Meneropong pendidikan anak-anak Indonesia yang "tak kenal Indonesia"
Inilah potret pendidikan anak-anak Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Simak di sini!
Kinabalu, sebuah kota yang berada di tepi wilayah perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia ternyata menyimpan cerita menarik tentang pendidikan anak-anak Indonesia yang tinggal di wilayah tersebut. Berada di wilayah yang cukup terpencil, anak-anak Indonesia yang berada di sana, sebagian besar merupakan anak-anak dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di perusahaan kelapa sawit milik Malaysia. Merantau ke negeri seberang tak hanya menyajikan cerita tentang para TKI namun juga anak-anak mereka yang ikut tinggal bersama mereka.
-
Apa latar belakang pendidikan Kiran, cucu Soekarno? Kiran, 18 tahun, baru lulus dari Sevenoaks School di Inggris.
-
Apa bentuk kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan? KPAI menilai segala bentuk kekerasan anak pada satuan pendidikan mengakibatkan kesakitan fisik/psikis, trauma berkepanjangan, hingga kematian. Bahkan lebih ekstrem, anak memilih mengakhiri hidupnya.
-
Apa yang dimaksud dengan pantun edukasi? Pantun edukasi dapat menjadi sebuah nasihat berharga baik anak yang masih menempuh pendidikan sekolah.
-
Kapan Azriel Hermansyah berencana melanjutkan pendidikan? Aurel Hermansyah juga mengungkapkan bahwa adiknya, Azriel, berencana melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 dalam waktu dekat.
-
Di mana Ganjar Pranowo mengisi kuliah kebangsaan? Calon presiden dari PDIP Ganjar Pranowo mengisi kuliah kebangsaan di FISIP UI, Senin (18/9)
-
Apa yang dilakukan dosen muda ini di kelas? Sebelum masuk ke kelas, dosen muda bernama Akbar ini memang sudah berkenalan dengan mahasiswanya yang masih baru. Saat masuk ke kelas, mahasiswanya pun bertanya apakah ia kakak tingkat.
Anak-anak Indonesia di Kinabalu ©Weny Nilasari
Weni Nilasari, salah seorang guru yang turut berperan dalam membina pendidikan anak-anak Indonesia di negeri Jiran berbagi cerita kepada merdeka.com tentang kisah pendidikan anak-anak Indonesia yang tinggal di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Weni bercerita bahwa anak-anak Indonesia di Kinabalu, memperoleh fasilitas pendidikan dasar 9 tahun. Membuat anak-anak tersebut tertarik untuk belajar di sekolah, memang bukan perkara yang mudah. Dengan fasilitas seadanya, Weni dan kawan-kawan berusaha untuk membuka mata anak-anak Indonesia yang bahkan belum mengenal Indonesia.
Anak-anak Indonesia yang ada di Kinabalu ditawarkan untuk mengenyam pendidikan sejak Tingkat Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Pertama. Tadika, sebutan yang diberikan untuk jenjang Taman Kanak-Kanak di Malaysia di peruntukkan bagi anak-anak yang berusia 5 tahun ke atas. Selain Tadika, anak-anak tersebut juga disediakan pendidikan dasar untuk jenjang Darjah (sebutan untuk tingkatan Sekolah Dasar) dan Tingkatan (sebutan untuk jenjang Sekolah Menengah Pertama).
Pendidikan Tadika dan Darjah (jika digabungkan disebut dengan Humana) merupakan program pendidikan yang disponsori oleh UNICEF. Para pengajarnya terdiri gabungan guru-guru Indonesia-Malaysia. Sedangkan Tingkatan merupakan program pendidikan yang disponsori oleh pemerintah Indonesia melalui Community Learning Center (CLC). Para pengajar CLC adalah guru-guru yang didatangkan dari Indonesia, termasuk Weni.
Baik Humana maupun CLC terdiri dari anak-anak TKI yang bekerja di perusahaan kelapa sawit di Malaysia. Di wilayah Sabah saat ini, terdapat sekitar memiliki 27.000 anak-anak Indonesia yang tersebar di berbagai perusahaan, termasuk perusahaan yang ada wilayah Kinabalu.
Penting untuk diketahui, anak-anak ini tinggal bersama kedua orang tua mereka di area perumahan pekerja yang berada di dalam area ladang (sebutan mereka untuk perusahaan). Mereka tidak bersekolah di dalam satu gedung secara bersama-sama layaknya sekolah pada umumnya. Tetapi, para guru yang nantinya akan mendatangi ladang mereka dan mengajarkan materi pelajaran. Weni mengungkapkan bahwa saat ini mereka memiliki sekitar 78 murid yang tersebar di beberapa perusahaan.
Untuk mengajar, Weni dan kawan-kawannya difasilitasi dengan kendaraan berupa sepeda motor. Jarak tempuh untuk mengajar pun tidak dekat, paling tidak mereka harus melalui sekitar 6 jam perjalanan. Weni mengakui bahwa tempat tinggalnya terbilang jauh lebih dekat dibandingkan dengan teman-temannya yang lain. "Tempat tinggal saya mengajar masih dibilang tidak terlalu sulit. Kebetulan saya tinggalnya di dekat jalan raya, sekitar 6 jam perjalanan untuk mengajar", ungkap Weni. Jarak tempat tinggal teman Weni yang lain, bisa mencapai jarak 24 km dari tempat mengajar, yang ditempuh dengan menggunakan bus umum. Jarak tempuh itu belum termasuk jarak yang harus mereka tempuh untuk keluar ladang dengan luas hektaran.
Weni bercerita bahwa dirinya pernah mengajar anak-anak Humana dan kini aktif mengajar anak-anak di Tingkatan (SMP). Anak-anak yang belajar di Tingkatan adalah anak-anak yang sudah berhasil lulus dalam ujian paket A. Anak-anak tersebut bisa mendapatkan ijazah setelah menuntaskan pendidikan Tingkatan melalui ujian Nasional dengan standar kurikulum pendidikan Indonesia.
Mengajar anak-anak Indonesia ini tak semudah yang dibayangkan. Ini karena mereka telah terbiasa dengan budaya melayu secara kasat mata terlihat jelas melalui bahasa yang mereka gunakan. Menggunakan bahasa melayu sebagai bahasa sehari-hari membuat para pengajar, termasuk Weni mengalami kesulitan untuk memberikan materi pelajaran kepada anak-anak tersebut. Mereka bahkan belum mengenal Indonesia dan tak paham jika diajak berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. "Anak Indonesia yang tak mengenal Indonesia", mungkin itulah sebutan yang sesuai untuk menggambarkan mereka saat ini.
(mdk/SRA)