Sederet Alasan Inilah yang Bikin Trump Kalah dalam Pemilu AS
Konsultan Partai Republik AS dan para pengamat membeberkan sejumlah alasan kenapa capres petahana Donald Trump kalah pada pemilihan presiden 2020. Trump dikalahkan pesaingnya dari Demokrat, Joe Biden.
Capres petahana yang diusung Republik, Donald Trump dikalahkan Joe Biden dari Demokrat. Biden mengantongi lebih dari 280 suara elektoral, melampaui 270 yang menjadi syarat melenggang ke Gedung Putih.
Presiden AS terpilih Joe Biden dan Wakil Presiden terpilih Kamala Harris akan dilantik pada Januari 2021. Keduanya tampil pada Sabtu malam di kampung halaman Biden di Wilmington, Delaware untuk menyampaikan pidato kemenangan.
-
Siapa yang menjadi Presiden dan Wakil Presiden di Pilpres 2019? Berdasarkan rekapitulasi KPU, hasil Pilpres 2019 menunjukkan bahwa pasangan calon 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, meraih 85.607.362 suara atau 55,50%, sementara pasangan calon 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, meraih 68.650.239 suara atau 44,50%.
-
Siapa saja yang ikut dalam Pilpres 2019? Peserta Pilpres 2019 adalah Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
-
Kenapa Joe Biden ingin dekat dengan Prabowo? "Kita memiliki tanggung jawab bersama, khususnya di kawasan Pasifik. Jadi, saya sangat, sangat ingin dekat dengan Anda," kata Biden.
-
Bagaimana tanggapan Prabowo atas Jokowi yang memenangkan Pilpres 2014 dan 2019? Prabowo memuji Jokowi sebagai orang yang dua kali mengalahkan dirinya di Pilpres 2014 dan 2019. Ia mengaku tidak masalah karena menghormati siapapun yang menerima mandat rakyat.
-
Siapa saja calon presiden yang akan bertarung di Pilpres 2024? Saat ini sudah 3 nama kandidat capres yang akan bertarung di Pilpres 2024. Mereka adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan.
-
Apa saja yang dipilih rakyat Indonesia pada Pilkada 2020? Pada Pilkada ini, rakyat Indonesia memilih:Gubernur di 9 provinsiBupati di 224 kabupatenWali kota di 37 kota
Sementara itu, Trump masih ngotot mengklaim kemenangan. Menuding ada kecurangan walaupun tak berdasar.
Trump mengklaim saksi-saksinya tak diizinkan memasuki ruang rekapitulasi suara. Dia pun mengatakan meraup 71 juta suara sah, suara tertinggi yang pernah diraih capres petahana.
Masa jabatan kepresidenan Trump diwarnai sejumlah skandal dan kontroversi. Dia menolak menghadap akar perpecahan rasial dan justru melipatgandakan keluhan warga kulit putih. Salah satu kecenderungan politik paling dominan selama masa jabatannya ialah eksodus pemilih pinggiran kota, perempuan kulit putih, dan sarjana dan pemilih independen dari Partai Republik.
Prospeknya untuk terpilih kembali untuk periode kedua dihalangi kegagalannya dalam menangani pandemi virus corona. Bahkan di puncak masa kampanye, Trump masuk rumah sakit karena positif Covid-19.
"Jika presiden tak pernah terkena Covid, dia menang pemilihan. Survei kami menunjukkan penurunan signifikan saat itu terjadi, khususnya di kalangan warga pinggiran kota, pendidikan sarjana, warga non-liberal," kata konsultan atau ahli strategi Partai Republik, Brad Todd, dikutip dari TIME, Minggu (8/11).
"Trump terkena Covid memberi tanda ke orang-orang tersebut bahwa gaya penanganannya memiliki konsekuensi bahkan untuk dia pribadi dan oleh karena itu tak mungkin berubah."
Gagal Terhubung dengan Pemilih
Beberapa hari sebelum pencoblosan, saat kasus virus corona di AS mencapai puncak terburuknya sejak awal pandemi, Trump mengejek virus corona sebagai sebuah konspirasi media.
"Media berita palsu akan penuh dengan Covid, Covid, Covid," kicaunya di Twitter pada 27 Oktober.
Tapi pemilih lebih paham. Lebih dari 235 ribu warga Amerika meninggal dunia karena virus corona, dan kasus infeksi lebih dari 9 juta. Krisis ini menyerukan agar Presiden Trump bisa lebih tegas dan berempati, menyusun rencana konkret dan ikut berduka bersama keluarga yang kehilangan orang yang dicintainya.
Pendiri Pemilih Republik Lawan Trump (RVAT), Sarah Longwell mengatakan Trump kalah karena kegagalannya terhubung dengan hal-hal yang menjadi perhatian utama para pemilih yaitu virus corona.
"Apa yang Trump lakukan adalah memutuskan berpura-pura bahwa virus corona itu bukanlah hal dominan dalam hidup masyarakat," kata Longwell.
