda Wamena. Empat orang meninggal dunia dalam insiden kerusuhan di Jayapura. Sedikitnya 77 orang menderita luka-luka. Belum lagi dampak psikologis yang harus ditanggung pasca kerusuhan. Salah satunya penarikan pulang mahasiswa Papua yang belajar di daerah-daerah lain seluruh Indonesia.
-
Kenapa berita hoaks ini beredar? Beredar sebuah tangkapan layar judul berita yang berisi Menteri Amerika Serikat menyebut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) bodoh usai Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2 diserang hacker beredar di media sosial.
-
Bagaimana cara mengecek kebenaran berita hoaks tersebut? Penelusuran Mula-mula dilakukan dengan memasukkan kata kunci "Menteri Amerika klaim: Kominfo Indonesia sangat bodoh, Databesa Negaranya dihacker tidak tau, karena terlalu sibuk ngurus Palestina" di situs Liputan6.com.Hasilnya tidak ditemukan artikel dengan judul yang sama.
-
Siapa yang diklaim sebagai tersangka yang dilepaskan dalam berita hoaks? Berita yang beredar mengenai kepolisian yang membebaskan tersangka pembunuhan Vina Cirebon bernama Pegi karena salah tangkap adalah berita bohong.
-
Bagaimana Cek Fakta Merdeka.com melakukan penelusuran terhadap berita hoaks tersebut? Penelusuran Cek Fakta Merdeka.com melakukan penelusuran melalui fitur Google Image. Menemukan bahwa thumbnail video Youtube merupakan foto dari berita Antaranews.com berjudul “Polisi bebaskan perawat DN tersangka gunting jari bayi di Palembang” yang diunggah pada 13 Februari 2023.
-
Siapa yang dipolisikan terkait dugaan penyebaran hoaks? Polda Metro Jaya diketahui mengusut dugaan kasus menyebarkan hoaks Aiman lantaran menuding aparat tidak netral pada Pemilu 2024.
-
Apa yang diklaim oleh berita hoaks tentang huruf Y? "Huruf 'Y' akan dihapus dari Alfabet", judul artikel tersebut.
Presiden Jokowi dibantu para menteri, pejabat kepolisian serta TNI hingga tokoh nasional, dibuat sibuk meredam konflik sosial yang terjadi di Papua. Hampir setiap saat rapat digelar. Petinggi negeri silih berganti memberikan perkembangan terkini sekaligus klarifikasi. Memaparkan peristiwa yang terjadi di tanah Papua. Bersamaan dengan itu juga, media massa memilih mengedepankan jurnalisme damai.
Kacaunya kondisi saat itu dipicu beredarnya berita bohong atau hoaks. Sejumlah hoaks berkelibatan di jejaring lini massa yang membuat suasana di Papua serta daerah lainnya dilanda perpecahan. Konflik dipicu beredarnya hoaks tentang mahasiswa Papua di Surabaya yang membuang bendera merah putih di halaman asramanya. Informasi yang terverifikasi itu membuat konflik tak terhindarkan antara mahasiswa Papua dan warga sekitar.
Kondisi semakin panas setelah beredar informasi hoaks yang menyebutkan ada seorang guru SMA PGRI di Papua bertindak rasis terhadap muridnya. Dengan menyebut Kera. Kabar itu terlanjur tersebar luas. Mengoyak emosi serta kemarahan warga Papua. Padahal, yang terjadi sesungguhnya adalah sang guru meminta muridnya berbicara dengan keras alias suara lantang. Bukan menyebutnya kera.
Produsen hoaks seolah tak cukup puas memprovokasi dan memecah belah rakyat. Di tengah gejolak di Papua, beredar foto masjid terbakar. Foto itu menyebar sangat cepat di berbagai grup WhatsApp. Persoalan ini sangat sensitif di tengah kondisi Indonesia yang heterogen dan beragam suku serta agama dan budaya.
Polisi memastikan informasi dalam foto yang beredar itu adalah hoaks. Sebab, foto masjid terbakar itu adalah masjid Agung di Kelurahan Senga, Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Kejadiannya pada Januari 2019. Bukan di Papua, tapi di Sulawesi Selatan. Bukan pula dibakar, melainkan terbakar.
