Perangi Hamas demi gas
Hamas menjadi ganjalan utama Israel buat memperoleh hak pengelolaan gas di lepas pantai Gaza.
Israel saban kali menyerang Jalur Gaza selalu beralasan demi keamanan warga dan wilayah mereka. Tembakan roket-roket Hamas, Jihad, islam, dan kelompok pejuang lainnya kerap dijadikan pembenaran untuk membalas dengan membantai penduduk sipil Gaza.
Seperti terjadi saat ini. Sejak negara Zionis itu melancarkan operasi militer bersandi jaga Perbatasan 8 Juli lalu, 725 orang tewas dan 4.519 lainnya cedera. Sedangkan di pihak Israel, menurut klaim mereka, baru 32 serdadu terbunuh.
Sehari sebelum Israel mulai menggempur wilayah seluas 360 kilometer persegi itu, Menteri Pertahanan Moshe Yaalon menegaskan perang ini untuk memberikan pukulan telak bagi Hamas. "Kami akan menghancurkan persenjataan, infrastruktur teror, sistem komando dan kontrol, institusi Hamas, bangunan-bangunan, rumah-rumah anggota Hamas, dan membunuh anggota mereka dari berbagai level," katanya seperti dilansir surat kabar the Guardian awal bulan ini.
Tapi perlu diingat, aspek politik selalu berjalan beriringan dengan ekonomi. Pada 2007, setahun sebelum Israel mlancarkan agresi, Yaalon menyorot soal kandungan gas alam sebanyak 1,4 triliun kaki kubik ditemukan di lepas pantai Gaza. Nilai kekayaan alam ditemukan awal milenium ketiga ini diperkirakan mencapai US$ 4 miliar.
Dia menjelaskan jika cadangan gas itu sampai dikelola oleh Palestina, akibatnya sungguh fatal bagi Israel. "Hasil penjualan gas itu ke Israel tidak bakal menolong rakyat miskin Palestina. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, uang diperoleh akan dipakai untuk melancarkan serngan teror terhadap Israel," ujar Yaalon.
Dia yakin transaksi gas dengan Otoritas Palestina bakal melibatkan Hamas, berkuasa di gaza sejaka 2007. Jika tidak mendapatkan royal ti, Hamas akan menyabotase proyek itu, menyerang Fatah, instalasi gas, Israel, atau ketiganya. "Jadi jelas, tanpa operasi militer menyeluruh untuk mencabut kontrol Hamas di Gaza, pengeboran tidak bisa dilakukan," tuturnya.
Dalam perang lima tahun lalu, Israel gagal menumbangkan Hamas meski konflik bersenjata itu membunuh 1.387 orang Gaza, termasuk 773 warga sipil, dan sembilan orang Israel, termasuk tiga penduduk sipil.
Sejak kandungan minyak dan gas ditemukan di lepas pantai Gaza, kekayaan alam itu kian menjadi sumber konflik, dipicu oleh krisis energi bakal dihadapi Israel.
Komentar Yaalon tujuh tahun lalu itu menggambarkan kabinet Israel tidak sekadar mencemaskan Hamas. Mereka khawatir jika Palestina diberi kesempatan mengeloa sendiri cadangan kekayaan alamnya, mereka bisa menjadi negara raksasa dan ini bisa mengancam kelangsungan Israel.
Israel memang telah menemukan sejumlah ladang minyak dan gas baru dalam jumlah besar, seperti Leviathan memiliki cadangan 18 triliun kaki kubik. Temuan ini bisa mengubah Israel menjadi negara eksportir dengan ambisi menyuplai kebutuhan minyak dan gas buat Eropa, Yordania, dan Mesir.
Namun tantangan potensialnya adalah sebagian besar dari 122 triliun kaki kubik gas dan 1.6 triliun minyak di Provinsi Levant Basin berada di perairan sengketa. Wilayah ini diperebutkan oleh Israel, Suriah, Libanon, Gaza, dan Siprus.
Dalam surat mereka dua tahun lalu, dua ilmuwan Israel memperingatkan pemerintah, Israel masih kekurangan pasokan gas untuk mendukung ekspor. Sumber domestik gas dan minyak Israel kurang dari setengah buat kebutuhan ekspor. Cadangan ini akan habis dalam beberapa dekade.
"Kami percaya penggunaan cadangan gas alam untuk kebutuhan domestik bakal meningkat hingga 2020 dan Israel tidak seharusnya mengekspor gas. Cadangan gas akan habis dalam waktu kurang dari 40 tahun," tulis kedua ilmuwan pemerintah itu.
Peringatan inilah membikin Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada Februari 2011 mengumumkan kini saatnya untuk mengamankan kontrak pembelian gas. Tapi serangkaian perundingan dengan Otoritas Palestina, dimulai September 2012 dan tanpa melibatkan Hamas, belum necapai kata sepakat.
Awal tahun ini Hamas Hamas mengecam kontrak bisnis menyebutkan Otoritas Palestina akan membeli gas senilai US$ 1,2 miliar dari Israel selama dua dekade setelah ladang Leviathan mulai beroperasi. Secara simultan Otoritas Palestina juga berunding dengan British Gas Group untuk mengembangkan cadangan gas di perairan Gaza, juga tidak melibatkan Hamas. Mereka juga mengajak bicara Gasprom, perusahaan minyak dan gas asal Rusia.
Yang tidak jelas sejauh ini adalah bagaimana Otoritas Palestina akan mengontrol pengelolaan cadangan minyak dan gas di lepas pantai Gaza jika tidak mengajak Hamas, penguasai di sana.
Sejatinya, strategi Israel akan selalu memisahkan rakyat Palestina dari tanah dan sumber daya alam mereka. Kemudian israel mengeksploitasi kekayaan-kekayaan alam itu. Konsekuensinya, perekonomian Palestina tidak akan pernah berkembang.
Bagi pemerintah israel, Hamas terus menjadi ganjalan utama untuk mencapai kesepakatan pengelolaan gas di perairan Gaza. "Pengalaman Israel selama perundingan Oslo mengisyaratkan keuntungan gas Palestina akan berujung pada pembiayaan kegiatan teror atas Israel," kata Yaalon.
Jadi selama Hamas masih berkuasa di Gaza, perang akan terus berulang. Israel bakal memerangi Hamas demi memperoleh kekayaan gas.