Aung San Suu Kyi masih bungkam soal penindasan Rohingya
Dia dinilai gagal menyuarakan penderitaan kelompok minoritas Rohingya di tengah mayoritas penganut Buddha di Myanmar.
Setelah hampir 15 tahun menjalani tahanan rumah, dunia memandang peraih Nobel perdamaian asal Myanmar Aung San Suu Kyi sebagai sosok pembela kemanusiaan, penjaga moral, dan bintang politik.
Namun kini, pandangan dunia internasional dan di negaranya sendiri mulai berubah. Itu karena dia tetap bungkam soal penderitaan terhadap muslim Rohingya yang mayoritas menghuni Negara Bagian Rakhine, sebelah barat Myanmar.
"Saya pikir sekarang semua orang setuju, dia sudah mengecewakan dalam hal pembelaan hak asasi," kata David Mathieson, peneliti senior di lembaga pembela hak asasi Human Right Watch (HRW) buat Myanmar, seperti dilansir stasiun televisi CNN, Selasa (15/4).
Nama Suu Kyi menjadi sorotan ketika dia dibebaskan dari tahanan pada 2010 dan banyak orang menilai dia akan menjadi presiden Myaanmar di masa mendatang.
Namun bagi para pengamat Myanmar, negara yang hampir 50 tahun dikuasai militer, perempuan berusia 68 tahun itu gagal menyuarakan penderitaan kelompok minoritas Rohingya di tengah mayoritas penganut Buddha.
Dalam laporan teranyar HRW, Direktur Eksekutif Kenneth Roth menulis, "Dunia tampaknya salah menilai dia (Suu Kyi) pernah menjadi korban pelanggaran hak asasi maka dia akan menjadi pembela hak asasi."
Redaktur majalah berita Myanmar The Irrawaddy, Aung zaw, mengatakan bungkamnya Suu Kyi membuat komunitas etnis di Myanmar kecewa.
"Orang berharap, sebagai peraih Nobel Perdamaian, dia akan berkomentar sesuatu buat menghentikan pertumpahan darah," kata dia.
Myanmar hingga kini masih dilanda konflik etnis setelah meraih kemerdekaan dari Inggris pada 1948. Kelompok minoritas muslim Rohingya masih terus menjadi korban penindasan kaum mayoritas Buddha.