"Saya Cinta Myanmar, Tapi Saya akan Kembali Hanya Jika Ada Kedamaian"
Tentara Myanmar menembakkan peluncur roket ke lingkungan penduduk, membakar rumah-rumah, memutus akses internet dan pasokan makanan, dan bahkan menembak warga sipil yang melarikan diri, menurut penuturan para penduduk.
Para petani dan keluarga beserta anak-anak mereka di Myanmar melarikan diri ke India karena junta militer yang menggulingkan kekuasaan dalam kudeta Februari lalu terus memburu dan melenyapkan kelompok pertahanan di perbatasan negara tersebut.
Militer Myanmar yang dikenal dengan nama Tatmadaw, menargetkan kawasan yang menjadi rumah bagi ribuan kelompok sipil bersenjata yang menyebut diri mereka Pasukan Pertahanan Rakyat. Para tentara menembakkan peluncur roket ke lingkungan penduduk, membakar rumah-rumah, memutus akses internet dan pasokan makanan, dan bahkan menembak warga sipil yang melarikan diri, menurut penuturan para penduduk.
-
Kenapa penyelesaian konflik di Myanmar penting? "Kita berharap persoalan di Myanmar itu segera selesai karena menyangkut kemanusiaan, menyangkut rakyat Myanmar, dan pada kenyataannya memang tidak gampang, sangat kompleks, sehingga memerlukan waktu. Dan itu bisa terjadi kalau semua stakeholders yang ada di Myanmar itu mau, memiliki kemauan yang sama untuk menyelesaikan masalah itu. Kalau ndak, memang sangat sulit," ujar Presiden.
-
Bagaimana penyelesaian konflik di Myanmar akan dibahas? Pemimpin dan Menteri Luar Negeri Myanmar nanti akan diwakili oleh pihak nonpolitical representative, sama seperti KTT sebelumnya," kata Sidharta.
-
Bagaimana militer Myanmar menanggapi Pemberontakan 8888? Meskipun aksi protes tersebut sebagian besar berlangsung damai, tanggapan dari pihak militer sangat brutal. Pasukan bersenjata dikerahkan untuk menekan demonstrasi dengan kekerasan, menembaki para demonstran tanpa pandang bulu.
-
Kapan konflik Bangladesh terjadi? Konflik Bangladesh merupakan konflik yang terjadi di antara Pakistan Barat dan Pakistan Timur pada 26 Maret-16 Desember 1971.
-
Kapan Pemberontakan 8888 di Myanmar dimulai? Pemberontakan 8888 di Myanmar, yang dimulai pada 8 Agustus 1988, adalah salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah negara tersebut.
-
Bagaimana cara budidaya opium di Myanmar saat ini? Laporan itu menyebut budidaya opium telah menjadi "semakin canggih" dan lebih produktif karena penggunaan lahan yang terorganisir rapat, sistem irigasi, dan terkadang pupuk.
Lebih dari tujuh dekade, konflik bersenjata, represi politik, dan operasi militer yang menargetkan minoritas seperti Rohingya memaksa ratusan ribu orang dari Myanmar menjadi pengungsi di negara lain. Lebih banyak warga Myanmar saat ini diperkirakan menyusul langkah rekan-rekannya.
Kelompok bantuan mengatakan mereka bersiap dengan membanjirnya pengungsi, tapi dikhawatirkan negara tetangga Myanmar seperti Thailand bakal menolak mereka. Di negara bagian Chin, barat laut Myanmar, seluruh kota dengan penduduk sekitar 12.000 hampir kosong dalam sebulan terakhir. Para penduduk melaporkan kehadiran tentara dalam beberapa pekan terakhir, menjadi tanda tindakan keras meluas Tatmadaw dan membuat banyak orang putus asa melarikan diri.
Setelah tentara membakar rumahnya pada 18 September dengan granat berpeluncur roket, Raj That Chung memutuskan dia tidak punya pilihan selain meninggalkan Thantlang, kotanya di negara bagian Chin.
“Saya cinta Myanmar, tapi saya akan kembali hanya jika ada kedamaian,” ujarnya, dikutip dari The New York Times, Kamis (20/10).
Ral That Chung bersama 10 anggota keluarganya berjalan kaki selama delapan hari menuju India.
“Lebih baik menderita di sini daripada hidup dalam ketakutan di negara saya sendiri.”
Menurut PBB, delapan bulan sejak tentara mengambil alih kekuasaan, sekitar 15.000 orang di Myanmar melarikan diri ke India. Juru bicara Komisioner Tinggi PBB Biro Asia dan Pasifik untuk Pengungsi, Catherine Stubberfield mengatakan pihaknya menelusuri sebanyak 5.000 orang yang berhasil memasuki India dari Myanmar setelah bentrokan terbaru.
“Kekejaman di mana seluruh desa diserang tanpa pandang bulu telah menciptakan situasi menyeramkan di mana orang-orang sangat putus asa,” jelas pelapor khusus PBB bidang HAM di Myanmar, Tom Andrews.
“Dan segalanya semakin memburuk,” lanjutnya.
Tidur di hutan
Para pengungsi mengatakan mereka tidur di hutan selama berhari-hari, beberapa dari mereka tidak punya makanan saat dalam perjalanan menuju India. Ketika mereka sampai di Sungai Tiau yang memisahkan kedua negara, mereka menggunakan rakit bambu atau perahu untuk menuju India dengan aman.