Tak habis-habisnya hoaks tentang Papua menyebar dan memanaskan suasana. Beredar foto mahasiswa Papua yang meninggal. Lalu dinarasikan, korban dipukul anggota Polri dan TNI. Polisi sibuk mengklarifikasi. Foto mayat yang beredar adalah korban kecelakaan lalu lintas di Jalan Trikora Jayapura Utara.
Jauh sebelum kerusuhan Papua, Kita semua sudah dibuat lelah dengan panasnya suhu politik lantaran dipicu beredarnya berita bohong. Berita bohong di tahun politik tak hanya membuat iklim politik dalam negeri gonjang ganjing, tapi juga merusak simpul Kebhinekaan yang jadi kekuatan bangsa. Masyarakat makin terpolarisasi atau terkotak-kotak. Hanya karena berbeda pilihan politik.
Awal 2019, tepatnya Januari, heboh kabar tujuh kontainer dari China berisi surat suara Pilpres sudah tercoblos untuk pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Surat suara itu kabarnya tersimpan di Tanjung Priok. Isu tersebut menyebar luas dan ramai dibahas di berbagai jejaring media sosial.
Informasi singkat itu kadung membuat darah pendukung calon presiden pesaing Jokowi mendidih. Informasi yang diperoleh ditelan mentah-mentah. Kemudian disebar lebih luas. Dilengkapi sumpah serapah, mengadili dan menjatuhkan kredibilitas KPU selaku penyelenggara Pemilu yang dianggap tak becus.
KPU dan Bawaslu langsung bergerak cepat ke Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok untuk mengecek kabar surat suara tercoblos. Dalam hitungan jam setelah kabar itu ramai, akhirnya terungkap faktanya. Ternyata kabar itu hoaks.
Kabar hoaks surat suara tercoblos juga terjadi di Sumatera Utara. Beredar video menampilkan massa ricuh karena kertas suara sudah tercoblos untuk pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf. KPU memastikan kabar itu adalah bohong dan hoaks. Sesungguhnya, peristiwa itu terjadi saat Pilkada Tapanuli Utara 2018.
Lagi-lagi berhubungan dengan hoaks politik. Masih ingat soal pembongkaran dan pemindahan dua makam di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo? Dua kuburan itu dikabarkan dibongkar lantaran konflik antar keluarga terkait perbedaan dalam pemilihan calon legislatif (caleg).
Informasi beredar sangat cepat. Menjadi bahan perbincangan dan pergunjingan. Hingga diangkat ke permukaan. Semua bersuara. Pemerintah daerah hingga pusat, bahkan tokoh agama dan masyarakat. Ini sangat sensitif. Seolah urusan orang yang sudah meninggal pun masih dikaitkan dengan politik. Polisi meluruskan kabar itu. Ternyata, pembongkaran dua makam bukan dipicu perbedaan pilihan politik. Melainkan konflik keluarga yang sudah terjadi sejak lama.
Lemah Kesadaran Diri dan Literasi
Gambaran di atas hanya segelintir hoaks yang menghebohkan sepanjang 2019. Masih banyak hoaks-hoaks lain yang diproduksi dan berujung pada kegaduhan. Beragam informasi dan berita bohong yang diproduksi orang tak bertanggungjawab, membuat publik saling curiga. Saling berprasangka buruk. Kita ribut gara-gara orang lain menciptakan kebohongan.
Secara jujur harus diakui, hoaks tumbuh subur karena kelemahan kita sendiri. Lemah dari sisi kesadaran diri untuk ikut menyaring informasi yang berseliweran di belantara lini massa. Lemah dalam hal literasi yang seharusnya menjadi kunci jawaban atas segala informasi yang diragukan kebenarannya. Kemudian lemah untuk menahan diri dari godaan menyebarkan segala informasi yang diperoleh, padahal belum terjamin kebenarannya.
Tanpa sadar, segala informasi yang kita sebarkan melalui media sosial ataupun aplikasi percakapan di telepon genggam, menjelma menjadi semacam rekomendasi untuk orang lain. Bagi mereka yang lemah dalam hal literasi dan kesadaran diri, informasi itu ditangkap sebagai hal penting. Sehingga dia merasa perlu ikut menyebarluaskan kepada orang di sekitarnya. Jemari bergerak menyentuh layar telepon genggam. Pesan itu diteruskan kepada rekan kerja, teman sepermainan, hingga keluarga.