Salah Pilih Tim Kampanye
Salah satu kesalahan utama gagalnya Trump terpilih kembali terjadi tiga tahun lalu, ketika dia mengangkat Brad Parscale sebagai manajer kampanyenya. Seorang ahli digital, Parscale beriklan di Facebook yang membantu Trump menang pada 2016. Tapi Parscale juga seorang politikus pemula yang tidak pernah menangani kampanye, apalagi untuk seorang capres petahana.
Parscale menghabiskan ratusan juta dolar. Ketika mantan Walikota New York City Michael Bloomberg membeli iklan Super Bowl untuk mempromosikan kampanye kepresidenannya yang singkat, tim Presiden Trump mengeluarkan USD 10 juta untuk Trump sendiri.
"Brad tak pernah melakukan kampanye apapun sebelumnya," kata pensiunan ahli strategi Republik, Mike DuHaime.
"Tiba-tiba menempatkannya dalam operasi berdana miliaran dolar menurut saya tak wajar dan sebuah keputusan buruk."
Parscale mengatakan dana kampanye dan pengeluarannya telah disetujui beberapa pemimpin kampanye senior lainnya.
"Anda bisa tak setuju dengan strategi atau anggaran saya, tapi mengatakan saya tidak punya itu konyol. Itu benar-benar bohong," kata Parscale, yang awalnya tidak menanggapi permintaan komentar, kepada TIME, Sabtu (7/11).
"Saya memiliki anggaran yang jelas dan ringkas yang disetujui oleh banyak orang."
Pada Juli, Trump mengganti Parscale dengan wakil manajer kampanye Bill Stepien. Stepien mengontrol dana kampanye dan memotong anggaran televisi dan perjalanan. Tetapi dana besar pesaingnya Joe Biden melumpuhkan upaya Trump untuk menutup celah tersebut.
Abaikan Rasialisme Sistemik
Pada pemilihan 2016, Trump kalah dalam suara populer (popular vote) hampir 3 juta, tapi tak pernah berupaya memperluas dukungannya di luar basis pendukung utama. Namun dia mencoba mencari pemilih baru, dari kalangan pria kulit putih yang bukan lulusan sarjana, yang tertarik dengan gayanya yang rasialis dan memecah belah.
Biden menang di Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania, tiga negara bagian yang mengantarkan Trump menuju kemenangan pada 2016. Trump kalah di Arizona, setelah berseteru dengan putra mantan Senator mendiang John McCain.
Saat meluasnya protes rasisme sistemik, Trump mengabaikan isu itu. Dia tak pernah mencoba mempersatukan negaranya.
Jajak pendapat menunjukkan mayoritas pemilih tidak setuju dengan penanganan Trump terhadap unjuk rasa Black Lives Matter, memprotes kebrutalan polisi yang menewaskan seorang pria kulit hitam, George Floyd. Hal itu juga yang membuat sebagian besar pemilih Trump dari kalangan kulit putih beralih.
Gagal Perbaiki Perekonomian
Saat awal tahun, para penasihat presiden melihat perekonomian adalah faktor kuat yang bisa membuat Trump bisa terpilih kembali. Saat perekonomian terguncang karena pandemi virus corona, para penasihat ini menggambarkan Trump sebagai orang terbaik yang bisa mengembalikan ekonomi.
Namun dengan tingginya angka pengangguran dan 12,6 juta masih menganggur sampai September, menjadi tugas berat bagi Trump. Sejarawan Universitas New York, Timothy Naftali, pandemi virus corona yang berdampak pada angka pengangguran itu menghancurkan Trump.
Di akhir-akhir masa kampanye, Trump melontarkan serangkaian keluhan —- melawan media, melawan Dr Anthony Fauci, melawan “kecurangan” pemungutan suara melalui pos, melawan kenyataan pahit meningkatnya jumlah kasus Covid-19. Dia menolak untuk melihat kenyataan tapi justru menyebarkan tuduhan tidak berdasar adanya kecurangan pemilih yang meluas.
Trump merekrut agen federal sebagai pasukan kampanyenya, menekan Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) serta Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) untuk mengubah rekomendasi Covid-19 mereka dalam upayanya meremehkan pandemi. Dia mengandalkan Departemen Kehakiman untuk membantu sekutunya dan menyelidiki musuh politiknya.
Mulai Juli, Kepala Kantor Pos, Louis DeJoy, menerapkan perubahan besar yang memperlambat pengiriman jutaan pemilih yang memberikan suara melalui pos. Trump menggunakan agen federal untuk membersihkan pengunjuk rasa keadilan rasial dari Lafayette Square di Washington, D.C., menghadapi unjuk rasa di Portland dan ditempatkan di kota-kota "yang dikelola Demokrat" untuk menggambarkan anarkisme.
"Trump secara teratur ingin menggunakan otoritas penegak hukum kami dengan cara yang menurutnya akan bermanfaat secara politik baginya dan terutama merusak negara bagian dan kota biru (wilayah yang didominasi Demokrat)," kata Miles Taylor, mantan kepala staf di Departemen Keamanan Dalam Negeri.
(mdk/pan)