'Perang Dingin' Saudi versus Iran kian memanas, bikin Timur Tengah makin runyam
'Perang Dingin' Saudi versus Iran kian memanas, bikin Timur Tengah makin runyam. Kawasan Timur Tengah sedang dilanda konflik regional dalam sepekan terakhir, usai Arab Saudi menuduh pemberontak Huthi di Yaman melepaskan rudal ke Riyadh yang dipasok oleh Iran.
Kawasan Timur Tengah sedang dilanda konflik regional dalam sepekan terakhir, usai Arab Saudi menuduh pemberontak Huthi di Yaman melepaskan rudal ke Riyadh yang dipasok oleh Iran. Saudi menganggapnya sebagai ancaman perang.
"Iran tak boleh menembakkan rudal ke kota-kota besar dan kecil Saudi dan berharap kita tidak mengambil langkah apapun. Kami menganggap ini sebagai tindakan perang," kata Menteri Luar Negeri Saudi Adel al-Jubeir, dikutip dari laman Straits Times, Kamis (16/11).
Selain itu, kini para pemimpin Saudi juga mendorong Perdana Menteri Libanon untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai cara untuk memberi tekanan kepada Hizbullah, kelompok pemberontak Syiah yang menjadi sekutu Iran di Libanon.
"Di mana pun Iran menempati wilayah, dia selalu menebar perselisihan, kerusakan, dan kehancuran," ujar PM Libanon, Saad al-Hariri, dalam pidato pengunduran diri yang disampaikan pada 4 November lalu.
Segala tindakan ini telah memberi sinyal tentang kebijakan luar negeri Saudi yang baru dan lebih agresif, di bawah pemerintahan Putra Mahkota Muhammad bin Salman yang selalu ingin menantang Iran secara langsung.
Krisis ini dikhawatirkan akan menjadi konfrontasi militer antara Saudi dan Iran, terutama karena kelompok pesaing keduanya sudah mulai berperang meski bukan di wilayah mereka sendiri.
Keduanya telah memulai perang dingin di sepanjang Timur Tengah selama lebih dari satu dekade. Akar dari konflik ini adalah saat Islam dipecah menjadi dua aliran, yakni Sunni dan Syiah. Saudi menganut paham Sunni yang mendominasi, sementara Iran menganut paham minoritas Syiah.
Kemudian, konflik keduanya berkembang menjadi perang kaki tangan (proxy war), di mana mereka membentuk kekuatan lewat beberapa kubu di Irak, Suriah, Yaman, dan Libanon, saat Amerika Serikat menginvasi Irak pada 2003 lalu.
Persaingan antara dua negara tersebut menguat karena masing-masing ingin memperebutkan kekuasaan di kawasan Timur Tengah. Mereka memanfaatkan kaki tangan masing-masing untuk memenangkan dan memperoleh pengaruh yang kuat lewat perang ini.
Jika dipetakan, perang dingin masing-masing negara dapat terlihat lewat dukungan Iran terhadap Suriah. Iran merupakan negara yang setia mendukung pemerintahan Presiden Suriah Basyar al-Assad. Negara tersebut memberikan dukungan militer untuk Suriah dibantu sekutunya di Libanon, Hizbullah.
Sebaliknya, Saudi mendukung dan menjadi penyandang dana bagi kelompok pemberontak Sunni yang menentang pemerintahan Assad.
Sementara di Irak, Saudi dan negara-negara Teluk lain membentuk kekuatan untuk mendukung Saddam Hussein selama perang Iran dan Irak. Saat Saddam jatuh, kelompok Syiah di Iran memimpin pemerintahan dan menjaga hubungan dekat dengan Iran.
Hal itu yang kemudian menyebabkan persekutuan antara Syiah Iran, Irak, Suriah dan Libanon. Irak kemudian menuding Saudi mendukung kelompok Sunni radikal di negara tersebut.
Sedangkan di Yaman, Saudi melancarkan sebuah operasi militer yang mendukung pasukan pemerintah untuk melawan pemberontak Huthi yang didukung Iran. Namun, konflik di Yaman belum bisa terpecahkan meski sudah berjalan selama dua tahun. Berkali-kali Saudi melancarkan serangan udara dan memblokir jalur laut, namun negara tersebut beserta sekutunya belum bisa mengusir Huthi dari ibu kota Yaman, Sanaa.
Banyak yang mengkhawatirkan konflik antara Iran dan Saudi di Yaman bisa memicu perang besar.