Di desa kecil Ramthlo, Crosby Cung mengatakan semua penduduk yang sebanyak 1.000 orang bersiap untuk melarikan diri. Penduduk desa, ujarnya, telah memilih dua atau tiga tempat di mana sekitar 500 orang bisa bersembunyi di hutan sampai mereka siap menuju perbatasan India. Pekan lalu, tentara membakar desa tetangga Ramthlo.
“Sangat sedih melihatnya,” kata Cung.
“Meninggalkan desa Anda dan melarikan diri ke hutan bukan yang kami ingin lakukan. Saya ingin melindungi desa saya agar mereka tidak menjarah dan membakar desa. Tapi kami, warga sipil, tidak bisa melakukan apapun. Kami tidak punya pilihan selain melarikan diri.”
Eksodus baru-baru ini paling banyak di Negara Bagian Chin, benteng Pasukan Pertahanan Rakyat di mana warga sipil sering menderita akibat kekejaman Tatmadaw. Pada Agustus dan September, 28 dari 45 orang yang tewas di wilayah perbatasan pedesaan adalah warga sipil, menurut Organisasi HAM Chin.
Negara bagian Chin yang berbatasan dengan negara bagian Mizoram, India, didominasi umat Kristen. Banyak penduduk di Mizoram juga merupakan etnis Chin dan memiliki kedekatan dengan orang Chin di Myanmar, tapi kesabaran mereka diuji oleh wabah Covid terbaru di mana pejabat Mizoram menyalahkan para pengungsi.
Seorang pejabat distrik di Mizoram yang menolak disebutkan namanya karena dia tidak memiliki izin untuk bicara ke media, mengatakan walaupun kebijakan pemerintah India tetap menutup perbatasan bagi pengungsi, penduduk lokal secara tidak resmi membantu mereka yang melarikan diri dari Myanmar. Pejabat ini mengatakan, jika warga lokal tidak membantu, para pengungsi akan mati.
Wakil Direktur Human Rights Watch Divisi Asia, Phil Robertson, memperingatkan situasi yang dihadapi para pengungsi bisa semakin buruk seiring waktu.
“Sumber daya akan menjadi sangat langka, dan mungkin ada tekanan untuk memulangkan mereka,” ujarnya.
Di India, para pengungsi tinggal di dalam gubuk beratapkan terpal. Van Certh Luai (38), seorang pengungsi yang sampai di Mizoram setelah jalan tiga hari, mengatakan enam anggota keluarganya hanya mendapat tiga gallon air sehari untuk minum, mandi, dan mencuci. Nyamuk sangat banyak. Tapi keluarga ini mengatakan mereka tetap tinggal.
“Saya tidak ingin tiga anak saya tumbuh dalam ketakutan,” ujarnya.
"Saya marah dengan tentara Myanmar"
Pertempuran di negara bagian Chin mulai pada Agustus, ketika 150 tentara tiba di kota itu dan mulai menembakkan peluru mortir, melukai warga dan merusak rumah-rumah. Pada 6 September, Pasukan Pertahanan Tanah Chin yang merupakan sayap Pasukan Pertahanan Rakyat mengatakan pihaknya membunuh 15 tentara.
Menurut aktivis HAM, junta menargetkan negara bagian Chin karena menjadi rumah bagi Front Nasional Chin, kelompok etnis bersenjata pertama yang mendukung Pemerintah Persatuan Nasional, pemerintah bayangan yang dibentuk para pemimpin terpilih yang digulingkan. Kelompok pemberontak itu juga melatih ribuan pengunjuk rasa anti kudeta yang angkat senjata melawan militer.
Warga sipil tak berdosa terjebak dalam baku tembak.
Cer Sung mengatakan dia mendengar tembakan dan bom jatuh sekitar pukul 04.00 pada 15 Agustus ketika dia sedang membuat popcorn di rumahnya di Thantlang, Chin. Dalam keadaan panik, dia mencari putranya yang berusia 10 tahun, yang sedang menonton kartun Hindi favoritnya di televisi, dengan remote control di tangan kirinya. Saat dia memasuki rumah, pecahan peluru artileri mulai berjatuhan di antara dia dan putranya.
Cer Sung (44) melihat sisi kiri tubuh putranya terbakar. Jari telunjuk kirinya, yang ada di remote control, meledak. Dia meninggal di tempat.
“Saya marah dengan tentara Mynmar karena membunuh putra saya satu-satunya dengan kejam,” ujarnya sembari terisak.
Dia dan keluarganya memutuskan tetap di Myanmar saat ini, takut tetap tinggal tapi juga takut seperti apa nanti hidupnya jika mereka pergi. Keluarga lainnya bergegas meninggalkan negara itu walaupun tidak punya banyak waktu untuk mempersiapkan diri.
Sui Tha Par menemukan suaminya, Biak Hum, terbaring di pinggri jalan dengan luka tembak di punggung dan dadanya setelah dia bergegas memadamkan api yang disebabkan pasukan Tatmadaw di Thantlang pada 18 September. Jari manisnya terputus dan cincin kawin emasnya hilang, menurut anggota keluarga.
“Mereka menembak mati suami saya,” ujarnya sambil beurai air mata.
Sui Tha Par sedang hamil dan diperkirakan melahirkan bulan depan. Setelah menguburkan suaminya, dia dan dua putranya, 11 dan 7 tahun, memutuskan meninggalkan Myanmar menuju Mizoram.
(mdk/pan)