Pikir sebelum sebar. Jangan biarkan jari kita turut andil menjadi penyebar kebencian dan kebohongan.
Bisnis Sampah Digital
Berita bohong atau hoaks serta konten berisi ujaran kebencian alias hatespeech, tak ubahnya sampah digital. Sampah itu oleh sebagian orang bisa menjelma menjadi ekosistem bisnis. Mereka memproduksi konten hoaks dengan berbagai bentuk. Baik tulisan, foto, maupun potongan video.
Konten itu difinalisasi dengan narasi yang hiperbola. Tujuannya mengundang banyak pengguna internet membaca atau menyaksikan. Semakin banyak yang membaca atau menonton, sang produsen hoaks tersenyum lebar. Pundi-pundi uang datang. Keuntungan besar dari platfom yang digunakan. Iklan pun mendarat di konten hoaks dan ujaran kebencian karena tingginya pembaca.
Ini bukan sekadar analisa dangkal. Faktanya, studi terbaru yang dilansir Global Disinformation Index (GDI) bertajuk 'Cutting the Funding of Disinformation: The Ad-Tech Solution'. Di situ dituliskan bahwa sekurangnya keuntungan iklan yang masuk ke situs penyebar berita hoaks menembus USD245 juta. Jika dikonversi dalam rupiah, nilainya menembus Rp3,4 triliun. Pemilik situs mendapat keuntungan dari pengiklan yang tidak sadar bahwa iklan mereka tak sesuai konten yang ada.
Studi dilakukan pada 20.000 situs penyebar berita hoaks dengan melihat lalu lintas situs, informasi pengunjung, jenis-jenis iklan yang ada, dan keuntungan yang didapatkan melalui iklan per pengunjung. Celakanya, pengiklan cenderung tidak tahu dan tak peduli, di mana produk iklan mereka berakhir.
New York Times melansir contoh iklan dari perusahaan asuransi Allstate yang tayang pada sebuah artikel di situs Nowtheendbegins.com. Konten itu menceritakan teori konspirasi untuk penembakan sekolah Sandy Hook tahun 2012. Setelah menyadari itu, Allstate memutus kerja sama dengan berbagai situs yang terklasifikasikan sebagai disinformasi oleh GDI.
Pengiklan perlu berperan aktif. Memonitor di mana iklan mereka mendarat. Agar tak dianggap ikut menghidupi konten penyebar kebohongan dan ujaran kebencian. Sebab, produsen hoaks dan hatespeech bernafas karena adanya asupan dari bisnis ini. Maka perlu memutus mata rantai asupan untuk bisnis hoaks.
Say Goodbye
Selama ini kita terlena. Seolah menutup mata. Ekosistem bisnis sampah digital tak boleh dibiarkan tumbuh subur. Sebab, dampak dan kerusakan yang dialami publik bakal semakin mengkhawatirkan. Semua harus dimulai dari kesadaran diri untuk tidak ikut-ikutan menyebarkan berita yang diragukan kebenarannya. Apalagi yang asalnya dari situs berita tak jelas dan tidak terverifikasi. Masyarakat harus mencari informasi yang lebih beragam. Jangan hanya berhenti dengan menerima informasi dari satu pihak saja.
Bacalah berita dari sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Sekadar viral dan menggugah emosi saja tidak penting. Harus terjamin akurasinya. Media massa mainstream, termasuk merdeka.com, selama ini juga tak tinggal diam. Bergerak dalam langkah yang sama. Terus menerus melakukan cek fakta atas kabar simpang siur yang berkembang. Jurnalis ikut mengklarifikasi, agar tak ada lagi disinformasi.
Karena itu, pengiklan dan platform bisnis digital juga perlu ambil bagian. Pengiklan harus tegas menolak produknya mendarat di platform tak jelas. Apalagi yang isinya hoaks dan ujaran kebencian. Selayaknya, produk diperkenalkan kepada publik, di tempat yang layak. Tak hanya di kerumunan massa tak jelas. Healthy Brand Healthy Content. Brand yang dipercaya muncul di tempat yang dipercaya.
Dengan begitu, produsen hoaks tak akan laku menjual dagangannya. Ekosistem bisnis sampah digital, bersiaplah gulung tikar.